Beredar potongan video yang menyatakan Kementerian Agama adalah hadiah untuk NU. Pernyataan itu disampaikan oleh Menteri Agama sendiri, Yaqut Cholil Qoumas, dalam acara hari santri yang diadakan Rhabithah Ma’ahid Islamiyyah PBNU. Pernyatatan Gus Yaqut ini mendapat respons dari banyak pihak, khususnya di media sosial.
Ada yang nyinyir tanpa argumentasi, tapi tidak sedikit pula yang membantah pernyataan Menteri Agama sembari menunjukkan data tentang sejarah pendirian Kementerian Agama. Mereka ingin menunjukkan kepada publik, dan secara khusus untuk Menteri Agama, bahwa yang berperan dalam pendirian Kementerian Agama bukan hanya NU, tetapi juga tokoh lain di luar NU.
Namun sayangnya, artikel yang berkaitan dengan sejarah pendirian Kementerian Agama yang bertebaran di media sosial saat ini, tidak merujuk pada data, referensi yang kuat, dan tidak membaca buku sejarah Kementerian Agama yang ada secara kritis. Harus diakui, rujukan sejarah Kementerian Agama memang sangat terbatas.
Keterbatasan sumber sejarah ini diakui oleh Azyumardi Azra. Dalama artikelnya tentang HM. Rasjidi, termaktub dalam buku Menteri-Menteri Agama: Biografi Sosial Politik (2018), mengatakan “kronologis terbentuknya Kementerian Aagma tidak begitu jelas”. Karena keterbatasan sumber, Azra pada akhirnya, merujuk tulisan Deliar Noer dalam Majalah Panjimas, yang menyatakan proposal pengajuan pendirian Kementerian Agama diajukan pertama kali oleh KH. Abu Dardiri pada 11 November 1946. Artikel Deliar Noer ini kemudian banyak dikutip oleh penulis berikutnya, yang menulis sejarah pendirian Kementerian Agama.
Selain Deliar Noer, sejauh ini, ada beberapa sumber sejarah Kementerian Agama yang bisa dijadikan rujukan. Di antaranya, 1. Booklet Departemen Agama 10 Tahun/ Kementerian Agama 10 Tahun, Jakarta 1956; 2. Booklet Departemen Agama 27 Tahun; Departemen Agama 29 Tahun; 3. Laporan Sejarah Departemen Agama (Naskah Tahap I hingga IV) diterbitkan oleh Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Tahun 1980-1984; 4. Amal Bakti Departemen Agama RI 3 Januari 1946 – 3 Januari 1996/ 50 Tahun Departemen Agama; Eksistensi dan Derap Langkahnya Edisi II Jakarta 1996; Menteri-Menteri Agama: Biografi Sosial Politik Terbitan Badan Litbang Kementerian Agama Tahun 2018.
Dari lima sumber yang disebutkan di atas, hanya satu sumber yang menyebut peran penting KH. Hasyim Asy’ari dalam proses pendirian Kementerian Agama, yaitu tulisan Saiful Umam dalam buku Menteri-Menteri Agama (2018). Sementara sumber sejarah lainnya, khususnya Amal Bhakti Dapartemen Agama 1996, tidak menyinggung sedikit pun peran KH. Hasyim Asy’ari dalam sejarah Kementerian Agama. Padahal, KH. Hasyim Asy’ari pada masa penjajahan Jepang menjabat sebagai kepala Shumubu, yang menjadi cikal-bakal lahirnya Kementerian Agama.
Shumubu, dalam catatan umam, merupakan kelanjutan dari Kantoor voor inlandsche zaken (Kantor Urusan Pribumi) pada masa Belanda. Lembaga ini pertama kali dipimpin orang Jepang bernama Kol. Horie, yang kemudian digantikan Hoesein Djajaningrat. Karena ada perubahan kebijakan Jepang, kepemimpinan Shumubu pada akhirnya diserahkan kepada KH. Hasyim Asy’ari.
Anehnya, dalam sumber sejarah Kementerian Agama yang lain, nama dan peran KH. Hasyim Asy’ari ini dihilangkan, entah disengaja atau tidak. Malah, dalam buku Amal Bakti Departemen Agama RI 3 Januari 1946 – 3 Januari 1996/ 50 Tahun Departemen Agama, dan Eksistensi dan Derap Langkahnya Edisi II Jakarta 1996, yang disebut sebagai Ketua Shumubu di masa Jepang adalah KH. Mas Mansyur, bukan KH. Hasyim Asy’ari. Padahal data paling kuat menunjukkan, ketua Shubumu pada masa Jepang adalah KH. Hasyim Asy’ari.
Hilangnya nama KH. Hasyim Asy’ari dalam sejarah pendirian Kementerian ini menarik untuk ditelusuri. Apa motif yang menyebabkan tim penulis buku sejarah Kementerian Agama tidak memasukkan nama KH. Hasyim Asy’ari sebagai sosok yang menjadi cikal-bakal pendirian Kementerian Agama. Apakah hilangnya nama itu disebabkan keterbatasan tim penulis terhadap sumber sejarah Kementerian Agama, atau ada kesengajaan dari penguasa atau ideologi dominan untuk menghilangkan kontribusi kelompok tradisionalis dalam sejarah Kementerian Agama.