Hari Raya Haji atau Iedul Adhah yang jatuh pada bulan Dzulhijjah selalu identik dengan adanya kurban. Kurban sendiri merupakan ketetapan Allah yang disyari’atkan sejak zaman Nabi Ibrahim. Ketetapan tersebut dimulai saat Nabi Ibrahim mendapat perintah untuk menyembelih anaknya, yakni Nabi Ismail, sebagai kurban.
Perintah tersebut sebenarnya untuk menguji keimanan dan ketaatan Ibrahim beserta anaknya, Ismail. Keduanya menyanggupi untuk melaksanakan perintah tersebut. Namun keajaiban terjadi, ketika Nabi Ibrahim akan melaksanakan penyembelihan tersebut, Allah kemudian mengutus Malaikat dengan membawa domba sebagai ganti Nabi Ismail. Akhirnya, Nabi Ismail tidak jadi disembelih oleh ayahnya sendiri.
Apabila ditelusuri lebih jauh ke belakang, kisah yang melatarbelakangi syariat kurban tersebut tidak hanya berkaitan dengan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail saja. Akan tetapi berkaitan erat juga dengan kisah istri Nabi Ibrahim yakni Sarah dan Hajar.
Kedua perempuan ini adalah perempuan-perempuan pilihan yang patut untuk diteladani perilakunya. Banyak hal-hal yang mengandung nilai spiritualitas tinggi melingkupi kehidupan keduanya, misalnya saja Sarah yang bisa berbicara dengan malaikat dan doa-doanya yang dikabulkan.
Sedangkan Hajar, memiliki kepasrahan tingkat tinggi pada Allah. Adanya manasik haji sekarang adalah imbas dari hal yang pernah dilakukan Hajar di padang kering.
Untuk lebih jelasnya, penulis akan mencoba mengungkapkan biografi singkat siapakah dua perempuan salihah tersebut sehingga kita semua—khususnya para perempuan—bisa meneladani perilaku keduanya yang salihah.
Ibn Katsir dalam bukunya yang berjudul al-Bidayah wa al-Nihayah dan Qashas al-Anbiya’ menyatakan bahwa Sarah adalah istri pertama Nabi Ibrahim yang dinikahinya sewaktu berada di Syam. Sarah sendiri merupakan anak dari paman Nabi Ibrahim.
Sarah adalah perempuan yang sangat cantik, sehingga Nabi Ibrahim berkata, “Belum ada perempuan cantik yang memiliki kecantikan seperti Hawa hingga saat ini selain Sarah.”
Sarah adalah istri salihah yang menjaga kehormatan serta selalu taat terhadap Allah dan suaminya. Suatu hari, Sarah diajak hijrah oleh suaminya ke Mesir. Di Mesir mereka bertemu dengan raja zalim yang suka berfoya-foya dan merebut istri orang lain. Raja tersebut bernama ‘Umar bin ‘Amr al-Qais bin Mailun.
Melihat kecantikan Sarah, raja tersebut bertanya kepada Nabi Ibrahim “Siapakah perempuan yang bersamamu itu?” Mengetahui kebiasaan raja tersebut yang suka merebut istri orang, maka Nabi Ibrahim menjawab, “Saudariku”. Sambil berbisik kepada istrinya, “Jangan kamu katakan bahwa kamu adalah istriku agar kamu selamat. Katakanlah kamu adalah saudariku. Demi Allah di bumi ini hanya kita berdua yang mukmin”.
Ibnu Hajar dalam kitabnya Fath al-Bari mengatakan bahwa kebohongan Nabi Ibrahim tersebut adalah salah satu dari tiga kebohongan yang pernah dilakukannya. Namun, kebohongan tersebut bukanlah kebohongan yang sebenarnya. Maksud Nabi Ibrahim adalah bahwa istrinya merupakan saudari seiman atau seagama.
Setiap kali raja zalim tersebut ingin mendekati Sarah, Sarah berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku beriman kepada-Mu dan Rasul-Mu, serta memelihara kehormatanku, maka janganlah Engkau biarkan orang kafir ini menguasaiku”.
Tiba-tiba raja tersebut merasa seperti tercekik dan menghentak-hentakkan kakinya seperti orang terkena ayan. Sarah pun berdoa lagi kepada Allah agar raja tersebut tidak mati. Sarah khawatir kalau raja tersebut sampai mati maka dia yang akan tertuduh.
Raja itu pun sembuh. Namun, setiap kali dia ingin mendekati Sarah, maka dia akan kambuh seperti ayan. Akhirnya raja tersebut ketakutan dan berkata kepada pengawalnya, “Demi Tuhan, perempuan ini pasti setan yang dikirim kepadaku. Kembalikan ia kepada Ibrahim dan berilah ia seorang hamba sahaya.”
Hamba sahaya itu adalah Hajar. Sejak saat itulah Hajar menjadi budak dari Sarah. Setelah dari Mesir, Nabi Ibrahim kemudian berhijrah lagi menuju tanah Palestina.
Selama bertahun-tahun rumah tangga yang dibina Nabi Ibrahim dan Sarah berjalan dengan harmonis. Namun sayang sekali mereka belum juga mendapatkan keturunan. Usia yang sudah tidak lagi muda membuat Sarah mengambil keputusan untuk menghadiahkan budaknya yakni Hajar kepada Nabi Ibrahim agar dipersunting sebagai istri dengan harapan agar Nabi Ibrahim mempunyai kesempatan untuk dapat memiliki keturunan lewat istri keduanya. Harapan tersebut kemudian dikabulkan oleh Allah. Saat Nabi Ibrahim berumur 86 tahun, akhirnya Hajar melahirkan seorang putra bernama Ismail.
Setelah kelahiran Ismail, ada rasa cemburu yang tidak dapat dikuasai Sarah. Dia tidak ingin melihat Hajar dan anaknya. Di saat yang sama, Nabi Ibrahim menerima perintah dari Allah untuk membawa Hajar dan anaknya menuju ke arah selatan.
Setelah perjalanan yang panjang dari Palestina, akhirnya mereka sampai di sebuah lembah di tengah gurun gersang, tandus dan tak berpenghuni, bernama Faran (sekarang menjadi Makkah). Nabi Ibrahim kemudian meninggalkan Hajar dan anaknya di sana dengan perbekalan yang seadanya.
Ketika Nabi Ibrahim melangkah pergi, Hajar menyusulnya seraya bertanya, “Wahai Ibrahim, ke mana engkau akan pergi? Apakah engkau akan meninggalkan kami di lembah yang tidak ada seorang manusia dan tidak ada sesuatu apapun?”
Hajar terus-menerus menanyakan hal itu, namun Nabi Ibrahim tidak menoleh kepadanya. Tetapi, ketika Hajar bertanya, “Apakah Allah yang menyuruhmu melakukan ini?”, maka Nabi Ibrahim menjawab, “Iya”
Hajar pun berucap, “Kalau memang begitu, ia tidak akan mengabaikan kami.”
Hajar kembali ke lembah tersebut. Ibrahim terus berjalan menjauh hingga sampai di sebuah bukit yang lain, lalu beliau menghadap ke arah bukit dimana Hajar dan anaknya ditinggalkan sembari mengangkat kedua tanggannya berdoa, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan salat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka, dan berikanlah kepada mereka rizki dari buah-buahan sehingga mereka bersyukur” (QS. Ibrahim: 37).
Banyak hal yang dapat diteladani dari kisah di atas. Salah satunya adalah tentang kepatuhan seorang perempuan terhadap Allah dan suaminya.
Patuh dan menghambakan diri kepada Allah adalah kewajiban bagi setiap insan. Terkhusus bagi seorang perempuan yang statusnya sudah menjadi istri, setelah kepatuhannya terhadap Allah maka ia wajib patuh terhadap suaminya.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Ibn Majah, Rasulullah pernah bersabda, “Seandainya aku (boleh) memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada selain Allah, pastilah aku perintahkan perempuan bersujud kepada suaminya.”
Dalam kisah di atas, kita bisa melihat bagaimana Sarah dan Hajar sangat patuh terhadap Ibrahim. Apa yang diperintahkan Ibrahim langsung mereka patuhi. Terlebih lagi jika apa yang diperintahkan Ibrahim dari Allah SWT, maka patuh terhadap suami selagi tidak mengandung unsur maksiat kepada Allah (laa ta’ata li ma’siyatin) adalah wajib dilaksanakan oleh seorang istri.
Bersambung ke tulisan selanjutnya