Jika di masa lalu oposisi berasosasi dengan kritisisme, di era sekarang mereka merosot martabatnya menjadi sekadar segerombolan pencipta hoaks. Tidak ada ideologi yang menyatukan mereka. Latar belakangnya bisa Islam puritan, bisa ateis garis keras, bisa feminis mentok, atau bisa juga para aktivis ronin yang hidup dari jualan isu HAM dan sejenisnya.
Kritik yang berbobot terhadap pemerintahan justru sering datang dari para pendukungnya sendiri, bukan oposisi. Mereka sangat cerewet ketika Jokowi terlihat lambat mengatasi agresi para bigot. Mereka bahkan tidak segan berdemonstrasi menentang kebijakan yang dianggap bertentangan dengan kebutuhan atau identitas masyarakat tertentu.
Banyak pengamat dari luar silap terhadap perkembangan ini. Pikiran mereka masih tertinggal di era Orde Baru. Mereka memaksakan teori lama yang menganggap negara adalah maha kuasa, sementara masyarakat adalah lemah tanpa daya.
Hoaks adalah satu-satunya bahan yang bisa diolah oleh oposisi karena mereka pada dasarnya tidak mempunyai visi. Mereka adalah sisa-sisa Orde Soeharto dan Orde SBY yang gagal bergabung dengan rezim pemerintahan sekarang, lalu sedemikian rupa memanfaatkan rasa frustrasi sosial di masyarakat yang lebih bersumber pada sentimen agama daripada pandangan sosial ekonomi yang nyata.
Untungnya, atau sialnya, mereka hidup di zaman teknologi digital yang mampu menyebarluaskan hoaks secara cepat dan luas.