Mengenal Abdullah Azzam: Ideolog Sekaligus Praktisi Jihadisme Timur-Tengah

Mengenal Abdullah Azzam: Ideolog Sekaligus Praktisi Jihadisme Timur-Tengah

Abdullah Azzam disebut sebagai ideolog sekaligus praktisi jihadisme di Timur Tengah.

Mengenal Abdullah Azzam: Ideolog Sekaligus Praktisi Jihadisme Timur-Tengah
Pict by TheCounterJihadReport

Abdullah Azzam merupakan pendakwah sekaligus pejuang dari Palestina. Sosoknya dikenal sebagai penggerak jihad di Afghanistan ketika diserang oleh Uni Soviet di tahun 1980-an. Berkat kegigihannya melawan Uni Soviet ini, Azzam disebut sebagai orang Afganistan pertama dari Arab (awwal al-afghan al-arab).

Nama lengkapnya ialah Abdullah Yusuf Azzam. Lahir di tahun 1941 di wilayah Tepi Barat Palestina dari keluarga petani yang cukup sederhana. Azam tumbuh besar di lingkungan yang penuh dengan nilai-nilai keagamaan serta warisan adat Palestina yang cukup kental. Azzam juga tumbuh besar dalam cengkraman imperealisme Inggris dan proyek pendirian Negara Zionis di Palestina.

Pernah mengenyam pendidikan dasar dan menengah di desanya sendiri. Pernah juga kuliah di Universitas Damaskus di Suriah dan lulus di tahun 1966. Azzam melanjutkan tingkat Magister di al-Azhar dan lulus tahun 1969. Sedangkan tingkat doktoral, ia selesaikan di tahun 1973 di Universitas al-Azhar Mesir. Bidang keilmuan yang digelutinya ialah Ushul Fikih.

Azzam dengan pengaruh dari gurunya yang bernama Syafiq As’ad bergabung dengan gerakan Ikhwanul Muslimin di Palestina dan menjadi pemimpin gerakan ini. Bahkan  afiliasinya ke gerakan ini terus berlanjut sampai akhir hayatnya. Kedekatannya dengan gerakan Ikhwan Muslimun inilah, terutama melalui pembacaannya terhadap karya-karya Sayyid Qutb, yang membuatnya memilih jihad sebagai jalan hidupnya.

Pikiran-pikirannya tentang jihad ini memang cukup mencengangkan dan konon mendapatkan restu dari Syeikh Abdul Aziz bin Baz saat tinggal di Saudi dan mengajar di Universitas King Abdul Aziz di tahun 1980. Dan pada tahun 1981, ia pindah ke Universitas Islam di Islamabad Pakistan. Pernah juga sebelum tahun 1980 mengajar di Universitas Yordania. Namun akhirnya Azzam diusir dan ia pindah ke Arab Saudi. Saat itu, Arab Saudi banyak memberikan suaka politik kepada para anggota Ikhwanul Muslimin yang diusir di Mesir dan Irak.

Pada tahun 1984, Azzam bertemu dengan Osama bin Laden dan menjalin persahabatan yang cukup lama dengannya di kala itu. Bahkan kedua saling bantu dalam menyediakan persiapan-persiapan jihad di Afghanistan untuk mengusir Rusia yang komunis. Hubungan ini berlanjut sampai tahun 1987. Bersama Osama bin Laden, Azzam mendirikan Maktabul Khidmat.

Karya yang pernah ditulis Abdullah Azzam ini di antaranya ialah al-Aqidah wa Atharuha fi Bina al-Jail, Islam wa Mustaqbal al-Basyariyyah, Ayat ar-Rahman fi Jihad al-Afghan,  dan Ibar wa Basa’ir lil-Jihad fil Asril Hadir. Kematiannya di Pakistan pada tahun 1989 masih menyisakan misteri. Ada yang mengatakan ia dibunuh oleh inteligen Israel (Mosad). Ada juga yang mengatakan bahwa Inteligen Uni Soviet sebagai dalang di balik pembunuhannya karena usahanya dalam menyerukan aksi jihad di Afganistan. Masih banyak spekulasi di balik pembunuhan figur  ini.

Baiklah kita coba lihat butir pikiran-pikirannya secara langsung. Jika Abu A’la al-Mawdudi dan Sayyid Quthub dianggap sebagai tokoh sentral yang merumuskan pandangan-dunia atau worldview gerakan ekstremisme, Abdullah Azzam disebut sebagai ideolog sekaligus praktisi jihadisme di Timur Tengah.

Dengan menghadirkan kembali Sayyid Qutb, Abdullah Azzam dalam Fi Zhilal Surat at-Taubah menyakini bahwa “Islam itu ibarat koin; satu sisinya ialah pengakuan bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan sisi lainnya ialah bergantung kepada syariat Allah.” Implikasi dari pandangan ini ialah bahwa jika seorang muslim hanya berpijak kepada salah satu dari dua ini, ia bukan muslim. Dalam keyakinan seperti ini juga ada penyatuan akidah dan syariah sebagai dua ranah yang identik. Implikasinya, jika hanya berakidah, percaya pada Allah Yang Maha Esa lalu tidak melaksanakan hukum-hukumnya, seorang muslim akan disebut sebagai kafir.

Masih dalam konteks yang sama, Azzam menegaskan kembali pandangan dunia ekstremis yang pernah dirumuskan oleh Sayyid Quthub yang harus dimiliki oleh setiap muslim, yakni, bahwa “hukum Allah merupakan aspek yang sangat fundamental dalam Islam. Jika seorang Muslim menggunakan hukum selain hukum yang ditetapkan oleh Allah, ia telah melakukan kekufuran. Ia telah keluar dari Islam.”  Sampai di sini, Abdullah Azzam mencap murtad bagi semua muslim yang tidak menggunakan hukum Allah.

Dalam kesempatan lain juga, Azzam mengatakan bahwa “persoalan penting saat ini, bahkan yang menjadi ujian paling besar bagi umat Islam ialah persoalan akidah. Persoalan akidah ialah persoalan yang paling diutamakan…persoalan akidah ialah persoalan sejauh mana Allah dijadikan sebagai pusat pemerintahan (hakimiyyah)”. Konsep kepemerintahan Allah atau konsep Hakimiyyah merupakan suatu konsep yang pernah dirumuskan oleh Abu A’la al-Mawdudi lalu dikembangkan oleh Sayyid Qutb. Dan di tangan Abdullah Azzam, konsep ini hendak dijadikan sebagai inspirasi bagi gerakan jihad.

Pokok pikiran lain dari Abdullah Azzam ialah pandangannya yang menegaskan bahwa jihad merupakan fardhu ‘ain bagi tiap muslim. Tidak seperti ulama pada umumnya yang menyatakan bahwa jihad merupakan fardhu kifayah yang jika sudah dilaksanakan oleh sebagian orang maka gugur kewajibannya bagi sebagian yang lain, Abdullah Azzam malah menegaskan bahwa jihad ialah kewajiban tiap muslim alias fardhu ‘ain. Azzam menegaskan “Jika jihad hukumnya tidak wajib bagi setiap muslim, tentu harus kita hapus pendapat seperti ini dari kamus fikih Islam. Mereka yang memandang jihad bukan fardhu ‘ain pasti di antara dua kategori: orang bodoh atau orang tendensius (mughrid).”

Dalam salah satu risalahnya yang berjudul Addifa ‘an Aradhil Muslimin ahammu furudil A’yan, Azzam merumuskan kembali konsep jihad dengan menawarkan tiga hal: pertama, jihad dengan jiwa (perang maksudnya) hukumnya ialah fardhu ‘ain dan tidak perlu ada izin baik dari istri maupun orang tua dan seterusnya. Kedua, jihad dengan harta juga fardhu ‘ain sehingga tiap muslim dilarang untuk menyimpan uang. Ketiga, meninggalkan jihad sama saja dengan meninggalkan shalat dan puasa, bahkan lebih parah dari meninggalkan dua rukun Islam ini. Jadi jika ada pertentangan antara kewajiban melaksanakan jihad dan keharusan melaksanakan kegiatan keagamaan lainnya, seperti shalat dan puasa, jihad harus diutamakan dari keduanya.

Abdullah Azzam juga tidak hanya membatasi jihad pada tataran lokal. Lebih jauh dari itu, ia menyerukan jihad global. Bagi Abdullah Azzam, selama dunia ini masih didominasi oleh non-Islam, selama itu pula tiap individu muslim wajib melaksanakan jihad. Kewajiban jihad baru berhenti ketika dunia sudah dikuasai oleh Islam.

Abdullah Azzam mengklaim bahwa risalahnya ini mendapatkan persetujuan dari Syeikh Said Hawa, Abdullah al-Ulwan dari Suriah, Ibnu Baz dan Ibnu Utsaimin dari Saudi, Umar Saif dari Yaman, Abdur Razzaq Afifi dari Mesir dan lain-lain. Jadi untuk mendapatkan basis legitimasi bagi pandangan-pandangannya ini, yang seolah menyalahi konsep para ulama fikih pada umumnya, Abdullah Azzam meminta persetujuan dari ulama-ulama besar dan tokoh-tokoh gerakan Ikhwanul Muslimin di masanya.