Bagaimana konsep Eko-Sufisme mampu menjadi solusi atas kerusakan lingkungan yang tengah terjadi?
Bencana alam salah satu penyebab kerusakan lingkungan. Sebagian besar bencana alam itu terjadi karena ulah manusia itu sendiri. Mereka tidak bertanggung-jawab dalam mengelola alam dan mengeksploitasi lingkungan tanpa memikirkan akibatya. Manusia yang diberi mandat sebagai wakil Tuhan (khalifatullah) di muka bumi dan ditugaskan untuk merawatnya, malah mereka sendiri yang membuat kerusakan.
Menurut Sayyed Hosein Nasr, kerusakan atau krisis lingkungan terjadi karena manusia mengalami krisis spiritual. Ini disebabkan ketidakmampuan mereka untuk sampai wilayah substansial, dan hanya terpaku pada hal-hal yang bersifat duniawi. Selain itu, krisis juga terjadi karena hubungan manusia dengan alam dan Tuhan tidak harmonis.
Alam hanya digunakan sebagai objek materialistis murni. Akibatnya, hubungan antara kehidupan manusia dan alam menjadi tidak seimbang. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang seharusnya menjadi kekuatan penopang kehidupan ekologis manusia telah menjadi instrumen materialistis manusia. Manusia memanfaatkan alam dengan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendapatkan materi sebanyak-banyaknya.
Agama Islam sendiri tak pernah mengajarkan pemeluknya untuk merusak lingkungan. Justru sebaliknya, Islam memerintahkan umatnya untuk senantiasa merawat alam dan tidak mencemari lingkungan. Karena hubungan manusia dan alam maupun hubungan manusia dengan sesamanya bukanlah hubungan antara penakluk dengan yang ditaklukkan ataupun Tuan dengan hamba. Namun, hubungan terjalin dalam kebersamaan dan ketundukkan kepada Allah SWT.
Kemampuan manusia dalam mengolah dan mengeksploitasi bukanlah akibat dari kekuatan yang ia miliki, tapi anugerah yang Allah berikan. Dengan demikian, manusia tidak akan sembarang dalam mendayagunakan lingkungan untuk kepuasan individu yang berpotensi terhadap maraknya pengrusakan lingkungan.
Dalam pandangan tasawuf –sebagai cabang ilmu dalam Islam–kita akan temui pemahaman bahwa kehidupan manusia selalu berjalan seiring dengan alam semesta. Tasawuf menawarkan rangsangan lebih dekat kepada Allah, tidak cukup menyendiri dengan beruzlah atau berkhalwat. Namun, juga memberi kita pemahaman tentang alam dan bagaimana kita memperlakukan lingkungan. Berawal dari sinilah, muncul sebuah konsep yang bernama eko-sufisme.
Berbicara mengenai eko-sufisme terdapat perpaduan dua kata, yaitu antara eko dan sufisme. Secara etimologi dalam bahasa Inggris ecology: dari Yunani oikos yang berarati tempat tinggal dan logos yang berarati ilmu. Sehingga maksud dari kata tersebut secara terminologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara organisme-organisme dengan lingkungannya. Istilah ini dicetuskan pertama kali oleh Haeckel pada tahun 1866, seorang pakar ahli dalam bidang biologi.
Sedangkan sufisme itu sendiri secara istilah atau dalam artian terminologisnya yang berarti orang yang selalu memelihara dirinya dari berbuat dosa dan menggambarkan kedaan jiwa yang senantiasa cenderung kepada kebenaran.
Dengan demikian, dapat kita katakan, eko-sufisme atau yang disebut dengan green sufisme adalah konsep baru dalam dunia sufi yang dikonstruk melalui penyatuan antara dua kesadaran sekaligus, yaitu kesadaran dalam masalah lingkungan serta kesadaran dalam hal ketuhanan. Penyatuan dua konsep kesadaran ini merupakan usaha untuk mentransformasi kesadaran spiritual yang lebih kongkrit, yaitu menumbuhkan spiritualitas ekologi.
Eko-sufisme memberikan pemahaman bahwa manusia adalah khalifah di bumi, sehingga setiap individu memiliki kewajiban untuk menjaga dan melestarikan lingkungan. Meskipun lingkungan atau alam juga diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Pemahaman ini setidaknya bisa menjadi tawaran bagi manusia dalam melindungi dan melestarikan alam, sekaligus wahana bagi umat muslim untuk mendekatkan diri pada Allah SWT.
Dalam konsep tasawuf yang ditawarkan al-Ghazali, ada tiga tingkatan yang harus dilalui manusia untuk bisa wushul atau emanasi kepada Allah SWT. Konsep eko-sufisme ini menggunakan hierarki takhalli, tahalli, dan tajjalli sebagai metode yang digunakan untuk melestarikan alam.
Takhalli merupakan proses membuang dan menghilangkan sifat-sifat buruk pada diri sendiri terkait dengan lingkungan melalui taubat ekologis. Individu menyadari bahwa merusak lingkungan ialah sebuah bentuk kejahatan material maupun non material. Dari sini, akan timbul darinya berbagai tindakan seperti tidak membuang sampah di sembarang tempat, mengurangi penggunaan bungkus plastik untuk makanan, penebangan pohon.
Tahapan selanjutnya ialah Tahalli. Tahalli adalah kondisi terekonstruksinya pola pikir individu dari perusakan lingkungan menjadi pemeliharaan lingkungan. Tahalli akan membentuk proses untuk mengkondisikan, memasukan atau menginstall sifat-sifat baik pada diri dengan melakukan syukur ekologis yang dilakukan dengan pemanfaatan sumber daya alam secara hemat, efisien dan sesuai dengan kebutuhah, tidak berfoya-foya atau mubazir.
Tahapan terakhir yaitu Tajjalli. Yaitu penerapan nilai-nilai eko-sufisme pada lingkungan. Konsep ini yang menjadi representasi dari pemikiran tokoh tasawuf sebagai bentuk tawaran bagi krisis lingkungan yang sedang terjadi. Seseorang yang telah mencapai tahap ini akan melaksanakan dan menerapkan perilaku yang ramah terhadap alam, seperti penanaman pohon, pembuatan tandon air, menanam pohon atau pengembangkan teknologi dalam pemulihan kerusakan lingkungan
Melalui tahapan-tahapan ini, seorang sufi akan semakin mendekatkan dirinya kepada Sang Pencipta, sekaligus memulihkan kembali lingkungan di sekitarnya sebagai bentuk kecintaan dalam menjaga hasil karya Tuhannya. Gerakan eko-sufisme akan bisa mengembalikan alam dan juga manusia dalam keadaan seimbang, sehingga seketika manusia sadar dengan perbuatan yang ia lakukan, maka alam juga akan tetap terjaga dengan baik.