Menelusuri Keilmuan Gus Dur: Humanisme, Rasionalisme, dan Kosmopolitanisme

Menelusuri Keilmuan Gus Dur: Humanisme, Rasionalisme, dan Kosmopolitanisme

Gus Dur tidak mengharuskan umat Islam untuk mempelajari ilmu Barat namun Gus Dur menganjurkan bagi seorang muslim untuk mempelajari ilmu Barat guna lebih memahami nilai-nilai yang ada dalam Islam.

Menelusuri Keilmuan Gus Dur: Humanisme, Rasionalisme, dan Kosmopolitanisme

Seolah tak pernah selesai jika membahas sang tokoh fenomenal bernama Gus Dur. Seorang kyai, mantan presiden, budayawan, adalah satu dari banyak peran yang melekat pada dirinya. Inilah yang menjadikan manuver Gus Dur sulit untuk ditebak. Sehingga Nurcholis Madjid dalam satu kesempatan pernah berkata, hal paling misterius dan hanya tuhan yang tahu selain jodoh, maut, dan rezeki adalah Gus Dur.

Tak terasa, meski telah satu  dekade Gus Dur wafat, namun jejak keilmuannya masih dapat dirasakan hingga sekarang. Abdurrahman Ad-Dakhil, begitu nama lengkapnya, menjelma menjadi sosok penakluk sebagaimana nama Ad-Dakhil yang merujuk pada nama pahlawan dari Dinasti Umayyah yang berhasil menaklukkan Spanyol dan mendirikan peradaban yang berlangsung di sana selama berabad-abad (Barton, 2003:33). Gus Dur memang tidak menaklukkan lawan sebagaimana dalam peperangan, namun Gus Dur berhasil menaklukkan berbagai ilmu pengetahuan.

Meski terlahir sebagai cucu dari salah satu pendiri organisasi Islam terbesar di dunia (adalah Nahdhatul Ulama yang didirikan oleh K.H. Hasyim Asyari kakek Gus Dur) tak lantas membuat keilmuan Gus Dur mandek hanya dalam lingkup pesantren  atau ranah keislaman saja. Hal tersebut terbukti dengan kegilaan Gus Dur dalam melahap berbagai macam buku bacaan. Sebagaimana pada masa itu sangat aneh dilakukan oleh seorang santri di pondok pesantren.

Di antara buku-buku yang pernah dibacanya adalah karya Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner. Di samping itu, ia juga membaca sampai tuntas beberapa karya Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y. Gasset, dan beberapa karya penulis Rusia, seperti: Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov. Gus Dur juga melahap habis beberapa karya Wiill Durant yang berjudul The Story of Civilazation.

Melihat kegilaan Gus Dur terhadap buku bacaan, Pak Sumatri, seorang guru SMEP yang juga anggota Partai Komunis pun sampai memberi buku karya Lenin What is To Be Done. Pada saat yang sama pula, Gus Dur telah mengenal Das Kapital-nya Karl Marx, filsafat Plato, Thales, dan sebagainya. Dari paparan di atas saja terlihat bahwa Gus Dur memiliki kekayaan bacaan serta wawasan yang luas.

Tak hanya sampai pada buku bacaan, tradisi  keilmuan  dan  keagamaan  yang  kental  pada  lingkungan  keluarga amatlah berpengaruh  terhadap  perkembangan  intelektual  Gus  Dur.   Meskipun begitu, prinsip keislaman bukan merupakan satu-satunya prinsip yang menjadi dasar pemikirannya. Dikutip dalam Syaiful Arif (2013) corak pemikiran humanisme Gus Dur adalah pertemuan keislaman dan kemanusiaan. Prinsip keislaman lebih merupakan landasan awal bagi segenap pemikirannya.

Sedangkan prinsip kemanusiaan Gus Dur selaras dengan humanisme modern. Pertemuan Gus Dur dengan humanisme ini bisa dilacak dari petualangan intelektualnya, baik secara literal (melalui buku) maupun secara rill (melalui perjalanan intelektual Gus Dur di Eropa). Secara literal, perjumpaan humanisme Eropa terlacak dari pembacaan Gus Dur atas buku Eropa-sentris, misalnya Aera Eropa karya Jan Romein. Menurutnya, buku inilah yang membuat Gus Dur  terpesona dengan Eropa, dengan segenap prestasi peradabannya sejak humanisme, rasionalisme, dan kosmopolitanisme.

Tak hanya sampai disitu, keterpesonaan Gus Dur dengan peradaban Eropa juga tertuju pada ihwal pengangkatan harkat manusia di atas institusi apapun. Oleh karena itu, selayaknya perjuangan kemanusiaan di Eropa, Gus Dur kemudian menurunkan beberapa prinsip konstitutif yang membentuk dan menjamin kemanusiaan. Dalam kaitan inilah prinsip kemanusiaan bertemu dengan prinsip keislaman. Selain dari tradisi humanisme Eropa, Gus Dur mendasarkan kemanusiaan itu di dalam tradisi Islam. Yakni, dalam apa yang ia sebut sebagai ghayat al-mashlahat (tujuan kemaslahatan) yang disediakan oleh tujuan utama syariat (maqashid al-syariah). Yakni  berupa perlindungan atas hak hidup (hifdz al-nafs), hak beragama (hifdz al-din), hak berpikir (hifdzal al-‘aql), hak berharta/kepemilikan (hifdz al-maal) dan hak berkeluarga (hifdz al-nasl).

Perluasan pengetahuan Islam inilah yang disebut Gus Dur sebagai kosmopolitanisme Islam. Yakni perluasan pengetahuan Islam ke ranah kosmopolitan, dimana Islam bertemu dengan tradisi pengetahuan global seperti filsafat Yunani dan sains Eropa. Selanjutnya, kosmopolitanisme Islam ini diyakini Gus Dur sebagai “prasyarat paradigmatis” bagi perjuangan universalisme Islam. Mengapa prasyarat paradigmatis?  karena ia harus menjadi paradigma seorang Muslim, yang ingin mengembangkan dan mewujudkan universalisme Islam.

Singkatnya, kosmopolitanisme Islam adalah keterbukaan pandangan lslam kepada peradaban lain. Sehingga meski Gus Dur tidak mengharuskan umat Islam untuk mempelajari ilmu Barat namun Gus Dur menganjurkan bagi seorang muslim untuk mempelajari ilmu Barat guna lebih memahami nilai-nilai yang ada dalam Islam. Sebab persoalan kemanusiaan kontemporer hanya bisa ditangani oleh keberislaman yang modern demi terciptanya kemaslahatan manusia.

Sehingga inilah salah satu peninggalan pemikiran Gus Dur. Yakni lahirnya pemikiran humanisme Gus Dur yang tak terlepas dari keterbukaanya terhadap ilmu-ilmu barat. Berkat pemikirannya inilah sehingga menghantarkan Gus Dur menjadi seorang humanis sejati. Bukan hanya melalui pemikiran, namun Gus Dur juga berani pasang badan untuk membela mereka yang termarjinalkan.