Mengapa Turki Begitu Mempesona Bagi Para Influencer Islamis?

Mengapa Turki Begitu Mempesona Bagi Para Influencer Islamis?

Mengapa Turki Begitu Mempesona Bagi Para Influencer Islamis?
Ustadz Felix Siauw pun sering piknik, Turki dan lain-lain, negara-negara berbasis muslim lain juga banyak ia kunjungi. Tapi, mengapa ia tidak juga memahami realitas masyarakatnya?

Mungkin sebagian kita masih ingat pada keributan soal film “King Suleiman”. Majelis Ulama Indonesia (MUI) saja sempat turun tangan menangani kekisruhan tersebut. Imaji soal Turki sangat hangat diperdebatkan.

Namun, sosok pimpinan dinasti Ottoman yang pernah difilmkan tidak hanya Sulaiman II, “Fetih” dan serial “The Ottoman Empire” adalah dua dari sekian film yang menampilkan figur Mehmed II. Dikenal sebagai Sultan Ottoman paling tenar karena sejarah penaklukkan Konstantinopel, narasi-narasi soal Mehmed II cukup terjaga hingga hari ini. Kelompok “Hijrah” adalah salah satu kelompok paling gigih.

Para pendakwah cum influencer, macam Felix Siauw, Hawariyyun, atau Weemar Aditya, merupakan motor usaha memelihara memori dan imaji tersebut. Mulai dari mengadakan kajian, ceramah khusus, film, pelatihan, hingga rutin mengadakan perjalanan wisata ke Turki adalah sebagian usaha mereka. Bahkan, Felix Siauw dan beberapa artis “hijrah” menyematkan angka 1453 dalam nama-nama anak mereka.

Menurut pengakuan Felix, penyematan angka tersebut diharapkan bisa menjadi pengingat bagi anak-anaknya kelak akan tugas untuk berperan aktif dalam kejayaan Islam. Menariknya, dari sekian banyak kejadian historis dalam Islam yang terbentang dari zaman Nabi hingga berbagai kesultanan, mereka malah memilih penaklukkan Konstantinopel sebagai peristiwa ikonik.

Saya tidak menemukan alasan eksplisit dari mereka, selain glorifikasi penaklukkan Barat. Sepertinya, para pendakwah tersebut sangat memahami bahwa imaji soal perpecahan Barat-Timur merupakan narasi paling sentimentil di kalangan umat Islam. Hal ini sudah berlangsung lama dan kadang dimunculkan sengaja untuk kepentingan sosial-politik, sebagaimana isu Palestina.

Namun, Turki, khususnya Konstantinopel, memiliki imaji yang berbeda dibanding Palestina. Istanbul, nama ganti Konstantinopel, dianggap simbol penaklukkan bukan narasi kekalahan. Oleh sebab itu, Erdogan dengan segala dinamika di Turki dianggap sebagai bagian suara kemenangan.

Di sini kita bisa melihat bagaimana persebaran ideologi Islamisme memiliki wajah ganda. Ahmad Rafiq, akademisi asal Yogyakarta, menjelaskan bahwa ideologi tersebut membawa narasi yang lekat dengan konteks dan berkelindan dengan gerakan dan dinamika transnasional, di mana ideologi-ideologi gerakan-gerakan ini—Jihadi, Salafi, Tahriri, dan Tarbawi—sebagian besarnya berasal dari Timur Tengah sebagai konteks awal kelahirannya.

Rafiq juga melihat di saat yang bersamaan ideologi gerakan tersebut mengalami proses adaptasi dan apropriasi sesuai lingkungan barunya, ketika hidup dalam ruang-ruang baru dan lokal. Jadi, ia memindahkan ideologi Islamisme dari persoalan-persoalan di tempat asalnya di Timur Tengah ke ruang-ruang dan konteks yang baru pula.

***

Beberapa bulan terakhir ini, urusan Barat-Timur kembali menjadi perbincangan publik. Bahkan bisa dibilang perdebatannya cukup panas. Isunya pun semakin liar di masyarakat selain mereka yang berseteru, mulai soal lulusan, sekolah, hingga kemanfaatan ilmu.

Barat dianggap menjadi “musuh” Islam. Segala yang terlibat atau terkait dengan Barat biasanya dianggap pengkhianat Islam. Dalam dinamika ini terselip perbincangan soal membangun relasi dengan masa terbaik dalam Islam, yakni masa Kenabian dan para Sahabat. Terkoneksi dengan masa tersebut menjadi poin penting karena berdampak pada wacana “Islam yang benar”.

Akan tetapi, bangunan imaji penaklukan Konstatinopel malah memiliki narasi yang hampir serupa, sebagaimana penjelasan Rafiq di atas. Ideologi Islamisme telah berkelindan dan bertransformasi dengan model-model baru, seperti yang dicontohkan para pendakwah cum Influencer tersebut

Untuk memahami lebih dalam, saya mencoba mengulik pilihan para pendakwah tersebut dengan memakai ulasan dari Asma Afsaruddin. Dia berbicara bagaimana kita membuat hubungan dengan Islam di masa lalu. Asma Afsaruddin dalam buku The First Muslim: History and Memory menyebutkan bahwa koneksi dengan Islam di masala lalu, khususnya generasi salaf.

Dalam buku tersebut, Asma menjelaskan bagaimana perbincangan generasi mana yang disebut dengan salaf dan mengapa istilah tersebut muncul dalam masyarakat muslim. Menurut Asma, di era modern, seperti hari ini (penulis), istilah al-salaf al-salih (baca: salafus salih) menjadi sangat penting. Hal ini disebabkan terkait soal otentisitas dan legitimasi.

Apa yang ingin digambarkan lewat istilah tersebut adalah prinsip-prinsip dan praktik-praktik tertentu yang dilakukan oleh generasi muslim saat itu, untuk membuktikan asal mulanya dan membenarkan penerapannya dalam pemerintahan Muslim. Bahkan, juga digunakan untuk praktik ibadah yang selama ini beredar di masyarakat muslim.

Dengan mengklaim diri sebagai bagian dari pengikut salafus salih tersebut, mereka membentuk keterikatan pada generasi yang diklaim sebagai pemeluk Islam yang taat dan benar. Dalam bahasa lainnya, mereka ingin menghapus keraguan atas apa yang selama ini dijalankan adalah tradisi Islam yang otentik.

Namun, kelompok pendakwah cum Influencer ini memiliki imaji tambahan terkait koneksi tersebut. Mereka tidak hanya membangun koneksi dengan masa kenabian, namun di saat bersamaan juga mengkonstuksi imaji penaklukkan terhadap Barat yang dihadirkan dengan membawa narasi penaklukan yang terus dijaga, demi memelihara ideologi tahriri yang cukup akrab di kalangan pendakwah tersebut.

***

Kita sebenarnya belajar hal yang penting bahwa imaji penaklukan yang dibangun oleh para pendakwah cum influencer ini. Di mana, komposisi tindakan represif atau penundukan kepada Yang Liyan tidak selalu dibentuk dalam bingkai penindasan. Namun, di saat bersamaan, mereka mendapatkan keuntungan ekonomi dan status sosial yang meningkat.

Dengan penguasaan sejarah atas penaklukan Konstatinopel yang dilakukan oleh Al-Fatih dan beberapa Sultan terkenal dari dinasti Ottoman, mereka membangun kapasitas sebagai otoritas keagamaan di tengah masyarakat Muslim, khususnya di perkotaan. Mengapa perkotaan?

Sebab, narasi penaklukan atas Barat itu sangat elit, artinya mereka yang benar-benar “mengerti” penindasan atas nama globalisasi dan liberalisme ekonomi adalah kelompok perkotaan. Keberagamaan mereka akhirnya sangat dikaitkan dengan perlawanan atas nama agama.

Masyarakat di pinggiran perkotaan atau kelompok tradisionalis membangun keberagamaannya lewat tradisi-tradisi komunal, macam Haul, Yasinan, hingga berbagai upacara-upacara peringatan. Mereka membangun koneksi dalam narasi yang berbeda dengan kelompok yang menggemari para pendakwah cum Influencer tersebut. Relasi dengan masa kenabian dibangun dengan amaliyah-amaliyah yang disebutkan tersambung sanadnya hingga ke Rasulullah Saw.

Narasi perang dalam sejarah Islam tidak difokuskan pada wacana penaklukkan atau heroisme Islam yang menggelora. Akan tetapi dihadirkan dalam narasi yang lebih berfokus pada pelajaran etis atau berbagai mukjizat Nabi. Hal ini dimaksudkan untuk membangun dan menjaga kecintaan kepada Nabi sebagai bagian penting dalam keberagamaan mereka.

Fatahallahu alaina futuh al-arifin