Dalam Islam kita tidak dianjurkan untuk pasrah atas nasib kehidupan. Penyerahan diri secara total atas nasib merupakan pilihan yang kurang bijak. Jika ada pemahaman seperti ini sejatinya tidak jauh berbeda dengan pemahaman teologis Islam klasik. Pandangan semacam ini dulu dikenal sebagai jabariyah.
Kata Jabariyah sendiri berasal dari kata “jabara” atau “ijbar” berarti yang berarti paksa, terpaksa dan memaksa. Pendiri aliran Jabariyah ini adalah Jaham bin Shofwan. Jaham bin Shofwan berpendapat bahwa hidup setiap manusia sudah ditentukan oleh takdir dan manusia terpaksa untuk menerimanya. Manusia hanya bisa menerima keadaan dan tanpa memiliki pilihan dan usaha dalam perbuatannya.
Pandangan Jabariyah baru berkembang pada abad 2 di Khurasan. Pandangan tentang keterpaksaan terhadap keadaan ini sejatinya berbeda dengan pandangan Qadariyah. Pandangan Jabariyah ini menerima apa adanya keadaan tanpa ada pilihan untuk melakukan sesuatu. Pemahaman ini menyatakan bahwa perbuatan manusia sudah ditentukan oleh qada dan qadar Tuhan yang terdapat lauhul mahfuzh.
Dalam bahasa Inggris istilah Jabariyah sendiri diterjemahkan sebagai predestination, yang berarti takdir. Pandangan Jabariyah ini didasarkan atas pemahaman tekstualis terhadap ayat alquran:
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
Dan Allah menciptakan kamu dan perbuatan kamu. (QS. 37:96)
Atas dasar tekstual dalam memahami ayat ini, Jabariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia telah diciptakan oleh Allah. tidak dapat disangkal bahwa pemahaman semacam ini akan menegasikan perbuatan manusia dan usaha nya sendiri. Karena pemahaman terhadap ayat di atas, Jabariyah ini ditentang banyak pandangan Ahlus Sunnah yang menyatakan bahwa setiap manusia memiliki usaha untuk berbuat (al-Kasb).
Jabariyah ternyata juga memiliki banyak faksi pandangan dan pemahaman teologis yang berbeda. Selain al-Jahmiyah yang digawangi Jahm bin Shofwan, Jabariyah setidaknya memiliki dua faksi lain:
- Al-Najjariyah
Yaitu pengikut dari al-Husein bin Muhammad al-Najjar. Beberapa pandangannya senada dengan Mu’tazilah, akan tetapi mereka juga tidak sepenuhnya sama. Seperti dalam mengafirmasi sifat bagi Tuhan yang diwakilkan lewat menciptakan af’al ibad (perbuatan hamba). Menurut al-Najjariyah, Tuhan berkeinginan untuk dirinya sebagaimana Ia Mahamengetahui bagi diri-Nya. Artinya Dia berkeinginan bukan karena paksaan atau ada yang mengalahkannya. Tuhan juga menciptakan perbuatan manusia, entah itu baik maupun buruk. Akan tetapi manusia memiliki usaha untuk memilihnya. Ini merupakan senada dengan pandangan Asyariyah.
- Al-Dirariyah
Mereka adalah pengikut dari Dhirar bin Amru dan Hafsh. Pengikut ini juga memiliki pandangan bahwa perbuatan makluk diciptakan Tuhan, dan berusaha, usaha dimiliki oleh hamba-Nya. Kedua nama di atas berpendapat bahwa Tuhan Maha mengetahui (‘alim) dan Maha kuasa (qadir) dalam kaitannya dengan bahwa mustahil tidak mengetahui (jahil). Ia adalah materi yang hanya ia mengetahui diri-Nya (mahiyatun la ya’lamuha illa huwa).
Di antara pandangan teologi lain aliran ini, bahwa perbuatan hamba adalah ciptaan Tuhan merupakan haqiqatnya. Dan hamba memiliki usaha untuk berbuat adalah haqiqat bagi hamba. Pandangan semacam ini bagi al-Syahrastani sarat akan dualisme perbuatan yang itu akan menegasikan perbuatan.
Oleh al-Syahrastani aliran Jabariyah ada yang memang sangat mengagungkan ide fatalisme. Contohnya jika ada orang sakit, maka ia hanya pasrah dengan keadaan dan tidak berusaha untuk mengobat dirinya. Namun di sisi lain, ada juga yang bersifat moderat (mutawasshit) yang itu banyak beririsan dengan pemahaman teologi Asyariyah dan Maturidiyah.