Mengenal Aliran Mu’tazilah

Mengenal Aliran Mu’tazilah

Mengenal Aliran Mu’tazilah

Kelompok ini sangat dikenal memiliki pengaruh besar dalam sejarah Islam klasik. Kelompok ini sebenarnya sudah ada pada era kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi, kelompok ini berkembang pada masa dinasti Umayyah dan mencapai kematangan pada masa dinasti Abbasiyah. Berbeda dengan aliran teologi Islam lain yang lahir dari konflik politik, Mu’tazilah merupakan kelompok yang menjunjung tinggi rasionalitas dan semangatnya yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan.

Asy-Syahrastani mengatakan bahwa nama Mu’tazilah ini bermula pada peristiwa yang terjadi antara Washil bin Atha’ dan Amr bin Ubaid dengan Hasan Al-Bashri (110 H/ 768 M). Ketika Washil mengikuti ‘pengajian’ yang disampaikan oleh Hasan Al-Basri di masjid Basrah, Irak.

Ketika itu datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al-Basri tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al Basri masih berpikir, tiba-tiba Washil bin ‘Atha mengemukakan pendapatnya: “Saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir”.

Kemudian dia menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan pergi ke tempat lain yang berada di pojok mesjid. Di sana Washil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini, Hasan Al Basri berkata: “Washil menjauhkan diri dari kita (i’tazaala ‘anna).” Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang memisahkan diri pada peristiwa kemudian disebut kaum Mu’tazilah.

Doktrin Mu’tazilah biasa dikenal dengan al-Ushul al-Khamsah (Lima Dasar-dasar pemikiran). Kelima ajaran dasar mu’tazilah adalah at-Tauhid (pengesaan tuhan), al-‘Adl (keadilan tuhan), al-waad wa al-wa’id (janji dan ancaman tuhan), al-Manzilah bain al-Manzilatain (posisi diantara dua posisi) dan al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy an al-Mungkar (menyerukan kepada kebaikan dan mencegah pada kemungkaran).

Di antara tokoh yang paling kesohor dalam mencetus lima prinsip dasar ini adalah al-Jubba’i. Harun Nasution mencatat bahwa al-Jubba’i menyatakan bahwa “Tuhan mengetahui dengan esensinya”. Menurut al-Jubba’i, arti pernyataan tersebut adalah untuk mengetahui bahwa tuhan tidak membutuhkan suatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui..

Doktrin tauhid Mu’tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa tidak ada satupun yang dapat menyamai Tuhan. Begitu pula sebaliknya, Tuhan tidaklah sama dengan makhluknya. Tuhan adalah immateri. Oleh karena itu tidak layak baginya diatribusikan dengan setiap materi. Apapun model yang mengkonstitusikan tubuh Tuhan, itu tidak bisa diterima oleh akal dan mustahil.

Konsep ‘adil bagi Mu’tazilah adalah bahwa keadilan tuhan sangat sesuai dengan porsinya. Artinya kebaikan selalu lahir dan muncul dari tuhan. Karena tidak mungkin tuhan melakukan hal buruk dan kejahatan. Adapun keburukan itu selalu datang dari manusia. Dari cara pandangan ini memiliki konsekuensi bahwa tuhan tidak akan mengazab hamba yang tidak berbuat dosa dan tidak memberikan reward/ pahala bagi yang tidak melakukan kebaikan.

Mu’tazilah juga memiliki beberapa faksi pemikiran di dalamnya. Di antaranya, al-Hudzailiyah yang diinisiasi oleh Abu al-Hudzail Hamdan bin al-Hudzail. Pandangannya bahwa seorang mukalllaf pada dasarnya memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk mengenail baik dan buruknya sesuatu. Dan kelompok kedua yang terkenal adalah al-Jubba’iyah. Kelompok ini dinahkodai oleh Abu Muhammad bin Abdul Wahhab al-Jubba’i. dalam pandangan al-Jubba’i bahwa pelaku dosa besar itu tidak mukmin atau kafir, akan tetapi ia munafik. Jika ia tidak bertobat maka ia akan kekal di dalam neraka.

Pada pertengahan abad 3 H, Mu’tazilah banyak bersinggungan dengan berbagai macam naskah filsafat dan ilmu pengetahuan. Pengaruh mazhab mu’tazilah ini menginspirasi khalifah Ma’mun al-Rasyid dalam menyiapkan ruang penelitian bagi keilmuan Islam bahkan keilmuan sains. Beberapa ilmuwan Islam itu di antaranya adalah al-Kindi, al-Farabi dan lainnya.