Mencari Ridha Allah Melalui Kisah Sahabat Shuhaib yang Membuat Rasul Kagum

Mencari Ridha Allah Melalui Kisah Sahabat Shuhaib yang Membuat Rasul Kagum

Shuhaib memberi kita makna penting terkait Ridha Allah

Mencari Ridha Allah Melalui Kisah Sahabat Shuhaib yang Membuat Rasul Kagum
Kaligrafi bertuliskan nama Nabi Muhammad

Bagi seorang muslim, ridha Allah merupakan kebahagiaan tertinggi, puncak segala nilai. Dari cerita sahabat Nabi bernama Shuhaib, kita bisa menangkap kesan itu. Waktu itu, ia dikejar-kejar orang-orang Quraisy ketika hendak menyusul Nabi dan sahabat lain untuk hijrah ke Madinah.

Begitu tahu bahwa orang Quraisy memburunya, ia turun. Dan tanpa rasa takut, Shuhaib menggertak rombongan itu. “Kalian tahu, aku adalah pemanah ulung,” kata dia.

“Demi Allah, kalian tidak akan mampu menyerangku selama panah dan pedang berada di tanganku. Sekarang pilih, kalian mati terbunuh, atau mengambil seluruh hartaku di Makkah, asal kalian biarkan aku hijrah ke Madinah,” Shuhaib menawarkan.

Tentu saja, diberi pilihan seperti itu rombongan Quraisy lebih memilih harta ketimbang menyerang Shuhaib yang belum tentu dapat dikalahkan. Tak ada pertumpahan darah, tak ada  korban jiwa, dan Shuhaib pun selamat sampai Madinah menyusul sahabat lain yang telah lebih dulu sampai di sana.

Nabi memuji tindakan Shuhaib. Beliau mengatakan bahwa pengorbanan Shuhaib bakal menuai untung. Dengan pengorbanan, hidup Shuhaib lebih punya arti. Shuhaib rela meninggalkan harta bendanya demi kebahagiaan yang lebih tinggi: ridha Allah. Shuhaib tampaknya sangat sadar, jika tak diorientasikan pada ridha Allah, seluruh isi hidupnya tidak akan bermakna. Ridha Allah membuat hidup betul-betul “bernyawa”. Tanpa itu, kehidupan menjadi hampa tanpa makna, seolah putaran-putaran kenaifan yang tak berujung.

Al-Quran “memotret” pengorbanan Shuhaib ini. “Dan di antara manusia ada yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah, dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hambanya.” Demikian al-Baqarah (2): 207. Menurut al-Hakim, dalam al-Mustadrak, turunnya ayat ini beriringan dengan kisah Shuhaib.

Tampak, ridha Allah tak bisa lepas dari pengorbanan. Selain ayat di atas, ayat-ayat lain juga kerap menyebut ridha Allah berdampingan dengan pengorbanan. Kemudian surga, kasih sayang Allah, balasan berlimpah, dan kenikmatan ukhrawi biasanya disebut satu rangkaian dengan ayat-ayat itu. Frasa mardhâtillah, ridhwânullah, radhiyallâh dan kata-kata turunannya (menunjuk pada ridha Allah) berjajaran dengan frasa yasyrî nafsahu, yunfiqûna amwâlahum, ukhrijû min diyârihim dan sejenisnya (menunjuk pada pengorbanan). Kata-kata jannah, ajr, ra’ûf, rahim, dan semacamnya (merujuk pada surga, balasan baik, dan kenikmatan ukhrawi) tampak pula erat mengiringi.

Karena itu, tak mengherankan jika setiap muslim begitu mendambakan ridha Allah. Seakan terbayang di benak kita, sebuah pengorbanan yang diridhai Allah. Meski pahit saat ini, kelak bakal menuai kebahagiaan tiada tara. Begitulah hidup yang berkualitas, penuh makna. Namun, apakah kita tahu, perbuatan kita telah atau akan mendapat ridha Allah?

Setiap hari kita menjalani salat lima waktu, zikir, membaca al-Quran meski satu-dua ayat, atau sekedar mendengar ceramah ustaz. Setiap hari pula, kita bergaul dengan orang, di kampus, di pasar, di kantor, di tempat-tempat umum, atau mungkin di rumah tetangga. Kita berbicara, bersenda gurau, tawar-menawar harga, berdiskusi, makan bersama, dan seterusnya. Ada begitu banyak hal yang kita lakukan.

Kita mungkin pernah merasa telah atau akan mendapat ridha Allah. Kita yakin betul, apa yang kita perbuat murni demi mencari ridha Allah. Tak ada motivasi lain. Tapi, kita tidak pernah tahu apakah hal itu dapat menjamin bahwa ridha Allah menyertai kita.

Kita juga sering mendengar dan menyaksikan orang yang tanpa ragu-ragu menyatakan bahwa perbuatan yang dia lakukan semata-mata demi ridha Allah. Tapi, kita lantas heran: perbuatan yang diklaim bertujuan mencari ridha Allah ternyata membuat ratusan bahkan ribuan jiwa melayang. Memporak-porandakan tatanan masyarakat. Membuat ratusan anak kehilangan ayah. Menimbulkan ketakutan berjuta-juta manusia.

Kita bertanya-tanya: apakah mungkin menggapai ridha Allah dengan mengabaikan ridha manusia? Jika ridha Allah adalah pengorbanan, pengorbanan untuk siapa? Bukankah Allah ghaniyyun ‘an al-‘âlamîn, tidak membutuhkan makhluk?

Ridha Allah memang tidak bisa secara nyata kita saksikan. Di balik perbuatan, yang bisa kita tangkap hanyalah pernyataan, klaim, baik ucapan maupun tulisan. Selebihnya, apakah ridha Allah benar-benar menjadi arah hidup seseorang, kita tidak pernah tahu.

Tapi, satu petunjuk yang baik bisa kita temukan dalam hadis Rasulullah. Kita tentu pernah mendengar sabda beliau: ridhâ  al-rabb fî ridhâ al-wâlid wa sakhathu al-rabb fî sakhathi al-wâlid, ridha Tuhan ada pada ridha orangtua, murka Tuhan pun ada pada murka orangtua. Di sini Rasulullah menunjukkan, ridha Allah tergantung pada ridha manusia konkrit yang ada di dunia nyata. Rasulullah mencontohkan orangtua.

Kendatipun ridha Allah sangat abstrak, setidaknya perbuatan bisa kita saksikan. Tak mungkin ridha Allah berbarengan dengan tindakan yang melecehkan ridha manusia. Tentu manusia dalam arti luas. Bukan ridha segelintir orang, tapi petaka bagi masyarakat yang lebih besar. Allah pun mustahil meridhai manusia yang berbuat kerusakan. “Sesungguhnya Allah tidak menyukai mereka yang berbuat kerusakan.” Begitulah Surah al-Qashash ayat 77 menegaskan.

Shuhaib—sahabat yang rela meninggalkan kekayaannya di Makkah itu—pun tidak melakukan perusakan di pasar-pasar Makkah. Padahal, Shuhaib boleh dikatakan mahir berperang. Sementara Makkah adalah kota pusat perdagangan. Di sana, banyak orang Quraisy menjadi pemodal besar. Seandainya Shuhaib menyerang dan mengobrak-abrik sebuah pasar di Makkah, misalnya, sulit dibayangkan Nabi akan memuji dan menyebut Shuhaib telah berkorban demi mencari ridha Allah. Pun, sulit dipercaya, sebuah upaya memperjuangkan kebahagiaan tertinggi, puncak segala nilai, tapi melahirkan hal sebaliknya: kehancuran dan penodaan nilai.

 

sebelumnya pernah dimuat di Syir’ah edisi 14