Saya sangat beruntung dilahirkan dari keluarga muslim. Agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Sehingga dalam nuansa pemilu seperti saat ini mendapatkan perhatian yang sangat banyak dari tiap calon presiden. Nuansa islami kerap dekat dengan mereka. Berkunjung ke masjid, pesantren, berdialog bersama ulama, serta perdebatan-perdebatan yang sering menjadi topik masyarakat di media sosial adalah soal keislaman kedua calon presiden tersebut.
Perbincangan masyarakat yang tidak kalah menarik adalah keberpihakan calon presiden terhadap ulama dan agama Islam. Seakan-akan melupakan bahwa negara Indonesia terdapat banyak agama dan kepercayaan lokal. Pancasila serta Semboyan Bhinneka Tunggal Ika seakan menjadi kabur akibat pemilu ini, karena isu agama Islam mendominasi. Saya mungkin tidak heran terhadap fenomena tersebut. Jumlah umat Islam yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kelompok agama lainnya, menjadi perebutan kedua calon.
Mungkin peta politiknya akan berbeda apabila jumlah umat Islam sangat sedikit di Indonesia. Tidak ada kunjung-mengunjungi pesantren, masjid, tabligh akbar, majelis ilmu, serta kegiatan-kegiatan lainnya yang berbau Islam. Mengapa? Karena suara umat Islam sangat sedikit dan tidak potensial diperebutkan.
Menjelang pemilu, isu Islam kerap kali menjadi pertimbangan. Bahkan menjadi perbincangan lumayan dominan, padahal tidak masuk pada agenda tertulis kedua calon presiden tersebut. Kalau kita mengamati paparan visi dan misi tiap calon, tidak ada agenda khusus untuk Islam, melainkan untuk masyarakat secara umum. Saya yakin, isu Islam menjadi dominasi karena untuk perebutan suara.
Kalau kita mengamati pemberian remisi menjelang pemilu antara Abu Bakar Ba’asyir dan I Nyoman Susrama, terpidana kasus pembunuhan jurnalis Radar Bali, AA Gde Bagus Narendra. Presiden Jokowi lewat keputusan presiden Nomor 29/2018-2019 memberikan remisi ratusan terpidana. Di antara pemberian remisi tersebut yang paling ramai diperbincangkan adalah Abu Bakar Ba’asyir. Mengapa? Ya, karena dia masih dianggap salah satu tokoh Islam. Dibandingkan dengan remisi yang diberikan kepada I Nyoman Susrama yang notabene tidak ada sangkut pautnya dengan isu Islam. Dia hanya otak pembunuhan salah satu wartawan di Bali yang mengusut kasus korupsi.
Siapa yang Paling Islami?
Kedua calon tersebut menampilkan sebagai sosok yang paling Islami. Dengan mengangkat wakil presiden dari Ulama yaitu KH. Ma’ruf Amin, bukankah sangat Islami dan keberpihakannya jelas kepada Islam? Apalagi calon presiden nomor urut 1 ini sering berdialog dengan ulama dan berkunjung ke acaranya umat muslim dengan memakai sarung dan peci. Kurang kaffah seperti apa coba, dalam rangka menampilkan sebagai sosok yang islami?
Misalnya akhir-akhir ini, Jokowi menemui Ulama terkemuka yaitu Quraish Shihab di Pondok Pesantren Bayt Al-Qur’an pada 25 Januari 2019. Dalam kunjungannya tersebut, Jokowi membicarakan masalah moderasi Islam. Jokowi juga sering menghadiri majelis dan agenda-agenda yang dibuat umat Islam, termasuk menghadiri harlah muslimat Nahdlatul Ulama (NU) pada 27 Januari 2019 di Stadion Gelora Bung Karno.
Atau calon presiden dari 02, juga dikesankan sosok yang Islami. Pada momentum reuni 212, Pimpinan Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Syihab memberikan pesan kepada jamaah yang datang di Monas, Jakarta Pusat. Secara terang-terangan, ia meminta kepada massa reuni tersebut untuk mendukung calon presiden dan wakil presiden hasil Ijtimak Ulama yang diusung partai pendukung ulama, yaitu Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Ia juga berpesan bahwa haram memilih capres dan cawapres yang diusung partai penista agama.
Janji-janji politiknya juga mengarah pada kemaslahatan umat Islam. Misalnya saat Sandiaga dalam melakukan kampanye, ia berjanji untuk menurunkan Ongkos Naik Haji (ONH) jika nantinya ia dan Prabowo Subianto terpilih sebagai pemimpin. Ia juga berjanji akan menarik kader NU menjadi menteri agama jika terpilih.
Saya hampir tidak menemukan janji-janji politik kedua calon tersebut mengarah pada kelompok agama lain selain Islam. Bahkan kunjungan-kunjungan ke tokoh agama selain Islam jarang saya temukan. Umat Islam harusnya bangga, karena dalam pilpres kali ini perbincangan mengenai Islam menjadi dominan. Kedua sosok calon presiden pun akrab dengan simbol dan isu Islam.
Sekaligus Umat Islam harusnya juga bersedih, karena agamanya sudah menjadi komodifikasi dalam pemilu. Isu Islam dipolitisasi untuk kemenangan pemilu, melalui janji politik bahkan simbol-simbol Islam yang sengaja disematkan. Bersedih karena menampilkan sosok yang Islami hanya sebatas simbol ataupun luarannya, tanpa menampilkan Islam sebagai etika sosial.
Islam Sebagai Etika Sosial
Kita menyaksikan dalam pemilu saat ini, Islam hanya dipertontonkan pada ranah simbol dan ajaran normatifnya yang memang seharusnya dijalankan oleh umat Islam. Menghargai ulama, mempermudah naik haji bukankah itu suatu keharusan yang dilakukan pemerintah? Adapun isu mengkriminalisasi ulama, meminggirkan umat Islam, bagi saya itu hanyalah permainan politik untuk merebut suara Islam.
Islam masih diperdagangkan untuk merebutkan kekuasaan lima tahunan, mengingat jumlah pemeluknya terbesar di Indonesia. Sangat disayangkan, hanya akan membuat pendangkalan agama Islam itu sendiri. Hanya berkutat pada ranah normativitas agama yang semua orang itu tahu.
Islam seharusnya dijadikan sebagai semangat perubahan, sebagai etika sosial dan diletakkan sebagai landasan moral, selain jalan untuk dekat dengan Tuhan. Islam seharusnya dijadikan sebagai kata kerja, menjawab tantangan modernisasi. Misalnya dengan menjawab kemiskinan, ketidakadilan, ketimpangan sosial. Tentunya tidak menjadi solusi utama, seperti pendirian negara khilafah dan penerapan peraturan daerah berbasis syariah.
Kalau memaknai agama terpisah dengan etika sosial masyarakat, hanya berbicara pada ranah ibadah di masjid, maka kemungkinan besar akan menemukan pertentangan-pertentangan di masyarakat dan mendapatkananomaly. Mendapatkan sosok yang dianggap islami namun perilakunya tetap menyebar hoax, fitnah dan hal-hal yang bertentangan dengan agama dan etika masyarakat.