Tahukah kamu, ada seorang ulama bernama KH Noer Ali dan ditakuti penjajah Belanda. Ia bahkan dijuluki Singa Karawang. Dari beliau juga, kita bisa mengenal sejarah kolonial dan perjuangan santri dan umat islam tentu saja untuk melawan penjajahan.
Jadi, sejak masa kolonial, santri telah memainkan peran signifikan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, tidak hanya melalui jalan senjata tetapi juga melalui semangat dakwah, pendidikan, dan penguatan moral masyarakat.
Salah satu santri, ulama sekaligus tokoh pahlawan Indonesia adalah KH Noer Ali atau biasa dikenal dengan Singa Karawang Bekasi. Kiai ini lahir pada tahun 1914 di Desa Ujung Harapan Bahagia, Kabupaten Bekasi.
Kiai Noer Ali berasal dari keluarga yang terbilang sederhana, lahir dari pasangan H Anwar dan Hj Maimunah, keluarga petani, kelas menengah yang disegani oleh masyarakat kampung sebab kebaikan dan kebijakan kedua orang tuanya.
Menurut catatan Munawir Aziz di buku “Pahlawan Santri: Tulang Punggung Pergerakan Nasional” Kiai Noer Ali tahun 1934 pergi berhaji dan mencari ilmu di Makkah. Enam tahun lamanya beliau mereguk ilmu di kota Makkah.’
Di sana beliau belajar dengan ulama-ulama terkemuka, misalnya Syekh Muhammad Al-Maliki, Syaikh Umar Hamdan, Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi dan masih banyak ulama lainnya. Tahun 1940, beliau pulang ke tanah air, mendirikan pesantren untuk menyebarluaskan ilmu sekaligus berjuang sebagai aktor penggerak melawan rezim kolonial Belanda.
Dua tahun setelah proklamasi, Kiai Noer Ali mengkomandai ratusan santrinya untuk berjuang melawan penjajah Belanda. Diceritakan, Kiai Noer Ali bergerilya di kawasan Karawang Bekasi.
Langkah Cerdik Kiai Noer Ali
Kyai berjuluk Singa Karawang Bekasi memiliki strategi cerdik melawan rezim Belanda. Saat itu, Kiai Noer Ali tidak serta merta menyerang kolonial Belanda. Beliau memainkan lebih dahulu emosi dan perasaan penjajah Belanda.
Kiai Noer Ali memimpin santri-santrinya untuk memasang ribuan bendera merah putih berukuran kecil di sepanjang jalan dan di rumah-rumah warga di wilayah Rawa Gede. Strategi ini sontak menyulut emosi tentara Belanda. Karena emosi dan frustasi, tentara Belanda akhirnya menyerbu dan membantai habisan-habisan warga di kawasan tersebut.
Pembantaian warga ini kemudian tercatat sebagai tragedi kemanusiaan yang mencoreng nama Belanda akibat membunuh warga-warga yang tak berdosa.
Menurut Munawir Aziz, kejadian kemanusiaan tersebut tercatat dalam laporan De Excessennota. Hasil keputusannya, pemerintah Belanda diminta membayar kerugian bagi ratusan warga yang telah menjadi korban pembantaiannya.
Sematan Singa Karawang Bekasi untuk eliau bukan tanpa alasan, pada waktu revolusi kemerdekaan, beliau berkali-kali lolos dari kejaran dan incaran tentara Belanda dan strategi bergerilya ala beliau dalam memimpin pasukan Hizbullah Sabilillah menggempur pasukan Belanda di wilayah Karawang Bekasi.
Beliau wafat pada beliau wafat pada 29 Januari 1992. Beliau meninggalkan ribuan santri dan warisan-warisannya terutama lembaga pendidikan berupa pesantren At-Taqwa Bekasi. Saat ini pesantren yang beliau bangun, sudah dihuni oleh ribuan santri baik putra maupun putri.
Pada tahun 2006, KH Noer Ali diangkat sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia atas jasa dan pengorbanannya dalam memperjuangkan kemerdekaan. Sosoknya tidak hanya dikenal sebagai seorang pejuang, tetapi juga sebagai panutan masyarakat dalam hal keagamaan dan kepemimpinan. Beliau telah meninggalkan warisan yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia, khususnya bagi masyarakat Karawang-Bekasi.