Mengawali tahun 2019 saya ingin berbagi pengalaman dari hasil pengamatan saya atas pandangan dan sikap seorang dai di wilayah metropolitan Jakarta. Dalam beberapa waktu lalu, saya mendapatkan kesempatan untuk mengikuti dari dekat aktivitas dakwah salah satu ustad yang boleh dibilang mewakili trend ustad zaman now. Lahir dan tumbuh di kota, tidak berafiliasi dengan salah satu ormas yang sudah mapan, seperti NU dan Muhammadiyah, tapi relatif dekat dengan dai-dai public figure, seperti Ustad Arifin Ilham, Aa’ Gim, dan Alm. Uje. Meski dia sendiri belum seterkenal mereka, tapi dia adalah bagian dari fenomen mutakhir yang cukup berpengaruh terhadap pemahaman dan gaya hidup masyarakat Muslim kelas menengah kota, baik melalui forum-forum kajian atau selama haji/umrah dimana dia sering menjadi pembimbing.
Dari beberapa hari mengikut dakwahnya tersebut, saya mencatat ada sejumlah karakteristik dakwah yang berbeda jika kita bandingkan dengan para ulama atau kiyai tradisional. Paling tidak ada lima hal yang mencolok. Pertama, sering merujuk ayat-ayat al-Qur’an dan melagukannya ketika membacanya. Hal ini sebetulnya tidak terlalu spesial karena para dai dan kiyai tradisional pun sering melakukannya. Tapi konsistensi melagukan ketika menyitir Al-Qur’an, mungkin menjadi salah satu ciri khas, meski lagu yang dipilih tidak merujuk pada imam qiraah yang selama ini dirujuk para qari’. Jamaah yang mendengar pun menikmati lantunan ayat-ayat tersebut.
Kedua, jarang merujuk kitab-kitab klasik. Dia hampir tidak pernah menyitir pendapat para ulama dalam membahas ajaran-ajaran agama maupun masalah-masalah sosial, tapi sering langsung mengutip ayat-ayat Quran, tanpa menyinggung bagaimana ulama kitab-kitab tafsir membahasnya. Akibatnya, terkadang pemahamannya berbeda dengan apa yang selama ini saya fahami dari kitab-kitab klasik. Misalnya:
- Salat witir itu bukan penutup salat malam, karena bisa diteruskan setelah bangun tidur. Caranya, sebelum tidur, salat dengan jumlah rakaat ganjil. Jika mau diteruskan setelah bangun, ditambah dengan rakaat genap, sehingga totalnya tetep ganjil. Ini beda dengan pemahaman yang selama ini saya punya, bahwa witir itu salat sblm tidur;
- Tahajud itu bukanlah nama spesifik salat di malam hari, tapi untuk semua salat yang dilakukan di malam hari. Salat tasbih, hajat, taubat, dan sebagainya yang dilakukan di malam hari adalah salat tahajud. Ini beda dengan yang saya fahami bahwa nama generik salat malam adalah qiyamullail, sedang tahajud adalah nama tertentu salat di malam hari, setelah bangun tidur, sejajar dengan salat hajat, tasbih, dan sebagainya;
- Salat hajat itu dilakukan sebelum salat dhuha;
- Berdoa apapun yg kita minta dalam sujud terakhir solat sunat. Jadi doa kemudahan rizki di solat dhuha itu dibaca ketika sujud terakhir dan tidak setelah salat usai. Mungkin ini yang kemudian menjadikan banyak orang memiliki kening hitam karena sujudnya ektra lama akibat dari permintaan yang banyak, apalagi kalau sajadahnya tidak empuk.
Ketiga, sering membahas sedekah. Dalam hampir setiap ceramah selalu diselipkan anjuran untuk bersedekah disertai dengan dasar-dasar normative, baik ayat-ayat Qur’an atau Hadits. Maksudnya jelas, untuk mendorong para pendengar agar tergerak memberikan sedekah. Meski tidak ada anjuran sepesifik agar sedekah disalurkan ke lembaga miliknya pribadi, jamaah selalu diingatkan bahwa lembaga pendidikan yang didirikan termasuk yang memerlukan dukungan. Jadi sangat wajar jika kemudian jamaahnya menyalurkan sedekah ke institusi yang dipimpinnya.
Keempat, selalu memberi contoh dirinya sendiri, khususnya dalam hal-hal yang menunjukkan manfaat dari sedekah atau doa yang diajarkan. Untuk memperkuat anjuran sedekah, tidak segan dia memberi contoh apa yang pernah dilakukan dan reward langsung yang diyakini akibat dari perbuatan tersebut. Dia tidak menyinggung kelebihan-kelebihan sedekah sebagaimana dikemukakan para ulama dalam berbagai kitab, tapi pengalaman pribadinya sendiri. Mungkin ini lebih memberikan contoh empiris yang mudah dipahami daripada memberikan penjelasan normatif.
Kelima, aktif mempromosikan bisnismya. Karena ustad ini juga memiliki travel agent yang melayani umrah dan ONH Plus (sebelumnya tergabung dalam KBIH milik keluarganya), tidak segan dia mempromosikan paket perjalanan umrah dan haji plus dengan menyebut kelebihan-kelebihan yang ditawarkan travel agen tersebut. Tidak jarang diceritakan siapa saja yang pernah menggunakan jasanya sebagai pembimbing umrah. Seorang direktur sebuah BUMN pernah meminta jasanya untuk menjadi pembiming umrah dan memberinya imbalan yang cukup besar karena puas dengan apa yang sudah dilakukan. Selain itu, direktur tersebut juga mempromosikan ke anak buahnya agar mendaftar ke dia jika ingin umrah. Cerita tersebut secara tidak langsung tentu meneguhkan kredibilitas travel yang dikelolanya dan kualitas dirinya sebagai ustadz pembimbing ibadah.
Dari kegiatan terakhir, secara ekonomi ustad ini boleh dikata termasuk kelas menengah. Dalam satu tahun dia bisa bekali kali pegi ke Mekah-Madinah, membimbing jamaah umrah yang terkadang para professional atau pengusaha kaya. Imbalan sebagai pembimbing umrah dan haji ditambah pemilik saham travel agent serta zakat-infak-sedekah, membuatnya tidak perlu punya pekerjaan lain. Dia adalah fulltime ustad yang sangat sejahtera hidupnya. Di selalu siap dengan ceramah-ceramah keagamaan dengan karakteristik seperti disinggung di atas. Saat di tanah suci, ceramah sampaikan di depan jamaah bimbingannya, di sela-sela kegiatan umrah/haji. Jika sedang di tanah air, dia juga sering memenuhi undangan ceramah dari berbagai kalangan.
Ceramah yang disampaikan tidak hanya terbatas pada masalah-masalah keagamaan, tapi terkadang juga menyinggung masalah sosial-politik. Ketika menyangkut masalah politik, isi ceramahnya bisa dipastikan sehaluan dengan kebijakan sebuah “partai kader.” Ini bisa dipahami karena dia simpatisan partai kader. Melalui pengajian-pengajian itulah pandangan politik ditanamankan ke anggota pengajiannya.
Ustad seperti ini ternyata banyak di sekitaran Jakarta dan mereka aktif sekali bahkan proaktif di setiap kali ada kesempatan mengisi pengajian. Jadi tidak heran jika kemudian pemahaman keagamaan dan pandangan politik sebagian masyarakat kelas menengah kota belakangan ini sejalan dengan karakter dan pandangan politik partai tersebut.
Saya kira model dakwah ustad seperti tersebut tadi perlu mendapat perhatian serius para dai di metropolitan yang berniat menjaga moderasi beragama sambil terus memperdalam pengetahuan keagamaan para jamaah. Cara-cara berceramah yang menarik dan tidak membosankan, perlu ditiru untuk menarik minat sebanyak mungkin umat. Tapi ilmu keagamaan yang disampaikan harus merujuk pada kitab-kitab klasik yang diakui para ulama. Tidak menafsirkan sendiri semaunya atas ayat-ayat Qur’an dan hadis Nabi. Pendekatan pada kalangan professional dan pengusaha sebaiknya dilakukan juga, tapi pandangan politik yang monolitik dan hitam-putih harus direvisi dengan sikap politik inklusif, ramah dan rahmatan lil ‘alamin.