Al-Qur’an al Karim merupakan kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, mengandung beberapa hal yang erat kaitannya dengan keimanan, ilmu pengetahuan, kisah-kisah, filsafah, peraturan-peraturan yang mengatur pola zikir, pola fikir, pola sikap, dan tata cara hidup manusia, baik sebagai makhluk individu ataupun sebagai makhluk sosial, sehingga nantinya dapat mengantarkan manusia hidup bahagia di dunia dan di akhirat.
Ada beberapa cara al-Qur’an dalam menerangkan beberapa hal yang disebutkan di atas, di antaranya; al-Qur’an menerangkannya secara terperinci, seperti yang berhubungan dengan hukum perkawinan, hukum warisan dan sebagainya; dan adapula yang dikemukakan secara umum dan garis besarnya saja.
Beberapa keterangan yang dikemukakan secara umum dan garis besarnya saja tadi ada yang diperinci dan dijelaskan oleh hadis-hadis Nabi Muhammad SAW, dan ada yang diserahkan kepada kaum muslimin sendiri untuk memperincinya sesuai dengan kebutuhan suatu kelompok manusia, keadaan, masa dan tempat, seperti halnya dalam soal kenegaraan. Al-Qur’an mengemukakan “prinsip musyawarah” adanya badan atau lembaga yang mewakili rakyat, keharusan berlaku adil dan sebagainya.
Hasil interpretasi “prinsip musyawarah” inilah yang kemudian memunculkan beberapa bentuk negara yang berbeda-beda dalam negara yang berpenduduk mayoritas Muslim. Hal ini tentunya sesuai dengan kebutuhan suatu kelompok manusia, keadaan, masa dan tempat.
Terkait beberapa hal yang belum diterangkan secara rinci oleh al-Qur’an dan Hadis qath’i (tegas), Islam membuka pintu ijtihad bagi kaum Muslimin untuk kemudian memberikan hasyiyah (komentar), memberi keterangan dan mengeluarkan pendapat. Tentunya dalam proses membuka pintu ijtihad ini perlu adanya kedalaman ilmu yang mumpuni; mulai dari ilmu bahasa Arab, Ulumul Qur’an, Ulumul Hadits, Sejarah (tarikh), dan beberapa ilmu pendukung dalam membuka pintu ijtihad tersebut.
Nabi Muhammad SAW beserta para sahabat adalah manusia-manusia yang menjadi pelopor dalam proses membuka pintu ijtihad dalam menafsirkan al-Qur’an, yang kemudian diikuti oleh para tabi’in, tabi’it tabi’in, dan generasi-generasi yang tumbuh dan hidup pada masa-masa berikutnya.
Perlu diketahui, pada masa hidup Rasulullah SAW, kebutuhan tentang tafsir al-Qur’an belumlah begitu dirasakan. Hal ini dikarenakan apabila para sahabat tidak atau kurang memahami suatu ayat al-Qur’an, mereka dapat langsung menanyakan kepada Rasulullah. Dalam hal ini Rasulullah SAW selalu memberikan jawaban yang memuaskan.
Sepeninggal Rasulullah SAW wafat, ditambah lagi dengan semakin luasnya ekspansi Islam ke luar Jazirah Arab, dan memasuki daerah-daerah yang memiliki kebudayaan yang sudah mapan, terjadilah persinggungan antara agama Islam yang masih dalam bentuk kesederhanaannya di satu pihak, dengan kebudayaan lama yang telah mapan dan berpengalaman. Persinggungan semacam ini membuat kaum Muslim sepeninggal Rasulullah SAW menghadapi persoalan baru, terutama yang berhubungan dengan pemerintahan dan pemulihan kekuasaan sehubungan dengan meluasnya daerah Islam kala itu.
Persoalan baru itu akan dapat dipecahkan apabila ayat al-Qur’an ditafsirkan dan diberi komentar (hasyiyah) untuk menjawab persoalan-persoalan yang baru timbul itu. Maka muncullah beberapa orang sahabat dan tabi’in yang memberanikan diri menafsirkan ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum dan global itu sesuai dengan batasan-batasan ranah ijtihad dalam menafsirkannya.
Demikianlah tiap-tiap generasi yang mewarisi kebudayaan dari generasi sebelumnya; kebutuhan suatu generasi relatif berlaianan dengan generasi sebelumnya. Begitu pula perbedaan situasi dan kondisi tidak dapat dikatakan sama keperluan dan kebutuhannya, sehingga timbullah penyelidikan dan pengolahan dari apa yang telah didapat dan dilakukan oleh generasi-generasi yang dahulu, serta saling tukar-menukar pengalaman yang dialami oleh manusia pada suatu daerah dengan daerah lain; mana yang masih sesuai dipakai, yang kurang sesuai dilengkapi, yang tidak sesuai lagi dikesampingkan, sampai nanti keadaan dan masa membutuhkannya lagi.
Begitu pula dengan halnya tafsir al-Qur’an; ia berkembang mengikuti irama pekembangan zaman dan memenuhi kebutuhan manusia dalam suatu generasi. Tiap-tiap masa dan generasi menghasilkan tafsir-tafsir Al Qur’an sesuai dengan kebutuhan dan keperluan generasi itu dengan tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan Islam sendiri.
Kini ilmu tafsir berkembang bersama dengan ilmu-ilmu lain. Sebagaimana yang terjadi dalam ilmu-ilmu lain, dalam ilmu tafsir pula terdapat aliran-aliran dan perbedaan-perbedaan yang timbul karena perbedaan pandangan dan segi meninjaunya, sehingga pada sampai saat ini terdapat puluhan, bahkan ratusan kitab-kitab tafsir dari berbagai aliran, sebagai hasil dari renungan, dan ijtihad ulama dalam merespon perkembangan zaman.
Walhasil dengan adanya tafsir yang berbeda-beda akan meberikan pengertian yang berbeda pula, akan tetapi hal itu dapat memperkaya pemahaman kita, agar kita tidak mudah menyalahkan yang lain selain kita.