“Apa? Mengkritik hadis? Astaghfirullah, jangan macam-macam! Apakah kamu tidak percaya kepada Nabi?”
Barangkali di kalangan masyarakat Islam kebanyakan, menyampaikan istilah “kritik hadis” adalah hal yang sangat tabu. Bagaimana tidak, hadis, yang dipercaya berasal dari Nabi, dikritik kebenaran dan isinya. Kesannya tentu sangat tidak etis—atau kalau mau diakui, adalah bibit meragukan ajaran agama sendiri.
Padahal, kata kritik itu sendiri berasal dari kata critique, yang berarti menimbang. Dalam kritik, seorang pengkaji menimbang kesalahan dan cacat yang ada, guna mencari kebenaran.
Hadis, dalam sekian literatur, didefinisikan sebagai “perkataan, tindakan dan persetujuan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW”. Setiap tindakan yang disandarkan pada Nabi itu disampaikan turun temurun, mulai sahabat, tabiin, tabiit tabiin, sampai ke para ulama hadis. Kalangan ulama hadis itu sendiri melakukan tadwin, kodifikasi atau penyusunan, terhadap hadis-hadis yang mereka dapat riwayatnya dari sekian ulama yang sambung kepada Nabi.
Apakah merujuk hadis itu berarti sudah selesai? Sudahkah seseorang yang mengetahui suatu hadis, itu baiknya langsung percaya dan mengakui bahwa perkataan atau tindakan tersebut benar dilakukan oleh Nabi? Ternyata tidak.
Pada beberapa tahap, perlu diketahui bahwa sejarah hadis Nabi beserta ilmunya adalah perjalanan yang panjang. Hadis, yang mulanya adalah tradisi lisan turun temurun pada masa Nabi, baru disusun secara tertulis sekitar abad ke 2 H, jauh setelah Nabi wafat.
Menurut orang-orang yang kritis, tentu telah terjadi banyak distorsi dan perubahan konten hadis dari asalnya. Bahkan di kalangan orientalis, semisal Joseph Schacht dan Ignas Goldziher, mereka meragukan bahwa hadis itu benar-benar sabda Nabi, dan menganggap konten dan rantai penyampaian yang ada dari kalangan sahabat dan seterusnya adalah bikinan para ahli agama untuk melegitimasi ajaran mereka.
Perdebatan keilmuan hadis pada dasarnya telah usai sejak kurun abad ke 10 H. Pencatatan hadis telah berakhir, kitab-kitab biografi para periwayat hadis sudah banyak ditulis, dan metode-metode penentuan keabsahan hadis telah dibakukan oleh sekian ulama, salah satu dari kalangan yang paling akhir adalah Imam Jalaluddin as Suyuthi dalam kitabnya Tadribur Rawi.
Hadis yang ada sekarang sebagai sebuah teks (narration), agaknya perlu dipahami banyak hal yang melingkupinya. Sebagaimana ditulis oleh seorang cendekiawan asal Turki bernama Recep Senturk, bahwa hadis sebagai narasi, juga memiliki perspektif yang disebut metanarasi. Metanarasi ini adalah hal-hal terkait asal usul sebuah narasi, konteks yang terkait, serta orang-orang yang terlibat dalam narasi tersebut.
Hadis, sebagai sebuah sebuah sumber hukum agama, dilandaskan atas asar zhanniyat ats tsubut (suatu dugaan yang kokoh). Memastikan bahwa benar-benar sebuah hadis itu berasal dari Nabi, semisal dengan label hadits shahih, adalah hasil dari metodologi kritik yang ketat para ulama pendahulu. Banyak hal yang harus dipastikan oleh para ahli ilmu hadis, sebelum mencapai kesimpulan status kualitas sebuah hadis, apalagi ia bisa benar diamalkan atau tidak.
Dalam kajian kritik hadis, setidaknya ada empat komponen yang melingkupinya. Mulanya adalah metodologi ushul hadis. Bidang ini secara kritis membahas pentingnya memastikan kualitas sebuah hadis, untuk menghindari hadis-hadis lemah (dlaif) terlebih hadis palsu (maudlu’). Fokus utama kajian ini adalah terkait sanad periwayat hadis, meliputi cara dan tokoh yang terlibat penyampaian hadis.
Dalam komponen pertama ini, hal yang perlu diperhatikan adalah panjang pendeknya rantai periwayatan, lalu jumlah riwayat yang ada. Semakin pendek rantai sanad, kualitas hadis akan semakin kuat, apalagi jika diriwayatkan oleh sekian orang dalam tingkatan masa yang sama. Kemudian dibahas tentang ketersambungan sanad. Benarkah periwayat yang disebut dalam sanad tersebut benar-benar berguru dengan orang yang disebutkan setelahnya?
Selanjutnya adalah meneliti orang-orang dalam sanad, terkait pribadinya apakah benar ia adalah “orang yang dikenal dan bukan dikarang”, lalu bagaimana cara ia mendapat riwayat hadis dari orang lain. Terakhir, tiap pribadi itu, dikaji moral kepribadiannya (‘adalah)dan daya intelektualnya (dlabt) melalui kitab-kitab biografi.
Ibnu Khaldun, bapak sosiologi modern itu, menyebutkan bahwa metode kritik hadis tersebut berasal dari akar budaya dalam keseharian kita dalam berkomunikasi. Dalam komunikasi modern, pada dasarnya ada tiga komponen utama: penyampai pesan, konten pesan, dan penerima pesan. Hadis sangat ketat dalam menguji tiga hal tersebut. Selain itu, penelitian dalam hadis dan sanad itu akan memberikan kontribusi pemahaman terhadap realitas masyarakat saat itu.
Selain menelusuri dan mengkaji narasi dan asal usul hadis, ternyata tidak berhenti di situ. Menurut Recep Senturk, hal yang perlu dilakukan selanjutnya adalah apakah hadis tersebut diamalkan, dan bagaimana pengamalannya? Kajian ini masuk dalam studi fikih, dan melalui narasi dan berbagai cara penilaian hadis tersebut, para ulama fikih melakukan ijtihad, lantas menetapkan hukum-hukum fikih sesuai metodologi madzhabnya. Salah satu ulama yang melakukan perumusan cara penggalian hukum dari hadis ini adalah Imam asy Syafi’i, dalam kitabnya Ar–Risalah. Maka, hadis tidak berhenti pada narasi saja.
Beberapa ulama lain menyusun kitab penjelasan (syarah) atas kitab-kitab hadis utama, seperti Al Qasthalani mensyarahi Shahih al Bukhari dalam kitab Irsyadus Sari dan Imam an Nawawi mensyarahi Shahih Muslim. Selain kajian sanad dan hukum, mereka juga menyertakan komentar ulama dan konteks sejarah yang ada. Bahkan, disertakan juga syair-syair Arab yang berkembang dan sesuai dengan tema hadis yang dijelaskan.
Nah, karena kajian sanad hadis adalah kajian tentang dan identitas dan kepribadian orang, maka dirujuklah kitab-kitab biografi. Salah satu yang populer adalah Tahdzibul Kamal yang disusun oleh Imam adz Dzahabi. Kajian orang-orang dalam sanad hadis disebut ilmu rijalul hadits. Melalui rincian identitas ini, para pengkaji dapat mengidentifikasi persebaran riwayat suatu hadis oleh para tokoh, serta kepribadian dan kisah-kisah terkait seorang periwayat hadis.
Cukup panjang bukan? Karena itulah, merebaknya hadis-hadis palsu yang di-copy paste lewat media sosial, kekurangtepatan pemahaman suatu hadis, atau penyelewengan maksud hadis untuk “kepentingan tertentu” tentu sangat mengkhawatirkan. Apalagi, melegitimasi tindakan-tindakan represif dan kemunkaran, dengan menyertakan sabda Nabi.
Nah lho, apakah sabda Nabi yang “dipakai” itu benar sahih dalam periwayatan dan makna? Apakah benar bisa diamalkan? Atau, apakah alasan yang dipakai itu sesuai dengan komentar ulama terdahulu dan modern dalam berbagai perspektif? Bagaimana kepribadian dan kecenderungan ulama tersebut? Wah. Tidak sederhana ternyata. Apalagi, hadis-hadis Kanjeng Nabi, lebih-lebih Gusti Allah, dengan mudah dicatut-catut diikutkan tindakan politis dan intoleran.