Seorang siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) menuliskan pertanyaan, “Makanan yang lezat namun dapat membahayakan kesehatan hukumnya adalah?”, lalu terlampir empat pilihan jawaban: makruh, haram, mubah, halal.
Pertanyaan ini diunggah ke sebuah platform sosial yang khusus mendiskusikan pertanyaan di dalam buku-buku pelajaran. Siapa pun boleh menjawab, tak peduli salah atau benar.
Untuk menjawab pertanyaan serupa, kitab Al-Mausu’ah Al-fiqhiyah Al-Kuwaitiyah yang diterbitkan oleh Kementerian Wakaf dan Urusan Keislaman Kuwait perlu mempertemukan para ulama dari empat mazhab fiqih, mengurai sebab-sebab keharaman suatu makanan, membolak-balik ratusan kitab klasik, dan menuliskan rangkumannya dalam tiga halaman.
Dengan penuh kehati-hatian, mereka menuliskan bahwa keharaman makanan yang membahayakan kesehatan—meskipun dihalalkan dalam kitab-kitab klasik—karena alasan maqashid asy-syari’ah. Bahwa yang paling utama dalam agama adalah menjaga jiwa (nyawa).
Dan dengan penuh kerendahan pula, di akhir penjelasannya, menutup dengan kalimat, semua itu pada jenis makanan yang telah diketahui secara jelas dan pasti membahayakan kesehatan. Tentang makanan yang masih simpang siur, mereka serahkan kepada ahlinya, kepada para pakar kesehatan.
Tetapi pertanyaan sang siswa hanya butuh satu kata yang akurat, makruh, haram atau halal? Dia tidak sedang mencari tiga lembar jawaban dari ulama Kuwait.
Bayangkan jika dijawab haram. Bisa jadi anak-anak yang kemungkinan besar tidak belajar fiqih layaknya santri pondok pesantren akan terbingung-bingung. Sebab hampir semua makanan yang lezat memiliki dampak yang membahayakan kesehatan. Dari minuman bersoda hingga makanan cepat saji. Apakah itu semua haram? Lalu mengapa ada label halalnya?
Seandainya dijawab makruh. Jelas-jelas dalam fiqih empat mazhab semua yang membahayakan kesehatan hukumnya haram. Bahkan Almarhum KH. Ali Mustafa Yaqub menuliskan dalam Kriteria Halal-Haram untuk Pangan, Obat dan Kosmetika Menurut Al Quran dan Hadits, produk apa saja yang berefek buruk, entah efeknya langsung atau muncul belakangan, hukumnya haram.
Guru yang tahu tentang seberapa berbahayanya menjelaskan hukum agama, sepertinya akan diam dan mengumpulkan berbagai bahan bacaan. Pertanyaan siswa tersebut—yang diambilnya dari soal di dalam buku mata pelajaran—jelas membuatnya bingung.
Lema “dapat” menunjukkan ketidakpastian. Hukum fiqih tidak bisa menjawab hal-hal yang belum pasti, apalagi soal makanan yang harusnya dijelaskan oleh pakar kesehatan. Fiqih hanya sampai pada jawaban keharaman makanan yang bahayanya sudah jelas dan pasti berefek buruk pada jiwa (nyawa, kesehatan). Terkait seberapa berbahaya suatu makanan lezat tertentu, itu jelas ranah kesehatan dan ahli gizi.
Ada ribuan pertanyaan serupa yang diketik di laman pencarian internet, dan internet mengubahnya menjadi keyword. Lalu sekian banyak website yang bergantung pada viewers beramai-ramai menuliskan jawabannya.
Entah benar entah salah, asalkan volume pencari yang ribuan itu singgah dan meng-klik artikelnya. Kadang-kadang judulnya diberikan sedikit bumbu clickbait menggunakan nama seorang dai kondang.
Lalu siapa yang harus menjawab pertanyaan siswa Sekolah Menengah Atas itu, juga ribuan pertanyaan yang menginginkan jawaban pasti dengan mencarinya di mesin pencari?
Para kiai dan ustaz, yang berdiam di kota hingga ke pelosok desa tentu bisa memberikan pertimbangan. Tetapi bagaimana cara mempertemukan para kiai dan ustaz itu dengan anak SMA yang mencari jawabannya di mesin pencari?
Kita sedikit bergeser ke Mesir. Mereka punya lembaga fatwa di bawah naungan kampus maupun negara, dari jabatan di lembaga fatwa Universitas Al-azhar, Darul Ifta Mesir (Lembaga Fatwa Mesir), hingga Mufti Agung Negara.
Darul Ifta Mesir memiliki website resmi sebagai tempat penyimpanan berbagai fatwa yang dikeluarkan. Mereka juga punya laman di sosial media yang mengabarkan fatwa sesuai dengan trending di sosial media. Tak lupa tiap pagi dan sore mengunggah gambar yang berisi doa.
Bahkan setiap hari—bukan, hampir setiap jam—mereka membacakan satu pertanyaan yang dikirimkan dan mengunggah jawabannya di Youtube. Kadang pula mengadakan Q&A secara live. Siapa pun boleh bertanya tentang apa pun.
Dari pertanyaan yang paling serius hingga yang paling remeh-temeh seperti hukum masakan yang menggunakan bumbu pala. Jika tahu hukumnya, para Amin Fatwa bergantian muncul di dalam layar. Jika tidak, mereka akan mencari di kitab-kitab klasik dan menjawabnya kemudian.
Fatwa-fatwa tersebut lalu ditransliterasikan oleh website-website di Mesir, mengubahnya jadi berita, dan menaikkannya sesuai dengan isu-isu harian yang muncul. Sesekali diselingi dengan doa pagi dan sore yang juga merujuk ke sosial media Darul Ifta Mesir.
Website-website kita sejatinya telah mencari jawaban yang paling akurat dari berbagai pertanyaan di mesin pencari. Mereka mencariya di buku-buku yang paling mungkin didapat, atau di website lain, atau paling amannya mendengarkan ceramah dari dai-dai kondang. Berharap sang dai pernah membahasnya setengah atau satu menit. Itu sudah cukup.
Website butuh referensi yang lebih akurat. Orang-orang yang mencarinya di Google pun sama. Para siswa pun sama, meski sekadar menjawab pertanyaan di buku pelajaran. Tetapi dari manakah jawaban yang tepat dan meyakinkan itu akan datang?
Kembali ke pertanyaan sang siswa. Pertanyaan itu telah dijawab oleh beberapa akun dengan dalil yang berbeda-beda. Di kolom komentar beberapa siswa yang sepertinya juga sedang mengerjakan soal itu, mengumpat dan menulis, “Jawabanmu salah!”