Suatu ketika seorang lelaki datang kepada Rasulullah Saw. hendak berbaiat untuk hijrah. Ia berkata kepada Rasulullah Saw. “Saya datang hendak berbaiat pada Anda untuk hijrah. Bahkan kedua orang tua saya telah saya tinggalkan menangis.” Rasulullah Saw. tidak berbicara keras pada lelaki tersebut atau mencela perbuatannya atau mengatainya telah berbuat bodoh. Beliau tahu bahwa lelaki ini datang dengan niat yang tulus dan mengira apa yang diperbuatnya merupakan yang terbaik. Rasululah merasa bahwa penyelesaian kesalahan ini sangat mudah maka beliau bersabda dengan sederhana, “Pulanglah dahulu kepada kedua orang tuamu. Buatlah mereka berdua tertawa sebagaimana engkau telah membuat keduanya menangis.” Dan, masalahpun selesai.
Di lain waktu seorang pemuda datang kepada Rasulullah Saw. dan meminta izin untuk berzina. Anda tahu, ia meminta izin untuk melakukan maksiat yang bukan sembarang maksiat. Ia meminta izin melakukan dosa besar. Orang-orang telah mengerumuninya dan mencelanya. Lalu apa sikap Rasulullah Saw. terhadapnya? Apakah Rasulullah Saw. membentak-bentaknya dan marah bahwa permintaannya itu terlalu lancang dan termasuk dosa besar ? Tidak. Rasulullah Saw. justru menyuruh orang-orang membiarkan pemuda tersebut dan beliau berkata kepadanya, “Mendekatlah padaku.” Setelah orang itu mendekat, Rasulullah mengajaknya berdialog dan berpikir. Rasulullah bertanya apakah ia rela bila zina tersebut menimpa ibunya, anak perempuannya, saudarinya, ataupun bibinya? Mendengar tuturan Rasulullah SAW, lelaki tersebut menjadi sadar. Rasulullah mendoakannya dan semenjak itu hilang keinginannya untuk berzina.
Seringkali kesalahan dilakukan seseorang. Begitu juga bukan sekali dua kali masalah baik kecil atau besar menimpa seseorang. Kita punya pilihan untuk menjadikan penyelasaian masalah tersebut sangat mudah atau justru bertambah lebih rumit. Dan sayangnya, seringkali sikap kita dalam merespon suatu kesalahan atau masalah justru menimbulkan kesalahan baru lagi. Luapan emosi, perasaan tidak terima dan kecewa sering menghalangi kita untuk melihat persoalan dengan jernih dan apa adanya. Seperti dalam kisah di atas. Rasulullah Saw. bisa saja membentak dan memarahi lelaki tersebut karena tindakannya yang telah menyusahkan orang tua. Bisa juga walau dengan bahasa halus Rasulullah memberikan penjelasan panjang lebar sebagaimana kita ketika meluapkan gemuruh di hati. Namun beliau adalah Rasululah Saw. yang telah difirmankan oleh Allah Swt dengan “Sesungguhnya Engkau berada dalam akhlak yang sangat agung.” Rasulullah tahu bahwa ini masalah yang sangat sederhana dan tak perlu dibesar-besarkan. Cukup dengan bahasa singkat yang mengena namun tak menyakiti, masalahpun selesai. Begitulah Rasulullah Saw. berinteraksi dengan para sahabatnya. Beliau selalu mendorong mereka kepada kebaikan dan memberikan keyakinan bahwa mereka bisa meraihnya dengan mudah. Bahkan Rasulullah Saw. melarang mereka untuk mencela orang yang berbuat kesalahan.
Seorang peminum khamr dihadapkan pada beliau. Kemudian Beliau memerintahkan untuk menghukumnya dengan dipukul (dijilid). Selang beberapa hari lelaki tersebut mengulangi minum lagi dan dihadapkan kembali pada beliau. Ia pun dihukum lagi. Selang beberapa hari ia mengulangi lagi, dihadapkan kembali, dan dihukum lagi. Akhirnya seorang sahabat berkomentar, “Semoga Allah melaknatnya. Sungguh banyak dosa yang teah dilakukannya.” Apa respon Rasulullah Saw. ? Rasulullah menoleh kepada sahabat yang berkomentar tersebut dan bersabda, “ Janganlah engkau melaknatnya. Demi Allah aku mengetahui bahwa ia mencintai Allah dan rasul-Nya.” Dalam cerita yang lain, seorang sahabat mendoakan orang yang telah meminum minuman keras dan telah mendapatkan hukuman agar mendapat kehinaan. Rasulullah Saw. justru mengatakan, “Janganlah kalian berkata begitu tentangnya. Janganlah kalian menolong setan menjatuhkannya.” Imam Munawi dalam penjelasannya mengatakan maksud sabda Nabi ini hendaklah kita mendoakan agar orang tersebut mendapat keselamatan dan taufik dari Allah. Jangan mendoakan buruk karena itu sama saja menolong setan yang mempunyai misi menjerumuskan manusia agar menjadi hina.
Dalam kisah di atas Rasulullah saw. sama sekali tak mencela peminum khamr tadi. Ketika kesalahan telah jelas, cukup beliau memerintahkan pelaksanaan hukuman dan tak perlu diperpanjang lagi. Justru para pencela yang mendapat celaan dari Rasulullah. Dalam masalah ini fokus Rasulullah bukan pada maksiat yang dilakukan. Beliau lebih memperhatikan keimanan yang ada pada pelaku tindak kejahatan dan harapannya untuk menjadi lebih baik. Setiap manusia tak luput dari kesalahan. Tapi yang paling penting adalah bagaimana ia bisa berubah serta peran apa yang bisa kita ambil dalam perubahan itu, bukan berkutat pada kesalahan yang dilakukan sehingga kita lupa untuk membantunya menjadi lebih baik.
Suatu hari sekelompok orang Yahudi mendatangi Rasulullah saw. dan mengatakan, “As-sâmu ‘alaikum” yang berarti semoga engkau mati. Bukan Assalamu alaikum yang berarti mendoakan kesalamatan. Rasulullah Saw hanya menjawab, “Waalaikum.” Sayyidah Aisyah yang saat itu berada bersama Nabi tidak terima dengan ucapan mereka. Ia mengatakan, “semoga kalian mati, semoga Allah melaknat kalian, semoga kalian dimurkai Allah.” Rasulullah yang mendengar ucapan Aisyah itu menimpali, “Wahai Aisyah, berlemah lembutlah. Jangan terlalu keras dan jangan berkata kasar.” Aisyahpun protes. “Apakah engkau tak mendengar apa yang mereka ucapkan ?” dan Rasulullahpun menjawab,”Apakah engkau tak mendengar apa yang aku ucapkan? Aku telah menjawab ucapan mereka dan ucapanku tentu terkabulkan sedangkan doa buruk mereka tak akan terkabulkan.”
Begitulah sikap Rasulullah terhadap Yahudi yang jelas-jelas memusuhinya. Ucapan mereka cukup dibalas secukupnya dan tak perlu dibesar-besarkan. Benar dalam beberapa peristiwa beliau bersikap keras dan tegas namun itu sangat jarang. Sifat dasar beliau adalah lemah lembut dan pemaaf. Beliau memaafkan Labid yang telah menyihirnya, memaafkan perempuan yang telah mencoba mearacuninya, memaafkan Wahsyi yang telah membunuh pamannya. Bahkan ketika pembebasan Makkah dari tangan kaum kafir Quraisy beliau tak melakukan balas dendam massal. Beliau juga tak menyuruh membunuh mereka karena mereka semua kafir. Justru ketika mereka berkumpul menanti keputusan hukum, beliau mengatakan, “Pergilah. Kalian semua bebas.” Beliau selalu bersikap lemah lembut, fokus pada penyelesaian masalah dan melakukannya dengan mudah.
Demikianlah sepenggal kisah-kisah Nabi Muhammad SAW dalam menyikapi masalah. Kelemahlembutannya tidak hanya tercermin melalui sabda-sabdanya, peringai dan perilakunya juga sangat lembut. Bagaimana dengan kita? Tentu kita sebagai umatnya tak perlu ragu untuk meneladaninya, bukan?
*) Penulis adalah pegiat di Komunitas Literasi Pesantren, tingal di Magelang