Judul itu merupakan pertanyaan para pendukung Jokowi sekaligus kekagetan dari pendukung oposisi. Selain tidak merepresentasikan spirit milenial, yang selama ini dijadikan landasan visual sejumlah video dan foto Jokowi di media sosial, Ma’ruf Amin merupakan bagian dari kelompok konservatif, yang secara tidak langsung melakukan legitimasi kekerasan terhadap Ahmadiyah dan Syiah di era pemerintahan SBY. Apalagi, ia juga menjadi saksi kunci utama kasus Ahok. Pilihan wakil presiden itu menciderai nilai-nilai baru yang justru pada tahun 2014 membuat Jokowi terpilih.
Rencana pemilihan Mahfud MD yang mewakili semangat reformasi sekaligus pilihan milineal pun kemudian diabaikan. Padahal, sejumlah lembaga survei pun mengunggulkan Mahfud MD. Duet Jokowi-Mahfud menunjukkan tingkat elektablitas yang signifikan. Alvara Research Center menyebutkan dengan perolehan angka 38,5 %, survei online PSI menyebutkan 32 %, survei SMRC terhadap elit, pembuat opini, maupun massa pemilih nasional menempatkannya diperingkat ketiga rata-rata skor kualitas personal, yaitu 6.9.
Harus diakui, menjadi presiden pada tahun 2014 dan bertahan hingga sekarang bukanlah jalan yang mudah untuk Jokowi. Ia bukan ketua partai politik, bukan bagian dari keluarga oligarki, dan tidak memiliki jejak rekaman politik yang panjang selain sebagai Walikota dua periode berturut-turut. Satu-satunya yang dimiliki oleh Jokowi adalah daulat suara rakyat yang memilihnya, dengan kekuatan satu orang satu suara (one man one vote). Melakukan jalan berkelok sekaligus bermain strategi di tengah kekurangan itu menjadi pilihan untuk Jokowi untuk lebih realistis. Karena itu, ada tiga faktor kuat mengapa pilihan Jokowi kepada Ma’ruf Amin.
Pertama, mengakomodasi dan mengamankan kepentingan koalisi partai untuk tahun 2024. Jika Mahfud yang dipilih, ia memiliki peluang kuat untuk kursi presiden 2024. Di sisi lain, setiap partai koalisi juga memiliki ambisi tersebut, mulai dari Cak Imin (PKB), Rommy (PPP), dan Airlangga (Golkar).
Jika kelompok ini tidak diakomodasi, mereka akan membuat poros ketiga bersama dengan Demokrat, sebagaimana isu menguat dalam ucapan-ucapan tak tertulis Cak Imin saat ditanyai wartawan. Adanya dua poros tentu akan menyulitkan Jokowi untuk memenangi satu putaran. Sebaliknya, hal tersebut akan menjadi batu sandungan untuk Jokowi. Ma’ruf Amin menjadi pilihan realistis sekaligus titik rekonsiliasi di antara internal koalisi partai tersebut.
Kedua, politik SARA. Satunya ancaman terbesar pemerintahan Jokowi adalah mesin politik sara. Mesin politik ini yang sudah muncul sejak Pilpres 2014, yang membuat Jokowi hampir saja tersungkur seminggu menjelang pemilihan. Mesin politik ini yang terus dimainkan oleh kelompok oposisi di tengah menguatnya Islamisasi ruang publik di Indonesia.
Baca juga: Kata Siapa Jokowi Anti Islam dan Ulama
Kasus Ahok kemudian menjadi cermin jelas untuk Jokowi, betapa kerja-kerja infrastruktur dan pembangunan ternyata tidak cukup membawa Ahok kepada kemenangan. Memang, secara agama dan etnik, Jokowi berbeda dengan Ahok. Namun, hasil Pilkada serentak kemarin menjadi hitungan kalkulasi tersendiri.
Meskipun mengalami kekalahan, Pilkada di Jawa Barat dan Jawa Tengah merupakan pelajaran penting, juga kemenangan di Sumatera Utara. Kubu oposisi mendapatkan suara yang sangat signifikan melawan petahana yang sebelumnya menurut hasil lembaga survei mendapatkan suara terendah dan tertinggal. Sebaliknya, hasil quick count dalam Pilkada serentak tersebut justru menjungkalkan hasil survei tersebut.
Untuk contoh, saya bisa berikan kasus Jawa Barat. Populi Center merilisi elektabilitas Sudrajat-Ahmad Syaikhu pada periode 22-30 April 2018, di mana pasangan tersebut mendapatkan angka elektabilitas sebesar 6,4 % dengan margin of error 3, 39 %. Survei Indobarometer mendapatkannya hanya 6, 1 % dengan margin of error 3,39 %. LSI Denny JA menempatkan pasangan tersebut pada prosentase 8, 2 %, dengan margin of error 4, 8 %. SMRC, merilis dengan angka 7, 9 % dengan margin of error 3, 5%. Poltracking menempatkannya dengan angka 10, 7 % dengan margin of error 3, 5 %. Namun, hasil quick count lembaga survei tersebut usai Pilkada Serentak berlangsung menunjukkan sebaliknya, yaitu mulai dari 28, 13 %-30, 07 %. Jumlah tersebut bahkan di atas toleransi 3-4 % dari margin of error. Di sini, mesin politik dan kemudian menggunakan simbolisasi isu agama dimainkan dengan sangat kuat.
Sementara itu, kemenangan pasangan Ridwal Kamil dan Uu Ruzhanul Ulum ini justru lebih kepada kecerdikan mereka berdua yang justru menggabungkan dan memanfaatkan atas pengkubuan secara tajam. Ridwal Kamil mendapatkan suara dari Jokowi dan Ahokers UU dari kelompok-kelompok 212 dan jaringan Islam PPP melalui sejumlah pondok pesantren.
Ketiga, media sosial dan pasca-kebenaran (post-truth). Kehadiran media sosial saat ini memberikan setiap subyek individu untuk menempatkan dirinya sebagai produser sekaligus konsumen. Sebagai produser, setiap orang, asalkan memiliki akun media sosial, bisa membuat dan mengirimkan berita atau informasi yang diinginkan. Sebagai konsumen, ia bisa menerima limpahan informasi yang juga datang dari siapa saja. Jika informasi itu dianggap cocok, maka bisa menjadi viral. Tidak penting apakah itu memiliki nilai kebenaran ataupun tidak.
Baca juga: Nyawa Rangkap Mahfud MD
Di tengah minimnya minat membaca masyarakat Indonesia dan menguatnya para buzzer dan pandit media, semangat pasca-kebenaran inilah yang seringkali membuat masyarakat Indonesia bisa terpapar oleh isu hoax kepada Jokowi; anti-Islam, dukung asing-aseng, dan dianggap sebagai PKI. Pilihan Ma’ruf Amin setidaknya dianggap bisa meredakan hal tersebut.
Dari tiga faktor tersebut, Jokowi tampak tidak mendengarkan suara-suara minoritas, khususnya para pegiat HAM dan aktivisi toleransi. Namun, dengan langsung menempatkan Ma’ruf Amin di sampingnya menjadi Calon Wakil Presiden, hal itu merupakan strategi politik yang tepat sekaligus realitis di tengah kekuatan kelompok-kelompok Islamis yang sudah bersekutu dengan baik dalam politik elektoral Pilkada sebelumnya. Ini merupakan cara Jokowi memangku musuh-musuhnya sekaligus diam-diam untuk menundukannya.
Meskipun, sekali lagi, ia harus mengabaikan semangat kebaruan dan energi kebhinekaan yang jauh lebih mendalam. Namun, terlepas dari hal tersebut, bukankah politik merupakan cara mengambil kekuasaan dengan mendapatkan suara terbanyak?
Kerja-kerja infrastruktur Jokowi sudah terlihat sebelumnya dalam 5 tahun ini, menunjukkan bagaimana kekuasaan itu digunakan untuk kebaikan dan kemaslahatan orang banyak. Faktor hasil kerja infrastruktur inilah yang seharusnya dilihat lebih detail.