Bertanya adalah ikhtiar untuk hijrah dari kebodohan, agar menjadi orang yang paham dan mengerti. Dalam syair Arab, ilmu adalah surga, kuncinya adalah bertanya (al-‘ilmu jannatun miftaahuhaa al-suaal). Tapi sisi lain, bertanya juga menjadi malapetaka sebagaimana dalam riwayat Abu Hurairah ditegaskan: “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: Apa saja yang aku larang terhadap kalian, maka jauhilah. Dan apa saja yang aku perintahkan kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian. Sesungguhnya apa yang membinasakan umat sebelum kalian hanyalah karena mereka banyak bertanya dan menyelisihi Nabi-nabi mereka.” [Bukhari dan Muslim].
Dalam hadis ini Nabi SAW menegaskan sesuatu yang dilarang semestinya ditinggalkan, dan apa yang diperintahkan maka lakukan sepenuhnya dengan ketulusan. Kewajiban itu tidak dipaksakan hanya mengikat sebagai kewajiban pada umatnya, tentu dengan kesanggupan masing-masing untuk menjalankan perintahnya.
Tapi, poin penting dalam hadis ini yang ingin saya tekankan adalah penyebab binasa dan celakanya umat terdahulu disebabkan dua hal: Pertama, terlalu banyak bertanya. Umat sebelum Nabi SAW kebiasaannya mereka bertanya sesuatu yang sudah jelas dan benderang. Bertanya itu tak dilarang, tapi mesti dibedakan orang yang banyak bertanya dengan kritis.
Sebagian orang ada yang punya kebiasaan banyak bicara atau bertanya, cara bertanya dan niatnya kadang sekedar ingin menguji seseorang atau ada rasa tak senang jika tak bicara. Sikap tersebut yang tak dibenarkan oleh Nabi SAW, sebab bertanya hakikatnya adalah rasa ingin tahu atau ingin memperjelas.
Lalu, bagaimana dengan sikap kritis? kalau kritis untuk mengoreksi, memberi masukan dan saran dengan cara yang baik dan benar. Karena itu, kritis adalah bentuk dari wa ta washaw bi al haq (saling mengingatkan pada kebenaran), ikhtiar manusia untuk menjadi umat yang terbaik dengan mengingatkan dan meluruskan pada kebaikan jika sesuatu itu salah dan tak sejalan dengan agama.
Nah, umat terdahahulu punya kebiasaan banyak bertanya terhadap sesuatu yang jelas dan benderang. Dari jawaban pertanyaan itu justru akan membuat mereka jadi berat dan terbebani. Misalnya kaum Bani Israil ketika diperintahkan untuk menyembelih satu ekor sapi betina. Mereka bertanya, sapi warna apa, apakah sapi masih “perawan” atau sudah beranak? Hal yang sama pernah di alami ketika ada yang bertanya wahai Nabi, menunaikan ibadah haji hanya sekali atau setiap tahun? Nabi pun terdiam tak menjawab. Lalu di tanya lagi, haji itu dilakukan berkali kali atau hanya cukup sekali saja? Nabi pun menjawab kalau aku jawab berkali kali kamu pun akan menjadi berat.
Kedua, umat terdahulu banyak berbeda dengan Nabi-nabi mereka. Dalam sejarah, Nabi Zakaria dan Yahya keduanya dibunuh oleh umatnya sendiri sebab tak cocok dengan ajaran, pola pikir dan pandangan dengan Nabi-nabinya. Allah mengutus sosok Nabi pada mereka, justru mereka semakin membangkan karena tak nurut dan patuh pada risalah kenabiannya. Al, hasil, Allah pun memberikan cobaan dan dibinasakan akibat ulah dan tangan mereka sendiri.
Binasanya umat terdahulu disebabkan dua hal tersebut adalah nasihat bagi kita hindari kebiasaan banyak bertanya pada sesuatu yang jelas dengan tujuan menguji atau menjatuhkan nama baik seseorang. Sisi lain, hindari untuk melawan, atau ingin mendebat dari nasihat ulama, selama pandangan ulama tersebut sudah jelas dan benderang (athi’u uli al amr)
Lalu, bagaimana jika ulamanya juga berbeda-beda dan punya komunitas sendiri? Pada siapa yang harus di ikuti? pada dasarnya ulama mereka berangkat dari sumber hukum yang sama untuk menyelesaikan masalah, hanya saja berbeda dalam menilai dan pandangannya. Memilih dan ikut siapa? Nabi SAW mengajarkan untuk bertanya pada nurani sendiri (istafti qalbaka).