MUI merilis fatwa tentang Pengendalian Perubahan Iklim Global beberapa hari lalu. Fatwa nomor 86 tahun 2023 ini dibuat untuk merespons dan mencegah krisis iklim. Segala tindakan yang menyebabkan kerusakan alam, deforestasi (pengundulan hutan), pembakaran hutan atau lahan yang berdampak pada krisis iklim, hukumnya haram.
“Walau agak telat, fatwa ini layak diapresiasi,”Kata netizen.
Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya MUI mengeluarkan fatwa tentang lingkungan. Tahun 2011, mui menerbitkan fatwa pertambangan ramah lingkungan: aktivitas pertambangan yang tidak berorientasi pada penghijauan dan kemaslahatan umum dihukumi haram. Tahun 2014, MUI mengeluarkan fatwa pengelolaan sampah: membuang sampah atau barang yang masih bisa dimanfaatkan untuk kepentingan diri sendiri ataupun orang lain hukumnya haram. Dua tahun berikutnya, tahun 2016, MUI menfatwakan pembakaran hutan atau lahan yang dapat menimbulkan kerusakan, pencemaran lingkungan, dan kerugian orang lain, hukumnya haram.
Masalahnya, fatwa MUI tentang lingkungan ini jarang sekali viral, populer, diobrolkan di warung kopi, atau dibahas di pengajian dan khutbah Jum’at. Corong atau speakernya tidak terlalu kencang. Ini berbeda dengan fatwa MUI yang lain, misalnya fatwa Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme; pemimpin non-muslim; label halal; ahmadiyah; aliran sesat, dan seterusnya.
Saya masih ingat pada tahun 2000-an, isu Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme ini menjadi perbincangan banyak orang. Tidak hanya kalangan intelektual, tetapi juga masyarakat biasa. Pada masa itu, saya kerapkali menjumpai khatib Jum’at menyampaikan bahaya Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme. Saking populernya, saya juga ikut-ikutan mengutuk pemikiran Nurcholish Madjid, padahal belum pernah baca bukunya, dan juga tidak tahu bentuk orangnya seperti apa. Yang saya tahu, Cak Nur itu pikirannya sesat, seperti yang disampaikan penceramah di kampung.
Ketika MUI mengeluarkan fatwa sesat Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme tahun 2015, banyak orang berpikir dua kali untuk membicarakan topik ini. Tuduhan sesat terhadap pemikiran tersebut memperkuat stigmatisasi dan tekanan terhadap intelektual dan tokoh yang memiliki gagasan tentang Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme.
Fatwa MUI ini dikutip dan diperbincangkan, terutama untuk membungkam mulut orang yang dianggap liberal, sekuler, dan pendukung Pluralisme. Budi Munawar Rachman dalam salah satu diskusi mengakui dan salut terhadap tim ahli MUI yang berhasil menemukan tiga kata kunci tersebut: Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme. Disadari atau tidak, diskusi tentang tiga topik ini menurun dan tidak lagi seleluasa seperti sebelum fatwa MUI dikeluarkan. Apalagi fatwa ini, dalam beberapa kasus, digunakan dan dijadikan pintu untuk masuk pada delik penistaan agama.
Begitu juga fatwa larangan memilih pemimpin non-muslim. Fatwa ini dikeluarkan dalam konteks pencolanan Basuki Tjahaja Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta tahun 2017. Ahok diadili karena dianggap menista agama, dan pada saat itu pula MUI mengeluarkan fatwa larangan memilih pemimpin non-muslim. Sudah jatuh, ditimpa tangga pula. Begitulah nasib Ahok.
Fatwa MUI ini memperkuat gelombang penolakan terhadap Ahok. Penerbitan fatwa ini juga melahirkan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI, yang diketuai Bachtiar Nasir. Seorang netizen berseloroh, “Fatwa MUI Cuma ada satu yang bikin umat semangat mengamalkan, sampai ada GNPF MUI, yaitu fatwa tentang Ahok. Yang lain dianggap angin lalu saja.”
Contoh berikutnya adalah fatwa halal. Sekalipun tidak melahirkan gerakan masa seperti dua kasus di atas, fatwa halal ini dapat dikatakan efektif dan berdampak besar, karena mendorong lahirnya regulasi atau undang-undang halal. Statusnya naik dari fatwa menjadi qanun (hukum). Seperti ditulis banyak peneliti halal, pasca isu lemak babi yang populer tahun 80-an, MUI membentuk Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika (LPPOM) tahun 1989. Pendirian lembaga ini dimaksudkan untuk memastikan kehalalan produk yang digunakan masyarakat muslim. Belakangan penggunaan label halal ini semakin meluas, tidak hanya untuk hal-hal yang dikonsumsi, tetapi juga perihal lain, seperti alat eloktronik, peralatan dapur, perabotan, dan lain-lain. Syafiq Hasyim mengistilahkan ini dengan Syariatisasi.
Kenapa Ada Fatwa yang kuat dan ada yang tidak?
Dalam konteks Indonesia, tidak semua fatwa yang dikeluarkan MUI powerfull dan berdampak langsung. Fatwa yang merepresentasikan kegelisahan masyarakat muslim, seperti masalah akidah, politik praktis, dan ekonomi, biasanya lebih berdampak dan diperbincangkan. Sementara fatwa yang tidak punya irisan langsung dengan kegelisahan aktual masyarakat akar rumput, tampaknya hanya akan dianggap sebagai angin lalu, seperti kata netizen yang saya kutip di atas.
Selain itu, keterlibatan aktor penghubung atau penggerak juga sangat menentukan. Ambil contoh fatwa larangan pemimpin non-muslim, begitu massif diperbincangkan, dikutip banyak tokoh, pendakwah, dan influencer. Disebarluaskan di berbagai media sosial, pengajian, dan mimbar Jum’at. Orang yang awalnya tidak tahu, tidak peduli, menjadi harus tahu dan harus peduli.
Fatwa halal juga tidak jauh berbeda, ada keseriusan dari banyak tokoh, terutama dari MUI sendiri, untuk membicarakan dan memperjuangkan fatwa halal menjadi regulasi. Tanpa keseriusan tokoh itu, saya kira fatwa hanya akan berhenti menjadi teks atau dokumen fatwa. Fatwa yang hidup adalah fatwa yang terus diperbincangkan dan digerakkan oleh aktor yang militan. Aktor inilah yang menjadi penghubung antara fatwa dengan masyarakat ataupun pemerintah. Apakah fatwa berguna atau tidak, pada akhirnya sangat ditentukan oleh apakah ada aktor yang mempengaruhi agar masyarakat atau pemerintah untuk menggunakannya atau tidak, baik dari internal ataupun di luar anggota MUI.
Dalam konteks lingkungan, saya melihat bahwa isu ini belum menjadi isu yang populis. Masyarakat akar rumput belum terlalu memperhatikan masalah ini. Kerusakan akidah tampaknya lebih menjadi perhatian ketimbang kerusakan lingkungan. Orang yang dianggap sesat terlihat lebih menakutkan ketimbang pabrik buang limbah sembarangan. Ini menjadi tantangan serius bagi ulama ataupun aktivis yang concern pada persoalan lingkungan. Kondisi lingkungan semakin mengkhawatirkan, tetapi sayangnya kesadaran masyarakat muslim terhadap isu ini belum terlalu tinggi.
Di samping itu, aktor militan yang menggerakkan fatwa MUI tentang lingkungan juga belum terlalu banyak. Kalaupun ada, jumlahnya sangat sedikit dan terbatas di wilayah perkotaan. Keterbatasan aktor itu yang menyebabkan fatwa lingkungan tidak begitu efektif dalam menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan, dan tidak berkontribusi banyak dalam mendorong pemerintah untuk menghukum setiap orang yang merusak lingkungan.