
Apakah masih laku bicara terorisme di saat paceklik harapan dan phk massal? Jangan salah. Dalam dunia terorisme, kekosongan kepemimpinan atau pembubaran sebuah kelompok tidak serta merta menghilangkan ancaman.
Sejarah menunjukkan bahwa kelompok-kelompok ekstremis mampu beradaptasi, bertransformasi, dan berfragmentasi membentuk entitas baru yang lebih sulit dilacak dan diatasi.
Konteks
Sejak dipimpin Para Wijayanto, hingga tahun 2020, JI berhasil menyebarkan 20 ribu kotak amal di 12 kota besar di Indonesia. Cara ini dipakai bertahun-tahun tanpa tercium aparat. Hasilnya, JI bahkan pernah mendapatkan dana sekitar 15 miliar dalam setahun operasional. Itu baru yang ketahuan saja.
Sekedar perbandingan, Lazisnu Jawa Timur pernah meraup hampir 26 miliar pada 2023. Sedangkan badan pengelola Lazisnu Jawa Tengah menghimpun 43,2 miliar di tahun yang sama. Dari dua ilustrasi itu, pendapatan 15 miliar JI tentu spektakuler. Tak heran mereka beberapa kali memberangkatkan kadernya ke Irak atau Suriah. Dikutip Tempo (2020), JI bisa mengeluarkan 300 juta untuk mengirim kadernya dalam sekali pemberangkatan.
Pada 2021, Polri bahkan menemukan saldo fantastis JI sejumlah 124 miliar yang dihimpun sejak 2014. Dana ini digunakan untuk mengembangkan sarana pra sarana JI seperti pondok pesantren dan yayasan sebagai infrastruktur kaderisasi jangka panjang.
Narasi ini bukan bermaksud membuka luka lama JI yang sudah bertobat. Tetapi memberikan ilustrasi betapa perencanaan keuangan (eks) kelompok teror sangat matang dan terukur. JI paham bahwa kaderisasi membutuhkan modal besar. Kaderisasi dimulai dari pesantren, kajian-kajian, hingga pelatihan di Irak dan Suriah.
Sedangkan ancaman teror pasca bubarnya JI juga belum berhenti. Ancamannya masih nyata melalui berbagai agen-agen ekstremis yang terkader secara sporadis, baik melalui online atau offline.
Jamaah Ansharu Daulah (JAD) misalnya masih aktif hingga saat ini meskipun tidak sekuat JI. Densus 88 pada November 2024 menangkap tiga terduga teroris di Kudus, Demak, dan Boyolali. Ketiganya merupakan kader JAD di Jawa Tengah (Detik, 2024).
Tidak ada yang tahu, berapa dana operasional JAD yang mungkin mendapat sokongan dari ISIS, karena notabene JAD adalah perpanjangan ISIS di Asia Tenggara. Tetapi yang pasti, menjaga soliditas kader seperti itu tak mungkin tak dianggarkan. Mulai dari pengadaan senjata, akomodasi, dan logistik selama persembunyian.
Awal tahun 2024, Indonesia kecolongan aksi kampanye akbar Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang bertajuk “Metamorfoshow; It’s Time to be One Ummah” di Taman Mini Indonesia Indah. Menjelang akhir tahun, HTI kembali mengadakan seminar akbar bertema “The Next Level Activism” pada Oktober 2024. Kemudian pada Februari 2025, HTI menginisiasi aksi serentak di 22 kota dengan narasi genosida Palestina. Semua agenda itu terjadi dalam dua tahun terakhir, dan semua itu mengerucut pada satu kampanye yang sama, yaitu persatuan umat Islam di bawah sistem khilafah.
Rangkaian agenda itu harusnya dilihat sebagai momentum kebangkitan ormas radikal era lama. Belum lagi kelompok radikal teroris yang lebih di bawah tanah, seperti Khilafatul Muslimin, Jamaah Ansharu Daulah, kelompok Wahabi, dan anggota-anggota eks Jamaah Islamiyah yang belum bertobat. Mereka jelas memanfaatkan celah ini untuk semakin mengintensifikasi dan mengkonsolidasi gerakan di akar rumput.
Anti Klimaks
Situasi di atas hadir bersamaan dengan kebijakan Prabowo Subianto melalui Inpres No. 1 Tahun 2025 yang menginstruksikan ihwal efisiensi anggaran yang memaksa berbagai kementerian dan lembaga (K/L) memangkas belanja mereka secara signifikan.
Efeknya sangat nyata. Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) misalnya dipotong 50,35 persen menjadi Rp 1,423 triliun dari semula Rp 2,826 triliun. BMKG menilai, efisiensi anggaran membuat banyak Alat Operasional Utama (Aloptama) terancam mati karena kemampuan pemeliharaannya berkurang hingga 71 persen. Bayangkan akurasi membaca potensi iklim, gempa bumi, dan tsunami berkurang dari 90% menjadi 60%. Warga daerah-daerah rawan bencana seperti Yogyakarta, Aceh, NTB semakin hidup dalam kekhawatiran.
Efisiensi juga nyaris membunuh kerja-kerja penanggulangan terorisme yang selama ini dikoordinasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Sekedar mengingatkan, Asta Cita kedua Prabowo-Gibran adalah memantapkan pertahanan keamanan negara, dst. Seharusnya, pertahanan keamanan tidak dipahami menjaga ketahanan dari ancaman luar an sich. Justru ancaman ketahanan dan persatuan bangsa muncul dari dalam, berupa kelompok-kelompok radikal teroris yang mencuci otak masyarakat untuk merubah sistem dan bentuk pemerintahan.
Solusi dari ancaman itu sejatinya juga muncul di Asta Cita kedelapan, yaitu peningkatan toleransi antar umat beragama untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Asta Cita tersebut adalah misi-misi yang akan menunjang visi Prabowo-Gibran, yaitu Bersama “Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045”.
BNPT mengalami pemotongan anggaran yang signifikan. Imbasnya, Pusat Media Damai (PMD) BNPT dan situs jalandamai.org terpaksa berhenti beroperasi. Situs yang selama ini menjadi instrumen kontra narasi dan informasi tandingan untuk melawan radikal-terorisme kini mati suri (Harakatuna, 2025).
Agenda penanggulangan terorisme memang bisa dilakukan siapapun dan kapanpun. BNPT misalnya membawahi banyak sindikasi media yang berfungsi sebagai mitra kontra narasi untuk menjangkau audiens yang lebih populis. BNPT juga merangkul Duta Damai sebagai duta perdamaian di 18 provinsi di Indonesia. Duta Damai merupakan perpanjangan tangan BNPT untuk menyampaikan pesan-pesan damai dan kontra narasi melalui bahasa kearifan lokal di daerahnya masing-masing.
Tetapi jika motornya saja digembosi, bagaimana dengan stakeholder lain yang perannya tak kalah krusial ini. Bagaimana juga masa depan Visi Indonesia Emas 2045 yang digembar-gemborkan Presiden.
Dari perspektif deradikalisasi, minimalisir anggaran bisa berdampak pada penguatan ketahanan ideologi dan logistik para mitra deradikalisasi yang selama ini diampu oleh BNPT. Rehabilitasi eks teroris tidak pernah memakan anggaran yang sedikit. Bukan hanya soal eks terorisnya, tetapi juga keluarganya. Kebanyakan dari mereka mempunyai anak dan istri yang perlu dirangkul. Situasi ini rentan memancing kelompok ekstremis lama untuk mengambil kembali “prajurit” mereka sehingga kembali teradikalisasi.
Selama ini, kesuksesan deradikalisasi ditunjang oleh pendekatan lunak (soft approach) yang diambil BNPT dan Densus 88. BNPT misalnya melalukan safari medis di lapas-lapas napiter di Nusakambangan (BNPT, 2023) dan memberdayakan mitra deradikalisasi dalam hal peningkatan kompetensi ketenagakerjaan. Kedua agenda itu berhasil merubah kesan eks napiter terhadap NKRI sehingga mau meninggalkan paham kekerasannya.
Anggaran yang “disunat” ini (nyaris) dipastikan melumpuhkan kerja-kerja kemanusiaan bagi eks napiter. Sehingga upaya persuasif untuk merangkul hati mereka menjadi terhambat.
Pun dari kaca mata korban teroris. Bantuan dari negara melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) itu masih dibutuhkan karena akibat aksi teroris, mereka belum bisa hidup normal. program pemulihan dari LPSK itu sangat membantu kehidupan sehari-hari para penyintas (Kompas, 2024). Ia, misalnya, mengalami luka parah di bagian tangan, kaki, pundak, sampai tulang ekor. Pada saat kejadian bom JW Marriott di Jakarta tahun 2003, ia kejatuhan material bangunan. Para korban ini khawatir perjuangan yang dilakukan para korban terorisme sejak 2003 tiba-tiba terputus karena terdampak kebijakan efisiensi anggaran pemerintah.
Bukankah ini situasi anti klimaks di mana kelompok-kelompok radikal bisa mengambil peran di tengah masyarakat?
Resolusi
Jika melihat konsolidasi agenda terorisme dan radikalisasi di awal tulisan ini, agak naif rasanya berpikir bagaimana caranya mencegah itu dengan modal yang minim. Kita hanya perlu percaya diri saja kalau DNA Nusantara adalah perdamaian. Apapun ancaman ideologi yang menyerang, percaya saja kalau Nusantara selalu punya cara untuk memberangusnya.
Percaya diri ini sejatinya beralasan mengingat ormas-ormas keagamaan moderat seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah mempunyai resistensi dan resiliensi yang baik terhadap paham-paham radikal di akar rumput. Mengandalkan mereka adalah skenario paling bijak dalam menangkal radikalisasi di tengah badai efisiensi.
Tulisan ini tidak mau larut menyikapi efisiensi. Tulisan ini tak lebih dari coretan kepedulian bagaimana persatuan yang sedang kita upayakan ini justru rentan akibat celah-celah yang kita ciptakan sendiri.
Ingat kata Bang Napi,
“Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan.”