Mengapa Beramai-ramai Menolak Tarawih di Monas, Sangat Politis?

Mengapa Beramai-ramai Menolak Tarawih di Monas, Sangat Politis?

Mengapa rencana Tarawih di Monas dianggap politis?

Mengapa Beramai-ramai Menolak Tarawih di Monas, Sangat Politis?

Rencana Pemda DKI Jakarta menggelar tarawih di Monumen Nasional (Monas) tanggal 26 Mei mendatang mendapatkan banyak tanggapan. Pro kontra pun tak terelakkan. Bahkan, banyak yang menuding rencana tarawih di Monas ini kental unsur politisnya, bukan hanya perkara ibadah belaka. Apalagi rencana akan dilakukan di Monas, bukan di Masjid Istiqlal sebagai representasi Masjid kebanggaan warga DKI.

Aktivis dari kampus Paramadina @didasobat misalnya menilai bahwa hal ini tidak perlu. Ia juga mengkritik upaya pemerintah DKI ini. Menurutnya, sangat aneh jika hal itu sampai dilakukan.

Buat apa ya Gubernur DKI mengadakan salat tarawih di Monas? Masjid Istiqlal dekat banget. Ia juga menambahkan di cuitan selanjutnya, bahwa tarawih itu islam dan tarawih di Monas itu islamis.

@AT_AbdillahToha juga merasa hal serupa. Keputusan ini juga perlu diperbedabatkan, apalagi suasana politik juga masih sangat kental.

Jangan sampai ini nanti dibilang tarawih politik. Masjid Istiglal disebelahnya kan tiap malam ada sholat tarawih. Kenapa tidak bergabung saja disitu kalau mau menunjukkan persatuan?

Ketua Komisi Dakwah MUI, KH Cholil Nafis bahkan dengan keras menentang hal ini. Menurut beliau, sangat aneh keputusan ini apalagi ada Masjid Istiqlalh yang harusnya bisa jadi representasi, bukan di Monas.

“Saya kok ragu ya kalau alasannya Tarawih di Monas untuk persatuan. logikanya apa ya? bukankah masjid Istiqlal yg megah itu simbol kemerdekaan, kesatuan dan ketakwaan,” tutur beliau di akun twitternya.

Beliau pun mencontohkan bahwa shalat Tarawih sebaiknya dilakukan di masjid saja karena, menurut beliau, sebaik-baiknya tempatr sujud (ibadah) masjid. “Selama Ramadhan Nabi saja i’tikaf di masjid, bukan di lapangan,” tambahnya.”

Shalat tarawih itu, tambah beliau, menurut sebagian ulama sebagi shalat malam, maka lebih baik sembunyi atau di masjid saja. Makanya Nabi saw hanya beberapa kali shalat tarawih bersama sahabat di Masjid. Kiai Cholil juga menyatakan bahwa hal terkecil saja, seperti jumlah rakaat tarawih, juga sudah sangat berbeda.

“Yang mau disatukan dengan shalat tarawih itu komponen yg mana? dan yang tak satu yg mana?”

Kalau soal jumlah rakaat, lanjut beliau, yang berbeda sudah dipahami dengan baik oleh masjid-masjid bahwa yang 8 atau yang 20 bisa shalat bareng berjemaah hanya yang 20 kemudian meneruskan.

“Makanya kalau shalat di Monas karena persatuan sama sekali tak ada logika agamanya dan kebangsaannya. pikirkan yang mau disatukan itu komunitas yang mana?”

Di akhir catatannya yang ramai diperbincangkan netizen itu, Kiai Cholil juga meminta pemprov DKI untuk mengurungkan niatnya tersebut.

“Saya berharap pemprov DKI mengurungkan niat tarawih di Monas. Cukuplah seperti maulid dan syiar keagamaan aja yang di lapangan. Tapi shalat di lapangan sepertinya kurang elok,” tutup beliau seraya mengingatkan bahwa Masjid Istiqlal lebih layak dijadikan tempat ibadah dibanding

Rencana Tarawih di Monas ini tampaknya memang akan benar-benar dilakukan oleh Pemda DKI. Pasalnya, undangan juga telah tersebar di pelbagai media sosial. Bahkan, akun twitter resmi DKI pun telah menerbitkan undangan resmi terkait tarawih ini tertanggal 26 Mei 2018 nanti, dimulai pukul 20.00 WIB.

https://twitter.com/DKIJakarta/status/997388564986974208

Rencana tarawih ini menurut Sandiaga Uno, Wakil Gubernur DKI, sebagai upaya pemda untuk menyatukan kembali elemen masyarakat. Untuk itulah, Monas dipilih karena representasi Jakarta. Belakangan, seperti yang kita tahu, Monas memang kerap dipakai untuk kegiatan-kegiatan keagamaan. Peristiwa 411 dan 212 juga terselenggara di Monas dan menghadirkan ratusan ribu orang. Aksi ini juga dianggap sangat politis karena berkaitan dengan pelengseran Ahok sebagai gubernur DKI karena dianggap menista islam.

“Karena ini adalah simbol Jakarta dan Monas ini menjadi tempat pemersatu umat dan menjadi simbol Jakarta yang mudah-mudahan bisa meningkatkan ketakwaan kita selama bulan Ramadan,” ujar Sandiaga.

Lalu, kita patut bertanya, kenapa begitu banyak penolakan? Mengapa tidak Masjid Istiqlal yang juga merupakan simbol Jakarta? Apakah tidak terlalu politis di tengah memanasnya situasi belakangan ini karena gesekan politik?