Bagaimana Soekarno-Hatta & Generasi Emas Kita Menghadapi Wabah?

Bagaimana Soekarno-Hatta & Generasi Emas Kita Menghadapi Wabah?

Dalam sejarah, bagaimana generasi emas menghadapi malapetaka wabah?

Bagaimana Soekarno-Hatta & Generasi Emas Kita Menghadapi Wabah?
Bung Hatta bersikap tegas terhadap formalisme agama, ia menilai islam sudah ada dalam konsep pancasila. Pict by intisari

Jika anda dilahirkan tahun 1900, seperti Ignatius Joseph Kasimo (pahlawan nasional) pada saat ulang tahun ke-14 anda mengalami Perang dunia Pertama (WWI) yang baru dimulai dan Perang tersebut berakhir pada saat ulang tahun anda ke-18 dengan total korban tewas 22 juta jiwa.

Lebih muda setahun, Soekarno berusia 13 tahun saat Perang Dunia I dimulai. Saat ulang tahun ke 17, Soekarno menyaksikan Perang Dunia I berakhir disertai Pagebluk (Pandemik) di Pulau Jawa akibat wabah Flu Spanyol pada saat bersamaan.

Setelah Perang Dunia I (WW I) berakhir, pasukan tentara yang pulang ke negaranya masing-masing menjadi kendaraan bagi virus ganas “Flu Spanyol”. Soekarno yang berusia 17 tahun selamat diantara 50-100 orang tewas. Begitu juga Muhammad Hatta yang berusia 16 tahun, dan Mohammad Yamin baru merayakan ulang tahunnya yang ke 15 disaat Pandemik. Yamin mungkin jika dibandingkan dengan anak SMP sekarang yang baru saja lulus SMP, sepertinya tidak akan mengalami acara pelulusan sebagaimana biasanya dan Soekarno-Hatta kurang lebih berada diantara kelas 1-2 SMA; masa indah gejolak putih abu-abu malah menghadapi wabah Flu Spanyol.

Saat wabah Flu Spanyol Ki Hajar Dewantara berusia 29 tahun, masih di pengasingan karena pada usia 24 tahun (1913) ia sangat kritis terhadap pemerintah Kolonial Hindia Belanda sehingga di buang ke Negeri Belanda. Ia disana belajar, entah apakah bertemu dengan Tan Malaka yang saat itu sedang dalam masa sekolah saat pandemik Flu Spanyol.

Setahun setelah Pandemik, tahun 1919 Ki Hajar malah pulang ke tanah Air dan mendirikan Taman siswa. Tentu ini berbeda dengan –yang katanya millenials– lulus dari luar negeri, ditengah wabah malah mendirikan mesin digital yang bisa merampok anggaran negara.

Dua tahun setelah pandemik Flu Spanyol, di usia 23 tahun Datuk Tan Malaka menjadi seorang guru. Di usia 24 tahun Tan Malaka berhenti jadi guru, (mungkin frustasi membuat RPP) dan sudah aktif di Sarekat Islam. Di usia 25 tahun ia menjadi komite eksekutif komintren dan berbicara di forum Internasional. Entah kenapa Tan Malaka tidak seperti Millenials sekarang yang kebingungan memilih kampus dan bisa belajar sambil menjadi penyanyi dan model iklan sampo sekaligus.

Saat itu Mohammad Hatta sebagai pelajar luar negeri sedang aktif-aktifnya dalam organisasi Perhimpunan Indonesia. sementara Soekarno baru memutuskan untuk bercerai dari Oetari dan belum menyadari takdirnya setahun kemudian akan menikahi janda.

Saat berusia sekitar 26-29 tahun, masa matang menikah dan mulai berupaya stabil secara ekonomi, justru Soekarno, Hatta dan Yamin menghadapi zaman Great Depression atau krisis global—ancaman pengangguran hebat. Saat itu, tahun 1929, negara Hindia Belanda ikut terdampak krisis yang terjadi di Amerika Serikat tersebut.

Saat Krisis global dimulai tahun 1929, Sementara M. Hatta baru saja keluar penjara sedangkan Soekarno baru saja dijebloskan gara-gara aktivitasnya di PNI. Meskipun bukan residivis atau terdaftar sebagai napi asimilasi, Soekarno-Hatta tidak pernah mengeluh mata pencaharian terancam, mereka justru meramalkan bahwa Indonesia akan merdeka.

Kira-kira saat Soekarno, Hatta dan Yamin diusia mencapai 40an, Perang Dunia Kedua (WWII) terjadi (1938-1945). Sekitar 75 juta orang tewas dalam perang ini. Selama itu Indonesia kedatangan Jepang tahun 1942. Di usia 41 tahun bukannya Soekarno menikmati kematangan karir sebagai Insinyur, ia malah luntang lantung dari penjara Ende Flores hingga Bengkulu. Meskipun di zamannya, mobilitas tinggi seperti itu membuat Soekarno mudah kawin dimana saja, sementara karibnya Hatta masih bernazar tidak akan menikah sebelum Indonesia merdeka padahal Perang Dunia Kedua masih berlangsung.

Perang, wabah dan penjara sepertinya bukan suatu rintangan bagi generasi tersebut. Bayangkan:

• Anda menyaksikan Wabah global terbesar saat itu (Flu Spanyol);

• terdampak Krisis Ekonomi Great Depression,

• Menyaksikan, terdampak Tiga Perang Besar: Perang Dunia 1 & 2 serta Perang Dingin.

• Berada di ketegangan ancaman perang Nuklir justru ketika anda sudah mulai tua dan ingin hidup bahagia.

Dibandingkan apa yang kita alami sekarang, mereka yang lahir sekitar tahun 1900an, merupakan generasi emas tangguh oleh karena sukses melewati zaman yang cukup sulit dan terus berubah. Entah mungkin kebetulan, ternyata mereka adalah para pendiri bangsa kita. Dan semoga, kita bukan generasi yang hendak merobohkannya.

Selamat berbuka!