Pada berbagai literatur kitab fikih klasik, kita akrab dengan redaksi-redaksi ulama yang mengharamkan alat musik atau sebagian memakruhkan. Ada juga yang menyatakan bahwa alat musik hukumnya mubah, namun pendapat ini tergolong minoritas di dalam literatur fikih klasik. Senasib dengan alat musik adalah menari, berdansa dan berbagai hal serupa terkait kesenian yang terkesan hura-hura di zaman itu (klasik).
Salah satu alasan alat musik diharamkan, karena berbagai alat musik populer di zaman klasik identik dengan non-muslim selaku orang yang sering menggunakannya. Karena keidentikan tersebut, seorang muslim menggunakan alat musik di zaman klasik dirasa akan memunculkan fitnah terhadap agama Islam, maka hukum mengharamkan alat musik bagi muslim bertujuan untuk menyelematkan agama dari fitnah.
Baca juga: Ada Musik Dalam Ayat-ayat Al-Quran, Tidak Percaya?
Ilustrasi fitnah pada paragraf di atas adalah ketika seorang muslim mengggunakan alat musik di zaman klasik, lalu (semisal) ada selentingan dari masyarakat, “eh, tuh si fulan main alat musik. Padahal dia kan muslim, kok udah ikut-ikutan gayanya orang non-muslim, soalnya alat musik itu cirinya orang non-muslim”, atau (semisal) “sekarang Islam setuju dengan non-Islam, loh. Itu buktinya si fulan udah gemar main alat musik, padahal si fulan muslim kan, dan alat musik itu cirinya orang non-muslim”.
Menggunakan alat musik merupakan sebuah hiburan, dan sifat estetik musik diduga kuat bisa menyebabkan kecanduan. Ketika melakukan hiburan (menggunakan alat musik) dibarengi rasa candu, dikhawatirkan banyak waktu terbuang untuk sebuah hiburan –sebetapapun hiburan penting jangan sampai menyita banyak waktu. Sebagai tindakan preventif untuk kekhawatiran itu (sadd al-żāri’ah), alat musik diharamkan atau (setidaknya) dimakruhkan –ini alasan lain mengapa alat musik dilarang.
Menurut kajian pada berbagai kitab fikih klasik, termasuk alasan para ulama mengharamkan alat musik, karena menggunakan alat musik berpotensi besar untuk melalaikan seseorang. Begitupun menari dan atau berdansa, diharamkan karena disinyalir berpotensi kuat untuk melalaikan seseorang. Konteks melalaikan bagi seorang muslim adalah membuat teledor dari berbagai hal yang seharusnya dilakukan menurut aturan-aturan syariat, semisal shalat.
Kenapa menggunakan alat musik berpotensi kuat melalaikan dari kewajiban? Setidaknya karena di zaman periode awal Islam –terhitung sejak zaman rasul hingga Islam tersebar pada seluruh Jazirah Arab dan daerah sekitarnya– masyarakat secara umum sulit memiliki kedekatan dengan seorang ulama, sehingga sulit untuk mengontrol perilaku masyarakat secara intens dan efektif.
Kenapa kedekatan antara masyarakat umum dan ulama sulit terjadi di zaman periode awal Islam? Setidaknya karena dua hal: 1) Karena penyebaran Islam di periode awal fokus pada penanaman tauhid sehingga hanya segelintir orang yang memiliki pengetahuan luas tentang Islam (ulama); 2) Karena Islam di periode awal masih baru dikenal sehingga ulama sangat terbatas di saat pemeluk Islam berkembang pesat.
Alasan yang sering dijadikan pijakan bagi hukum keharaman alat musik adalah (karena alat musik) bisa (berpotensi kuat) melalaikan seorang muslim dari kewajiban. Maka dapat disimpulkan bahwa keharaman alat musik bersifat ḥarām li ghayrihi; haram karena faktor eksternal, bukan karena sejatinya alat musik adalah haram seperti minuman keras (bukan ḥarām bi żātihi).
Alat musik merupakan sebuah karya seni atau obyek seni. Bahkan apa yang dihasilkan dari alat musik pun merupakan sebuah karya seni atau obyek seni. Menurut Plato, seni adalah tiruan dari sebuah tiruan. Karena Plato beranggapan bahwa dunia realitas adalah sebuah tiruan dari dunia ide sedangkan seni adalah sebuah tiruan dari dunia realitas.
Menurut Plato, seni bernilai sangat hina karena merupakan tiruan dari sebuah tiruan. Hal ini dikarenakan sebuah tiruan cenderung melupakan seseorang terhadap sesuatu yang ideal. Dunia realitas sebagai tiruan dari dunia ide sering-kali membuat seseorang lupa, semisal dalam dunia realitas berhadapan dengan kebutuhan terhadap uang seseorang lupa pada Tuhan padahal (dalam dunia ide) yang ideal sebagai kecukupan sekaligus kebutuhan semata-mata hanya lah Tuhan.
Baca juga: Hikayat Musik dalam Peradaban Islam
Seni sebagai tiruan dari dunia realitas acap-kali melupakan seseorang terhadap realita. Semisal karya seni berupa film percintaan yang begitu dahsyat romantis. Film tersebut sering-kali melupakan seseorang terhadap dunia realitas, (setidaknya) melalui dua sudut pandang:
1) Kedahsyatan kisah cinta dalam film membuat seseorang melupakan dunia realitas seakan-akan jauh lebih dahsyat jika kisah cinta dalam film itu menjadi realitas bagi seseorang tersebut; 2). Karena kedahsyatan kisah cinta dalam film, seseorang merasa bisa untuk menjadikan film itu sebagai dunia realitas bagi dirinya, padahal ia memiliki banyak perbedaan dengan aktor dalam film itu yang tidak memungkinkan kisah itu terwujud pada realitas seseorang tersebut, berarti saat ini ia melupakan realitas dirinya.
Seni sebagai tiruan menurut Plato, bagi seorang muslim dianggap cenderung membuat lupa terhadap kewajiban syariat dalam realitas bahwa seseorang yang dimaksud adalah beragama Islam. Dengan demikian, gagasan Plato tentang seni merupakan tiruan dari sebuah tiruan bisa dijadikan sebuah perspektif untuk sebuah alasan terkait keharaman seni pada berbagai kitab fikih klasik yakni, melalaikan seseorang.
Sebagai penutup namun bukan bersifat kesimpulan, bahwa bahasan hukum mengharamkan alat musik dalam tulisan ini terfokus pada konteks zaman klasik, bukan membahas tentang alat musik untuk konteks saat ini. Pada zaman kajian sufi mulai berkembang di dunia Islam, saat itu pula alat musik bahkan kesenian secara umum perlahan menjadi tak masalah. (AN)
Wallahu a’lam.