Keteladanan selanjutnya adalah tentang sabar dan tawakkal. Kesabaran Sarah bertahun-tahun yang tak kunjung dikaruniai keturunan dari rahimnya, sehingga ia rela menghadiahkan budaknya untuk dinikahi oleh suaminya tercinta. Di sisi lain terlihat kesabaran Hajar ditinggal oleh suaminya di lembah tandus bersama anaknya. Semua itu mereka jalani hanya untuk mengharap keridhaan-Nya.
Tidak mudah bagi seorang perempuan untuk bisa ‘membagi’ suaminya dengan perempuan lain. Namun, Sarah berusaha sabar dan tegar untuk mengalahkan keegoisannya. Bahkan ia sendiri yang memilihkan calon istri untuk suaminya, walaupun pada akhirnya muncul kecemburuan setelah istri yang dipilihkan untuk suaminya dikaruniai seorang anak dari rahimnya.
Kecemburuan seperti ini sangatlah wajar. Kecemburuan tersebut ia olah sedemikian rupa, sehingga tidak menjadikannya cemburu buta yang mengegelapkan hati dan akalnya. Ia hanya ingin menghilangkan kecemburuan tersebut dengan menghindari sumber kecemburuan tersebut yakni tidak melihat Hajar dan anaknya.
Sering sekali perempuan yang tidak mampu menguasai kecemburuannya, menghalalkan segala cara dengan menzalimi saingannya. Hal tersebut menyebabkan munculnya ghibah (menggunjing), namimah (menfitnah dan mengadu domba), atau menghasut dan menceritakan keburukannya.
Kecemburuan yang seperti ini sudah melampaui batas dan mengarah kepada hal-hal yang diharamkan oleh Allah SWT.
Akhirnya, berkat kesabaran Sarah menahan rasa cemburunya untuk tidak berbuat dzalim pada Hajar dan anaknya, maka Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menjauhkan Hajar dan anaknya dari hadapan Sarah dengan hijrah ke luar Palestina menuju Yaman. Tidak hanya itu, bahkan Allah juga akhirnya menganugerahkan keturunan dari rahim Sarah dengan lahirnya Nabi Ishaq.
Begitupun dengan Hajar, Ia sangat yakin bahwa kepatuhan terhadap suaminya tidak akan membuat Allah menyia-nyiakan hidupnya. Saat ia ditinggal oleh Nabi Ibrahim di tengah padang pasir tandus, ia hanya bertanya “apakah Allah yang menyuruhmu melakukan ini wahai suamiku?”
Setelah Nabi Ibrahim menjawab bahwa memang Allah lah yang memerintahkan hal tersebut, maka Hajar menjadi yakin dan tawakkal bahwa skenario Allah, yang membuatnya harus tinggal sendirian di tengah gurun gersang, pasti mengandung hikmah besar di dalamnya.
Terbukti setelah itu, gurun gersang nan sepi tersebut lambat laun menjadi kota yang selalu diidam-idamkan oleh kaum muslimin dari segala penjuru dunia untuk diziarahi. Bahkan, Hajar dengan ketangguhannya, sifat pantang menyerah dan tak kenal putus asa saat berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwah untuk mencari air bagi Ismail akhirnya diabadikan menjadi salah satu bagian dari manasik haji, yakni sa’i.
Dari sini, bisa kita bayangkan betapa luhur derajat Hajar di hadapan Allah SWT. Sifat-sifat yang ada dalam diri Hajar pula lah yang membuatnya wajar dikaruniai putra yang nantinya menjadi seorang nabi.
Hajar dengan keimanannya yang kuat disiapkan Allah sebagai al-madrasah al-ula (pendidikan pertama) bagi Nabi Ismail. Nilai-nilai keilahian telah ia tanamkan dalam diri Nabi Ismail sejak kecil, sehingga ketika suatu saat ayahnya yakni Nabi Ibrahim datang sembari memberitahukannya tentang perintah Allah untuk menyembelihnya, maka dengan keimanan yang kuat Ismail menerima perintah tersebut.
Bahkan, Ismail lah yang menenangkan hati ayahnya yang sedih ketika akan melaksanakan perintah Allah tersebut, ia berkata, “Wahai ayahku, laksanakanlah apa yang telah diperintahkan Allah kepadamu. Engkau akan mendapatiku insyaallah sebagai seorang yang sabar dan patuh kepada perintah” (QS. al-Shaffat: 102).
Demikianlah kisah ibunda Sarah dan Hajar. Sejatinya, pelaksanaan Hari Raya Idul Adhah/Hari Raya Kurban di tahun ini menjadi momentum bagi kita—khususnya para perempuan—untuk mengevaluasi diri masing-masing.
Kisah teladan ibunda Sarah dan Hajar tersebut semoga dapat menjadi inspirasi dan motivasi bagi kita untuk menjadi pribadi yang ta’at, sabar, tegar dan tawakkal untuk mengharap ridha Allah SWT.
Wallahu a’lam.
Baca tulisan sebelumnya.
Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di Majalah Nabawi.