Berbeda halnya dengan aliran teologi Islam lain, Murji’ah tidak lahir dari konteks politik. Kelompok ini merupakan sebuah bentuk pemikiran sintesis antara kaum Qadariyah-Mu’tazilah dan Khawarij. Sepertinya, tidak ada aliran teologi Islam yang bersifat netral dari politik kecuali Murji’ah.
Kelahiran Qadariyah-Mu’tazilah dan Khawarij, sebagaimana disebutkan oleh al-Syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihal, adalah karena pertanyaan apakah pelaku dosa besar akan dihukumi di neraka atau di surga? Kelompok Qadariyah-Mutazilah mengatakan bahwa pelakunya tidak berada di surga dan di neraka. Tempatnya ada pada Manzilah baina Manzilatain (satu tempat di antara surga dan neraka).
Kelompok Murji’ah berada di antara dua kelompok tersebut. Ia merepresentasikan pandangan untuk “menangguhkan penghukuman”. Ini ditandai oleh penamaan dirinya sendiri, “Murjiah”. Murjiah merupakan isim fa’il dari kata kerja Arja-Jurjiu yang berarti menangguhkan, menunda.
Di dalam kelompok ini, banyak diisi para ulama mulai dari generasi tabi’ tabi’iin atau atba’ tabi’ tabiin. Di antaranya adalah Abu Hanifah, sang pendiri mazhab Hanafiah dalam fikih. Imam Abu Hanifah dikenal pandangannya dalam soal teologi untuk menunda penghukuman atas pelaku dosa besar. Pandangan ini dituangkan dalam kitab fikh al-Akbar (Pengetahuan tentang Maha Besar).
Pandangan Murji’ah mengenai status Ali bin Abi Thalib dalam kemuliaan di antara para khulafa’ al-Rasyidin berada di posisi ke empat. Pandangan ini berbeda dengan Syiah yang menempatkan Sayyidina Ali di urutan pertama.
Al-Syahrastani melihat bahwa aliran ini juga berada dalam faksi-faksi yang bermacam-macam. Karena wataknya yang mendamaikan antar berbagai pemikiran teologi, ada Murjiah Khawarij, Murji’ah Qadariyah dan Murjiah Jabbariyah. Sebagai mana disebutkan oleh al-Syahrastani, bahwa mereka sepakat dalam beberapa hal dengan aliran seperti Khawarij. Murji’ah memiliki tiga kelompok; al-Yunusiyah, al-Ubaidiyah, al-Ghassaniyah.
Al-Yunusiyah
Kelompok ini didirikan oleh Yunus bin Aun al-Numairi. Ia memiliki pandangan bahwa keimanan merupakan pengetahuan kepada Allah Swt., tunduk kepada-Nya dan mencintai-Nya di dalam hati. Menurut aliran Yunusiyah ini, siapa yang tidak memiliki ketiganya belum bisa dikatakan tidak beriman. Hal ini karena menurutnya, orang yang masuk surga itu bukan karena amal dan ketaatan, akan tetapi karena keikhlasan hati dan cinta kepada-Nya.
Al-Ubaidiyah
Kelompok ini dikomandani oleh Ubaid al-Maktaib. Ia juga memiliki pandangan yang berbeda dari al-Yunusiyah. Ia berpendapat bahwa orang yang tidak melakukan perbuatan syirik akan diampuni. Orang-orang Yaman saat itu menceritakan dari Ubaid yang pernah berkata bahwa pengetahuan Allah selalu tidak serupa dengan apapun. Begitupun dengan agama-Nya.
Al-Ghassaniyah
Adalah Ghassan al-Kufi sebagai pemimpinnya. Konon, ia pernah belajar dari Abu Hanifah. Menurutnya keimanan itu murni persoalan hati. Maka iman itu tidak akan berkurang atau bertambah. Keimanan juga ikrar atas kitab-Nya dan rasul-Nya secara umum, tanpa perlu diperinci.
Di samping tiga kelompok di atas, aliran Murjiah juga memiliki sekte lain. Ia dikenal dengan al-Tsaubaniyah. Kelompok ini dipimpin oleh Abu Tsauban. Ia berpendapat selain keimanan itu persoalan hati dan ikrar, apa yang bisa untuk dipikirkan maka itu bukan lagi persoalan keimanan.
Pemikiran aliran Murjiah ini tidak dikenal lagi untuk beberapa kurun waktu setelahnya. Hal ini dikarenakan pemikirannya tidak bersifat komunalis. Di antara orang-orang terakhir yang dianggap Murjiah adalah al-Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Sa’id bin Jubair, Hammad bin Abi Sulaiman, Abu Yusuf al-Hanafiyah. Mereka ini adalah ahli-ahli hadis dan ahli fikih di masanya. Akan tetapi, mereka tidak pernah mengkafirkan para pelaku dosa besar, dan tidak menghakimi mereka sebagai orang yang kekal kelak di neraka.