Mengaji, Mengatur Jiwa untuk Melihat Kebenaran Allah

Mengaji, Mengatur Jiwa untuk Melihat Kebenaran Allah

Mengaji tidak hanya mempelajari teks agama, tapi juga kemampuan merenungi tanda kekuasaan Allah di sekitar kita

Mengaji, Mengatur Jiwa untuk Melihat Kebenaran Allah

Konon, istilah Ngaji bagi sebagian orang merupakan akronim – dan diartikan dengan – Ngatur Jiwo (mengatur jiwa). Maksudnya adalah usaha seseorang mengatur jiwanya melalui pencarian kebenaran demi tujuan untuk lebih mengenal dan dekat kepada Tuhan alam semesta. Merujuk pada pengertian tersebut, maka tidak ada salahnya ketika seseorang mengaji tidak hanya pada halaqah keagamaan, namun juga melalui halaqah kebudayaan, diskusi ilmiah, bahkan melalui pergaulan sehari-hari.

Dalam halaqah kebudayaan, misalnya, jamaah Maiyah yang diasuh oleh Emha Ainun Najib (Cak Nun) dan Jancukers oleh Mbah Sujiwo Tedjo bisa menjadi salah dua contoh ngaji dalam kaca mata ini. Yang isinya tidak melulu mengaji teks agama, tapi juga ikut merenungi kehidupan secara umum. Tentu, tidak menutup kemungkinan bahwa tidak semua yang datang juga mempunyai niat untuk ngaji karena motivasi untuk hadir di dalamnya juga berbeda pada setiap individu.

Berkenaan dengan ngaji dalam artian ini, saya teringat dengan almarhum Mbah saya dari jalur bapak, Mbah Sastro Samiran (Allahu yarham), yang pada suatu ketika pernah mengajari saya ngaji yang demikian. Lazimnya seorang kakek, beliau saat itu menanyakan mengaji Iqra’ saya sudah sampai jilid berapa. Setelah saya menjawabnya lalu beliau berkata “kene cung, ngaji karo si Mbah,” (Sini, Nak. mengaji sama eyang!)

Kemudian, tangan beliau meraih tangan saya. Tangan beliau yang tampak keriput, tapi menunjukkan guratan pengalaman hidup. Saya diminta untuk menerka simbol huruf yang terbentuk dari rangkaian garis di setiap telapak tangan manusia sambil memegang dan memperlihatkan telapak tangan saya sendiri. Tentu, di usia yang masih sangat belia dan lugu itu, kalau tidak salah kelas empat Madrasah Ibtidaiyah, saya bingung dan bertanya-tanya perihal yang dimaksud; akhirnya, saya pun hanya diam.

Beliau lalu menjelaskan kalau, simbol huruf itu adalah huruf “M” yang kemudian diartikan bahwa Manungsa Manembah Marang kang Mahakuasa, yang artinya bahwa Manusia, harus, menyembah kepada Sang Mahakuasa, bijaksana dan segala sifat keagungganNya.

Dalam hal ini, tentu, setiap orang boleh-boleh saja untuk menginterpretasikan dengan pemahaman yang berbeda sesuai sudut pandang subjektif masing-masing individu. Meskipun pemaknaan dari simbol garis tangan ini bersifat subjektif, namun konsep dari pemaknaan yang disampaikan, faktanya, dalam perspektif Islam sejalan dengan Al Quran Q.S. al Zaariyat ayat 56. Dalam ayat ini, dijelaskan bahwa tujuan penciptaan spesies manusia dan jin tidak lain adalah untuk menyembah-Nya.

Terlepas dari benar atau tidak mengartikan garis tangan dengan bentuk huruf M dan pemaknaan seperti itu, saya kira yang lebih menjadi esensinya dengan merujuk konsep ngatur jiwo yang telah saya singgung di atas, paling tidak, ini merupakan sebuah upaya seorang hamba untuk mencari “kebenaran” dan mendekatkan diri kepadaNya, yakni ngaji itu sediri.

Bagi mereka yang mempercayainya, makna di balik huruf M yang disematkan pada tangan manusia adalah salah satu bukti akan kebesaran-Nya. Meskipun datang dari sesuatu yang sangat sederhana dan ada pada setiap diri manusia, namun tidak semua orang lantas mampu menyadari akan adanya “kebenaran” tersebut.

Mengutip Gus Ulil Abshar dalam bukunya yang berjudul “Menjadi Manusia Rohani,” yang merupakan syarah kitab Al-Hikam, beliau menjelaskan bahwa manusia seringkali gagal menangkap kebenaran yang begitu banyak di sekitar termasuk dari hal-hal yang sangat sederhana sekalipun–bahkan yang menempel pada diri kita.

Lebih lanjut, beliau mengatakan bahwa kebenaran yang sangat terang-benderang ibaratnya seperti cahaya yang mampu untuk menyilaukan sehingga banyak orang yang kemudian gagal dan lalai untuk menyadari akan adanya kebenaran tersebut.

Baca juga: Apa Hukum Mengajak Anak Kecil Mengaji di Masjid?

Saya juga tidak tahu persis apakah si Mbah mendapatkan kebenaran itu dari hasil pencariannya/refleksinya sendiri atau belajar dari orang lain. Lagi pula hal yang demikian juga tidak terlalu penting untuk didiskusikan. Lebih kepada esensiya, kebenaran yang disampaikan itu kemudian mampu untuk membuka pikiran dan hati kita lalu berusaha mendapatkan kebenaran-kebenaran lain yang muaranya adalah mampu membawa diri seseorang untuk lebih dekat pada sang pemilik kebenaran dan Kebenaran itu sendiri, yakni Allah-Tuhan seluruh alam.

Wallahu a’lam