Diskursus jilbab anak menjadi perdebatan menarik. Liputan DW Indonesia ternyata memantik diskusi itu
Beberapa waktu lalu, akun twitter @dw_Indonesia melemparkan reportase kontroversial dengan kemasan pertanyaan: Apakah anak-anak yang dipakaikan jilbab itu memiliki pilihan atas apa yang ingin ia kenakan? Deutsche Welle (DW) versi Indonesia ini menyorot maraknya anak-anak yang memakai jilbab di usia yang masih amat dini. Adakah persetujuan dari sang anak? Video itu sendiri sudah raih hampir 2 juta penayangan.
Sebenarnya media Jerman itu bersama media-media mainstream lain di negaranya juga dikritik karena memberi panggung kelompok kanan-jauh. Sebutan kanan jauh ini adalah untuk gerakan ultranasionalis yang rasis dan acapkali islamofobik. Gerakan ini menjadi trade-mark partai kanan jauh yang paling populer di Jerman, yaitu AFD (Alternative für Deutschland/ Alternative for Germany).
Sebagai gambaran, sebelum tahun 2015 AFD hanya bisa masuk di 4 parlemen federal. Sedangkan di tahun setelahnya, AFD mampu merangsek ke 16 parlemen federal dan menjadi partai oposisi terkuat di Jerman.
Apa momentum perubahan peta politik itu? Jawabannya adalah isu imigran dan pencari suaka. AFD mampu menggerakkan sentimen ultranasionalis untuk menolak datangnya ratusan ribu imigran muslim dan mengambil keuntungan elektoral dari memainkan isu tersebut. Tidak lupa dengan bumbu Islamophobia. Media Jerman disorot karena terus-terusan memberi panggung bagi tokoh-tokoh politik dari partai tersebut.
Baca juga: Berjilbab itu Eksklusif? Tanggapa untuk DW Indonesia
Nah, versi Indonesia dari DW baru-baru ini menggugat cara orang tua yang mendidik anak dalam hal jilbab. Mereka membingkai bahwa jilbab-isasi anak-anak adalah di luar persetujuan anak.
Saya jadi mbatin, apakah template media-media di Jerman tadi mau diaplikasikan di Indonesia?
Soal kasus yang DW angkat, sebenarnya memiliki sisi yang tidak hitam putih. Sebagian kritik DW mungkin benar (partial truth). Khususnya, jika sang orang tua melakukan dua hal ini: pertama dengan kekerasan fisik dan kedua jika diikuti pelarangan bergaul dengan yg tidak berjilbab.
Jika sampai ada kekerasan fisik, saudara, tetangga, dan bahkan negara memang harus intervensi. Jika diikuti dengan poin kedua, itu tidak bagus bagi kehidupan di masyarakat majemuk.
Sedangkan kritik DW soal orang tua yang mengenalkan jilbab bagi anaknya sendiri, saya kira itu berlebihan. Mengapa?
Dalam tradisi Islam, ada keyakinan bahwa orang tua mulai menyuruh anak untuk shalat di usia tujuh tahun. Shalat tentu saja tidak sah tanpa menutup aurat. Sebab itu ditarik lebih jauh pada pembiasan menutup aurat sejak usia yang sama. Meskipun secara detail soal aurat, ada perbedaan level madzhab Fiqih yang membagi aurat shalat dan di luar shalat; namun mayoritas masyarakat Indonesianya meyakininya sama saja.
Selain itu juga soal tradisi. Di negara-negara Arab sekalipun sebetulnya jarang sekali anak perempuan usia SD yang kenakan jilbab. Tradisi yang berlaku di Indonesia memang agak berbeda dalam hal ini. Tapi mempertahankan tradisi kan juga bagus?
Teori “penyuruhan shalat” bahkan diikuti dengan kebolehan memberi pelajaran jika ngeyel di usia sepuluh tahun. Saya kira ulama dan para ahli kita sudah moderat dengan tidak lagi memakai kata “memukul” melainkan memberi pelajaran. Beri pelajaran itu bisa dengan menjauhkan dari akses gadget, mengurangi uang saku, melarang nonton tv, dan seterusnya.
Cara menafsirkan seperti ini jamak dipakai, mulai dari cendekiawan-cendekiawan di UIA/IAIN sampai ustadz-ustadz selebtube. Bisa saya katakan, kata “memukul” menjadi tidak mainstream lagi dalam hal ini.
Kembali ke pemakaian jilbab. Kalau DW masih melihatnya sebagai pemaksaan, ya monggo saja. Tapi saya beri tahu lagi fakta bahwa banyak anak yang sejak kecil disuruh jaga warung, ngarit, menyanyi dari panggung ke panggung, sampai bawa dagangan ke sekolah. Kaca mata DW mungkin melihatnya eksploitasi, sementara orang tua melihatnya: latihan mandiri!
Persoalan ini sebenarnya melampaui sekat agama. Ini soal budaya barat dan timur. Ada teori mengenai consent (persetujuan). Segala hal yang menyangkut interaksi orang ke orang lain haruslah consensual artinya terbentuk berdasarkan persetujuan. Sedangkan anak kecil dianggap belum bisa memberi persetujuan penuh. Kematangan otak dan pikiran anak menjadikan pendapat anak belum dihitung sebagai sebuah persetujuan bulat.
Sebab itu, masyarakat Jerman juga sempat mempersoalkan khitan bagi anak. Fokusnya selain pada child welfare (keselamatan anak) juga pada nilai persetujuan anak tadi. “Mbok ya kalau mau khitan, biar nanti kalau sudah dewasa mereka memutuskan sendiri”, begitu kira-kira argumen mereka.
Sementara bagi kalangan Islam dan Yahudi Jerman menggunakan argumen religious freedom (kebebasan beragama). Artinya, negara tidak boleh melarang khitan karena merupakan satu dari sekian ajaran keagamaan. Kalau di Indonesia, mumpung masih kecil belum “alot” dan nanti kalau sudah besar kan dia malu.
Baca juga: Islam di Jerman
Maka tidak aneh jika DW yang notabene lahir di barat, menyorot pemakaian jilbab pada anak dalam bingkai yang kurang lebih sama, persetujuan anak. Dalam titik ini, saya tidak setuju framing tersebut. Sebagaimana khitan, pemakaian jilbab (meski oleh orang tua pada anaknya) juga merupakan bagian dari kebebasan beragama. Yang penting saat dewasa kelak, anak bisa memutuskan apakah akan melanjutkan pembiasaan oleh orang tuanya itu, atau memilih jalan lain.
Seharusnya, kalau masih mau mengangkat tema jilbab; DW patut menyorot pemaksaan pengenaan jilbab di sekolah negeri atau di kantor-kantor negara yang kian marak. Padahal, menurut saya, negara harus netral dalam agama. Bentuk pelarangan atau (sebaliknya) pewajiban adalah sama-sama salah jika dilakukan oleh institusi negara ada aparatnya.
Meski tidak setuju dengan framing DW saya juga menyayangkan komen dan balasan dari twit tersebut yang banyak di antaranya offside. Banyak netizen yang justru menyerang narsum yang tampil pada video pendek tersebut. Ini bukan gaya diskusi yang baik, sebab dialog tidak pernah satu nafas dengan caci maki.