Salah satu faktor utama kegagalan berbagai negara dalam menghadapi Pandemik Covid-19 adalah melupakan peringatan sejarah. Masa lalu sudah memberikan gambaran bahwa Virus canggih seperti Covid-19 akan hadir mengobrak-abrik standar kehidupan global yang kita jalani selama ini. Perkembangan transportasi udara seperti pesawat terbang telah membuat virus apapun menyebar dengan kecepatan yang tidak pernah bisa dibayangkan. Sejarah menunjukan bahwa rangkaian Pandemik sejak Flu Spanyol, SARS, Flu Babi, Ebola dan Zika akan terus berlanjut pada jenis virus yang lebih kompleks.
Perkembangan virus dan makin kompleksnya patogen ini seiring dengan logika perubahan dan kelanjutan dalam sejarah. Biologi menyebutnya sebagai ‘Mutasi.’ Pemahaman semacam ini diajarkan pada mata pelajaran Sejarah jenjang Kelas X tingkat Menengah Atas / Sederajat. Sayangnya, Pelajaran sejarah kelas X di SMK akan hilang dan Sejarah Indonesia di SMA hanya akan menjadi pilihan. Dengan demikian, peserta didik kita kehilangan kesempatan untuk memahami latarbelakang Pandemik covid-19 yang membuat hidup mereka berubah dan berbeda dari generasi sebelumnya.
Para pelajar angkatan yang baru masuk sekolah (SD, SMP, SMA, Universitas) ditahun Pandemik ini merasakan betul betapa berbedanya mereka dengan generasi manapun dalam seratus tahun terakhir. Tidak ada hari pertama masuk, perayaan, perkumpulan, masa pengenalan bahkan menginjakan kakinya ke sekolah pun tidak. Begitu pula dengan pelajar angkatan yang baru saja lulus dari tingkat SD, SMP, SMA dan Universitas, mereka tidak akan melupakan betapa berbedanya mereka karena merayakan pertemuan tanpa sentuhan.
Batin purba mereka pastinya memberontak; mengapa manusia bisa sampai ke zaman dimana saling berdekatan adalah malapetaka? Adakah selain sejarah bisa menjelaskan asal mula semua ini?
baca juga: bagaimana generasi Soekarno-Hatta menangani wabah?
Penjelasan sejarah memang bukan monopoli guru sejarah. Sebelum kehidupan modern memisahkan antara orangtua dan anaknya melalui jam kerja, para remaja yang akan diinisiasi mendapatkan sebuah kisah sejarah–terkadang dalam bentuk mitos. Semacam hadiah berbentuk cerita para tetua sebagai bekal kehidupan.
Singkat kata, tradisi semacam itu hilang digantikan oleh rutinitas kehidupan modern. Kemudian, semua penjelasan sejarah serta kebijaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada guru sejarah di sekolah. Sementara itu para orangtua sibuk bekerja. Apakah guru sejarah mampu mengemban beban sebesar itu? Menceritakan ulang memori kebijaksanaan sejarah pada siswa yang telah lepas dari akar nenek moyangnya?
Para guru sejarah telah diatur sedemikian rupa oleh Kompetensi Dasar (KD) yang ditetapkan pemerintah. KD yang ditetapkan dalam Kurikulum 2013 sama sekali tidak menyinggung pentingnya hubungan antara manusia dan alams. Padahal, hubungan yang erat antara manusia dan fenomena alam akan menjawab sejauh mana manusia telah melangkah melewati batas-batas kemampuan biologisnya.
baca juga: flu influenza di Spanyol
Begitupun Covid-19. Tidak ada KD dalam Kurtilas yang bisa menjadi pemicu para guru sejarah bisa menyampaikan betapa pentingnya keberadaan Virus dalam merubah sejarah suatu bangsa. Saat Pandemik Flu Spanyol 1918 buku sejarah sibuk dengan Perang Dunia I dan Revolusi Bolsevik. Tahun 2003 dunia sibuk menyebut orang Islam sebagai Teroris sebagai dampak peristiwa 9/11 yang dilanjutkan dengan serangan AS ke Irak. Virus SARS hanya seperti iklan Shampo yang lewat begitu saja.
Tahun 2009 saat Flu Babi merebak, dunia fokus pada penyelamatan pasca-krisis 2008, dan masih membicarakan perang di Timur Tengah. Flu Babi bahkan tidak masuk dalam list Sepuluh peristiwa terpopuler tahun 2009. Tahun 2014 saat Ebola merebak, dunia terfokus pada jatuhnya pesawat Malaysia Airlines, Konflik di Ukraina dan kemunculan ISIS. Tahun 2016, virus Zika mendapatkan perhatian namun tenggelam oleh Kemenangan Donald Trump, Brexit, Kudeta Turki dan perang saudara di Suriah. Artinya kesempatan agar wabah mendapatkan tempat dalam buku sejarah sangat kecil.
Uniknya, dalam film dokumenter Pandemik: How To Prevent an Outbreak (2020), diperbandingkan antara kebijakan Obama menangani Ebola dan kebijakan Trump menangani Covid-19. Sejarah telah menunjukan sikap Obama lebih baik daripada Trump. Intervensi Amerika Serikat (AS) terhadap Ebola di Afrika melalui Center of Disease Control and Prevention (CDC) pada masa Presiden Obama (AS) berpengaruh cukup besar sehingga virus ini terkarantina dan tidak menyebar ke seluruh dunia. Total korban meninggal Ebola diseluruh dunia hanya 11.310. Sedangkan Korban Meninggal Covid-19 diseluruh dunia sampai 947.000 dan di AS sendiri mencapai 198.000 atau 17 kali lipat kematian Ebola diseluruh dunia. Kenyataannya dana CDC dipotong 20% oleh pemerintahan Trump (Guardian, 24/3/2020).
Berapa triliun dollar yang bisa diselamatkan AS seandainya Trump belajar sejarah? Mengapa Pandemik sulit masuk dalam peristiwa penting?
Sebagai contoh, pada saat Flu Spanyol merenggut ratusan ribu orang di Pulau Jawa, buku sejarah Indonesia dan peminatan di sekolah sama sekali tidak membahasnya. Nama-nama organisasi pergerakan nasional memenuhi lembar-lembar buku sejarah daripada informasi mengenai wabah flu Spanyol. Begitupun ketika virus SARS, H1N1, Ebola dan Zika merebak, buku sejarah masih sibuk dengan urusan politik dan perang.
Kurikulum 2013 memang lemah dan penuh kekurangan, namun menghapus pelajaran sejarah memperburuk keadaan. Salah satu dampak seriusnya adalah amnesia masal yang boleh jadi membuat masyarakat tidak lagi mampu mengingat peristiwa-peristiwa penting di masa lalu sehingga mudah saja bagi mereka jatuh ke lubang yang sama. Kegagalan Pemerintah dalam merespon Pandemik Covid-19 hampir mirip dengan kegagalan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menangani Flu Spanyol seratus tahun silam.
Oleh sebab itu, menghapus ingatan sejarah merupakan cara penanganan Pandemik dengan cara melupakannya. Kemdikbud sudah menjalankan tugasnya mengubur aib negara. Menghilangkan pelajaran sejarah adalah solusinya.