Mengembalikan Marwah Masjid dari Urusan Politik dan Hal Lainnya

Mengembalikan Marwah Masjid dari Urusan Politik dan Hal Lainnya

Masjid kerap disalahfungsikan, apalagi politik. Bagaimana seharusnya fungsi masjid?

Mengembalikan Marwah Masjid dari Urusan Politik dan Hal Lainnya
Salah satu pengajian khusus pemuda yang diselenggarakan di salah satu masjid di Bandung

Seorang teman asal Madiun, Jawa Timur, setelah beberapa bulan tinggal di Ibu Kota, menemukan segelintir fenomena yang baginya cukup ganjil. Ia menjumpai beberapa masjid yang meminta sumbangan di pinggir jalan dengan suara toa yang menggelegar.

Ia heran, kota segagah Jakarta kok masih ada seperti itu.

Penduduk Jakarta pasti menganggap pemandangan itu biasa. Apalagi di saat jam padat kendaraan, beberapa anak remaja masjid yang kemudian bergiliran dengan orang-orang tua menengadahkan uluran belas kasihan dari para pengendara.

Menarik untuk diulas, pada 2008 penulis menemukan naskah kuno beraksara Arab berbahasa Jawa  (pegon) tulisan Pendiri NU, Hadlratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari. Isinya risalah yang menerangkan masjid. Hanya satu lembar halamannamun pembahasannya cukup kompleks sebanyak 13 poin.

Di antara poinnya, pertama Kiai Hasyim bertutur, “Wajib hukumnya mengagungkan masjid, haram meremehkan dan menghinanya”.

Tidak disebutkan secara pasti, apa saja hal-hal yang termasuk mengagungkan dan meremehkan masjid. Akan tetapi secara akal logika, hal itu bisa didiskusikan bersama. Dalam kasus di atas misalnya, apakah menjemput bola sedekah dari para pengendara merupakan hal mengagungkan masjid, atau bahkan—maaf—merendahkan masjid?

Jika memang masjid membutuhkan sumbangan dana, setidaknya banyak pula cara yang bisa diterapkan. Misal menyusun proposal yang kemudian diajukan kepada orang-orang kaya sekitar masjid, atau kepada perusahaan terdekat, dan juga pemerintah setempat atau kementerian. Dengan begitu, harga diri masjid tetap terjaga.

Kedua, makruh hukumnya menghias-hiasi masjid dengan ukir-ukiran, atau tulisan, atau seperti lantai yang bercorak bunga, atau berwarna-warni, termasuk juga meletakkan gambar Makkah dan Madinah di tembok masjid.

Poin ini juga menjadi menarik. Bila diamati sekilas, ternyata Kiai Hasyim cukup keras soalfikih. Untung saja beliau berijtihad menghukuminya makruh tidak sampai haram. Tidak disebutkan mengapa beliau memilih makruh dalam konteks menghias masjid.

Bisa jadi, masjid yang glamor akan mengganggu kekhusyuan orang yang beribadah.

Tak menutup kemungkinan pula, menghias masjid baik interior maupun eksterior akan menelan biaya mahal. Padahal, hal ini tidak menjadi esensi ajaran Islam. Dikhawatirkan, karena membutuhkan anggaran tinggi, masjid-masjid akan bersaing satu sama lain. Tak heran, kini terkesan para takmir masjid tak lagi memakmurkan isi masjid, tapi hanya berlomba-lomba memakmurkan kulit masjid.

Ketiga, sunnah menjaga masjid dari anak-anak kecil yang belum tamyiz (belum akil balig), orang gila, suara ramai-ramai, adu domba dan omong kosong.

Ini juga merupakan poin yang menarik, di mana Kiai Hasyim ingin mengajak kaum Muslimin agar senantiasa menjaga marwah masjid. Masjid terhindar dari anak-anak kecil bisa jadi agar masjid senantiasa suci. Sedangkan terhindar dari orang gilaagar mereka yang hendak beribadah tidak terganggu dan merasa khawatir dari berbagai kejadian.

Adapun terjaga dari suara ramai, adu domba dan omong kosong sudah seyogyanya sebab masjid bukanlah lapangan, warung kopi, atau balai desa. Pengertian omong kosong tentunya sangat luas, tak salah jika kita mengkategorikan kampanye politik di dalamnya, termasuk khutbah atau ceramah keagamaan yang jauh dari nuansa kesejukan dan kedamaian.

Sebagaimana diketahui, Kiai Hasyim wafat tahun 1947 namun pemikirannya melampaui zamannya. Setidaknya, tiga poin di atas sedikit menggambarkanbetapa Hadlratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari ingin menjaga kewibawaan masjid sebagaimana mestinya.