Setidaknya ada dua kemungkinan jawaban. Jawaban pertama terkait dengan puritanisme tekstual keagamaan. Jawaban kedua terhubung dengan situasi ekonomi politik lebih luas. Mari kita elaborasi.
Jawaban pertama: kelompok Islam modernis sangat puritan dalam beragama. Mereka berpikir bisa kembali ke Quran dan Hadits tanpa bantuan khazanah pemikiran para ulama sebelumnya. Seolah-olah setiap individu berhak menjadi mujtahid yang memutuskan sendirian perkara agama dengan akal mereka.
Kenyataan menunjukan sebaliknya. Mereka kembali ke Quran dan Hadits, tetapi tetap lewat pemikiran ulama yang lebih terbatas daripada kelompok Islam tradisional. Lalu alih-alih menggunakan akal, mereka malah menafsirkan Quran dan Hadits secara tekstual–bahkan ketika mengundang Rocky Gerung untuk berceramah mengenai akal sehat pun mereka memahaminya secara tekstual.
Jawaban kedua: Islam modernis adalah kelas menengah yang frustrasi dengan situasi ekonomi politik. Rezim yang berkuasa sekarang dirasa tidak berpihak kepada mereka.
Bagi kalangan swasta, perdagangan dinilai lesu, jualan kurang laku.
Memang harus diakui pemerintah Jokowi kurang berpihak kepada kelas menengah. Karena fokus pada pemenuhan kebutuhan dasar kelas bawah, termasuk dalam asuransi kesehatan dan subsidi pendidikan, kelas menengah merasa dalam ancaman. Termasuk kelas menengah dalam hal ini adalah kalangan ASN.
Campuran antara puritanisme tekstual dan kerawanan ekonomi politik membuat banyak Muslim modernis memilih jalan konservatif. Dengan itu diharapkan hidup normal mereka akan kembali. Harapan itu dilekatkan kepada Prabowo-Sandi.