Sering kali kita mendengar kabar ketidaksetujuan ormas tertentu kepada salah seorang ustadz, sebut saja Felix Siauw. Ketidaksetujuan itu akhirnya mengarah kepada pembubaran pengajian-pengajian yang diselenggarakan dengan mengundang ustadz tersebut. Walaupun pembubaran tersebut menimbulkan pro dan kontra.
Para pembaca tentu harus mengetahui, mengapa ormas tersebut tidak sepakat dengan kajian-kajian yang dilakukan oleh Felix Siauw.
Salah satu statemen Felix Siauw yang cukup kontroversial adalah cuitannya di twitter yang mengatakan bahwa membela nasionalisme tidak ada dalilnya dalam agama.
Begitulah kicauan saudara seiman kita, Felix Siauw—Anda bisa memanggilnya demikian jika ragu menyebutnya saudara setanah air karena tanah air kita bersistem demokrasi, bukan khilafah.
Ya, kah?
Pertama: Sudut Pandang Kaidah Fikhiyyah
Sesuatu yang tidak ada dalilnya tak serta-merta tidak boleh dilakukan, apalagi sampai serta-merta diharamkan. Dalam kaidah fikhiyyah Mazhab Syafii berlaku prinsip ini: Pada dasarnya, segala sesuatu itu boleh, sampai ada dalil yang mengharamkan (al-Ashl fi al-asy-ya’ al-ibahah hatta yadulla al-dalil ‘ala al-tahrim).
Tapi, dalam Mazhab Hanafi, sebaliknya: Pada dasarnya, segala sesuatu itu haram, sampai ada dalil yang menghalalkan (al-Ashl fi al-asy-ya’ al-tahrim hatta yadulla al-dalil ‘ala al-ibahah).
Ada yang mencoba mengkompromikan kedua kaidah saling bertentangan itu.
Kaidah Mazhab Hanafi (pada dasarnya, segala sesuatu itu haram) secara khusus untuk persoalan ibadah mahdah (shalat, puasa, haji, zakat, wudu … apa lagi?). Shalat, umpamanya. Dalam shalat, segala aturan sudah jelas. Rukun shalat, misalkan. Anda bisa sebutkan: berdiri (bagi yang mampu); takbiratul ihram; membaca al-Fatihah di setiap rakaat; rukuk; berdiri setelah rukuk (iktidal); sujud dua kali; duduk di antara dua sujud; duduk tasyahud akhir; membaca shalawat nabi dalam tasyahud akhir; membaca salam; semua itu dilakukan secara urut.
Nah, Anda tidak diperkenankan melakukan gerakan-gerakan (atau melantunkan bacaan-bacaan) yang tak diatur dalam shalat. Misal, saat dalam posisi iktidal, Anda beriktidal sambil hormat seperti hormat kepada bendera merah-putih. Haram. Hukum melakukan hormat saat iktidal adalah haram, sampai ada dalil yang memperbolehkannya. Berhubung Nabi terakhir telah tiada dan karenanya takkan pernah ada syariat baru soal shalat maka hormat saat iktidal pun selamanya diharamkan.
Sedangkan kaidah Mazhab Syafii (Pada dasarnya, segala sesuatu itu boleh) di atas diterapkan untuk selain ibadah mahdah atau “urusan duniawi” atau hal-hal yang tak disebutkan (hukumnya) secara jelas dan pasti, secara qath’iy al-dilalah, baik dalam Al-Quran maupun hadis. Jadi, jika Felix Siauw meyakini bahwa membela nasionalisme tidak ada dalilnya (selain nasionalisme bukan bagian dari ibadah mahdah, tentu saja) maka kaidah di Mazhab Syafii ini bisa diterapkan: pada dasarnya, membela nasionalisme itu boleh, sampai ada dalil yang mengharamkannya.
Pertanyaannya: adakah dalil qath’iy (dalil pasti), baik dalam Al-Quran maupun hadis, yang melarang nasionalisme? Adakah dalil dalam kedua sumber utama itu yang melarang ajaran mencintai bangsa dan negara sendiri?
Jika tidak ada maka hukum membela nasionalisme adalah boleh. Hukum mencintai bangsa dan negara sendiri adalah mubah.
Catatan khusus tentang “mubah”. Dalam fikih, “mubah” adalah hukum dasar. Sesuatu yang dihukumi mubah bisa berubah menjadi dihukumi wajib atau sunah atau makruh atau malah haram, sesuai situasi yang menyertai sesuatu itu.
Soal nikah, misalnya. Dalam fikih, menikah itu hukumnya ada 5: yang pertama adalah mubah—ini dasar di atas kertas. Lalu, di atas lapangan, menikah bisa: wajib—jika Anda telah sanggup dan siap secara lahir-batin, tapi tidak sanggup menahan syahwat dan khawatir terjerumus dalam kemaksiatan; sunah—jika Anda telah sanggup dan siap secara lahir-batin dan tak ada alasan untuk tidak menikah; makruh—jika Anda belum sanggup dan belum siap secara lahir-batin; haram—jika Anda memiliki tujuan buruk dalam pernikahan. Situasi yang terjadi dalam diri Anda—pertimbangan unsur manfaat dan unsur madarat—akan menentukan hukum menikah untuk Anda.
Ilustrasi perihal hukum menikah itu bisa Anda terapkan dalam perihal membela nasionalisme. Dengan berbagai pertimbangan situasi yang Anda alami sebagai warga negara Indonesia, Anda bisa menentukan sendiri hukum membela nasionalisme terhadap negara ini.
Bagi saya yang lahir dan tumbuh di negara ini, sekolah dan menikah di negara ini, serta bayar pajak kepada negara ini dan menikmati hasil pembangunan-pembangunan negara dari hasil pajak warga negara ini—selain segala kebusukan negara ini, hukum membela nasionalisme terhadap negara ini mengerucut menjadi dua: wajib atau sunah. Tak ada alasan untuk mengatakan makruh apalagi haram membela nasionalisme terhadap negara dan bangsa sendiri.
Kedua: Sudut Pandang Ushul Fikih
Anas ibn Malik menceritakan, jika sudah melihat dinding-dinding Madinah dari kejauhan sekembalinya dari sebuah perjalanan, Rasulullah akan memacu tunggangannya dengan lebih kencang karena perasaan cintanya kepada kota itu (HR. Bukhari dan Tirmizi).
Dalam ilmu ushul fikih, ada empat cara menarik kesimpulan hukum dari sebuah nas Al-Quran atau nas hadis: pertama, ‘ibarah al-nass, yaitu kesimpulan hukum yang dikehendaki sebuah ayat Al-Quran atau hadis Nabi sudah terbaca jelas di teksnya. Seperti ayat wa ahllallah al-bai’a wa harrama al-riba. Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Makna yang dikehendaki dari surah al-Baqarah ayat 275 itu sangat terlihat jelas di teksnya: jual-beli halal, riba haram.
Kedua, ‘isyarah al-nass, yaitu kesimpulan hukum yang dikehendaki sebuah ayat Al-Quran atau hadis Nabi tak terbaca secara jelas dari teksnya, tapi dari “isyarat makna”. Seperti ayat fas alu ahl al-dzikr in kuntum la ta’lamun. Bertanya kepada orang yang memiliki pengetahuan jika kau tidak mengetahui (al-Nahl; 43).
Secara tekstual, arti ayat itu menyuruh Anda yang tidak tahu untuk bertanya kepada orang yang tahu. Secara ‘isyarah al-nass, ayat itu mengisyaratkan keharusan adanya orang-orang alim, para ulama, orang-orang terpelajar, agar orang-orang yang tidak tahu bisa mencari tahu tentang persoalan hukum, misalnya.
Ketiga, dilalah al-nass, yaitu menemukan makna lebih luas dari sebuah ayat Al-Quran atau hadis Nabi dengan menggali “ruh”-nya. Seperti ayat fala taqullahuma “uff”. Jangan berkata “uff” kepada orangtua (al-Isra: 23). Secara tekstual, ayat itu melarang seorang anak berkata “uff”, sering diterjemahkan dengan “ah!” sebagai ungkapan mengelak atau menampik dengan maksud meremehkan orangtua. Ruh ayat itu adalah larangan menyakiti hati orangtua. Maka, segala hal yang menyakiti orangtua itu dilarang, baik dari kata-kata maupun tingkah laku.
Keempat, iqtidha al-nass, yaitu mengungkap kata tersembunyi dalam sebuah ayat Al-Quran atau hadis Nabi. Seperti ayat hurrimat ‘alaikum ummahatukum …. Terjemahan leterleknya: Diharamkan atas kalian ibu-ibu kalian … (al-Nisa: 23). Kata tersembunyi dalam ayat itu adalah “menikahi”. Maka, kita sering menemukan kata dalam kurung di terjemahan Al-Quran Depag. Diharamkan atas kalian (menikahi) ibu-ibu kalian.
Lalu, bagaimana kita melihat hadis HR. Bukhari dan Tirmidzi di atas? Secara ‘ibarah al-nass, hadis itu hanya bercerita tentang Rasulullah yang mempercepat tunggangannya begitu mendekati Madinah sepulang dari perjalanan karena saking cintanya kepada kota itu. Apa “isyarat makna” (‘isyarah al-nass) yang ditunjukkan hadis tersebut?
Isyarat maknanya adalah dalalah ‘ala fadhl al-madinah wa ‘ala masyru’iyyah hubb al-wathan wa al-hanin ilaih. Rasa cinta Nabi kepada Madinah mengisyaratkan ketutamaan kota itu dan bahwa mencintai tanah air, mencintai ibu pertiwi adalah sah secara syariat. Ada dalilnya dalam hukum Islam.
(Anda bisa temukan keterangan paragraf terakhir di atas di kitab Fath al-Bari [syarah Shahih al-Bukhari] karya Ibnu Hajar dan kitab Tuhfah al-Ahwadzi [syarah Sunan al-Tirmidzi] karya Imam Mubarakfuri).
Terakhir, berpikir cara fikih dan ushul fikih terkadang memang rumit, namun mesti dilakukan agar tak menggampangkan sesuatu dalam beragama [atau sebaliknya, mempersulit sesuatu]. Tak mudah mengatakan ini dan itu tidak ada dalilnya hanya karena Al-Quran dan hadis secara tersurat tidak membahasnya. Secara tersurat, mungkin Al-Quran dan hadis tidak membahasnya. Namun, memperlakukan Al-Quran dan hadis tidak hanya dengan ngaji, tidak hanya mengaji bacaan-bacaannya yang tersurat, tetapi juga mengkaji kedalaman maknanya yang tersirat: Anda akan menjumpai lapis-lapis makna yang disajikan Al-Quran dan hadis.
Memang, bergaul dengan Al-Quran dan hadis tidak hanya mengharuskan kemampuan membaca, tapi meniscayakan kemampuan berpikir.