Beberapa hari terakhir, film “Penyalin Cahaya” menjadi trending topic di sosial media. Akibat salah satu kru film tersebut disebut-sebut memiliki riwayat kekerasan seksual (KS). Memang, isu KS sedang menjadi perbincangan publik, mulai dari beberapa kasus-kasus hingga pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).
Kembali ke film “Penyalin Cahaya”, saya menganggap seluruh unsur yang terlibat dalam film tersebut patut mendapatkan apresiasi. Salah satu alasan saya menyukai film tersebut adalah keberhasilan mereka merekam kompleksitas persoalan kekerasan seksual, khususnya terkait perkembangan teknologi. Sebab, di era internet hari ini, eksploitasi atas tubuh seseorang sudah jauh melampaui defenisi yang selama ini ada.
Kalis Mardiasih, aktivis perempuan, salah satu prestasi film “Penyalin Cahaya” adalah merekam salah satu kerumitan dalam persoalan kekerasan seksual. Kalis menyebut bahwa kekerasan seksual lahir dari kepentingan dominasi, kekuasaan, dan ketimpangan kekuasaan. Ketika membaca penjelasan Kalis yang cukup panjang, saya melihat isu ruang aman dalam ekosistem digital menarik diperbincangkan lebih dalam.
Tema “ekosistem digital” adalah salah satu poin menarik dalam film “Penyalin Cahaya” dan menjadikannya sangat direkomendasikan untuk ditonton. Setelah menonton film tersebut, saya pun sepakat dengan Kalis. Catatan Kalis terkait ekosistem digital terfokus pada ruang aman bagi siapa saja. Dia mempertanyakan apakah ada ruang digital yang setara dan inklusif?
Pertanyaan Kalis di atas mungkin menjadi pertanyaan kita semua. Dia melihat dalam ekosistem digital kita hari ini tidak ada ruang aman dan setara. Kondisi ketimpangan relasi kuasa di ranah offline juga berimbas ke dunia maya atau daring. Permasalahan ekosistem digital yang aman, setara, dan inklusif merupakan salah satu pesan kuat dalam film “Penyalin Cahaya”.
Jika merujuk pada kondisi ekosistem digital hari ini, terlepas dari dedahan dari film “Penyalin Cahaya”, maka kita telah dalam posisi didesak untuk menghadirkan ruang yang aman dan ramah kepada siapa saja, terlebih pada kelompok-kelompok rentan. Media sosial telah menjelma menjadi wadah paling rentan bagi mereka yang dieksploitasi. Mereka tidak dilindungi, bahkan sebagian malah semakin dijerumuskan, dirundung, hingga diserang.
Berbagai serangan bernarasi agama, etika, hingga budaya tidak sulit kita jumpai pada berbagai kasus kekerasan seksual, terlebih pasca kehadiran media sosial. Kita mungkin tidak lupa dengan label negatif yang melekat pada netizen Indonesia. Kondisi ini sebenarnya hanya puncak gunung es dari pelbagai perilaku negatif netizen kita yang mencuat di ranah di ruang publik digital.
Cyber-bullying, hasutan, hingga pendiskresditan cukup lumrah pada korban-korban kekerasan seksual. Akhir-akhir ini saja, seorang korban kekerasan seksual di Banjarmasin masih mendapatkan berbagai serangan-serangan, diantaranya lewat media sosial, aplikasi chatting, dan lain-lain. Padahal, keberanian korban tersebut untuk muncul ke ruang publik dan berbicara soal kekerasan yang dialaminya adalah sesuatu yang harus dihargai, bahkan wajib diperjuangkan.
Kembali ke ranah ekosistem digital, Apakah agama bisa hadir sebagai pionir ekosistem digital bagi umatnya? Mungkin, bagi sebagian besar kita, instrumen hukum dan etika dalam ajaran Islam biasanya adalah solusi pamungkas. Namun, apakah permasalahan dalam ekosistem digital bisa selesai dengan sekejap dengan dua solusi tersebut?
Internet, khususnya di Indonesia, disebutkan banyak peneliti mulai menjadi lahan pendedahan narasi agama sejak keruntuhan Orde Baru. Indonesia pasca-otoriter telah menunjukkan keragaman penggunaan internet yang berarti, yang terjadi kurang lebih pada saat yang sama ketika orang Indonesia mulai mengalami atmosfer kebebasan berekspresi yang baru. Ya, kebebasan berekspresi masih bisa dibilang baru bagi masyarakat Indonesia. Sebab, selama ini, seluruh informasi masih dikuasai atau hanya lewat corong pemerintah.
Melalui penggunaan internet, kita sebagai Muslim dapat menghubungkan diri dengan jaringan Islam global. Oleh sebab itu, agama dalam lanskap media baru, dalam hal ini internet, di Indonesia mulai berkembang, dan di saat yang bersamaan mulai mengembangkan subkultur terhubung antar sesama umat yang seideologis.
Dengan kata lain, David T. Hill dan Krishna Sen menyebutkan bahwa internet mulai membuat kehadirannya terasa di Asia pada 1990-an telah memungkinkan gerakan keagamaan di Indonesia untuk menyebarkan dakwah mereka dengan menggunakan media yang beragam, yang hari ini lebih banyak lewat media sosial.
Sayangnya, sejak kehadirannya di ranah internet, agama masih lebih berkutat pada narasi ideologi ajaran atau mazhab. Kita lebih banyak berbicara atau disibukkan terkait perbincangan ajaran agama yang universal atau mengkhususkan pada pendedahan atau dakwah ajaran-ajaran agama di ranah publik. Umat beragama terpisahkan dinding tipis dalam ideologi atau mazhab masing-masing, atau dalam bahasa lain adalah kita lebih banyak terjebak dalam “gelembung” kita sendiri.
Padahal, internet dan masyarakat muslim adalah entitas yang tidak lagi mungkin dipisahkan. Kita sebagai muslim sudah aktif dalam dunia maya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, aspek hukum dan etika hanya secuil dinamika kehidupan digital masyarakat muslim hari ini. Kehidupan digital kita sebagai muslim tidak lagi sekedar rekaman video atau siaran langsung yang sebarluaskan lewat media sosial, namun sudah jauh melampaui itu.
Bahkan, kita sebagai muslim tidak lagi ragu berinteraksi dengan teknologi digital, termasuk terkait narasi, ritual, dan hal-hal yang terkait agama. Aktivitas kita sebagai umat beragama di ranah digital turut mewarnai keberagamaan kita hari ini, mulai dari kemunculan ekspresi-ekspresi baru hingga kebangkitan keberislaman yang dipengaruhi peredaran narasi-narasi konservatisme di dunia maya.
Teknologi digital telah banyak mengubah wajah masyarakat muslim hari ini. Berangkat dari fakta yang tak terbantahkan ini, kita juga melihat bagaimana respon masyarakat Muslim atas fatwa-fatwa tersebut malah tidak selalu dalam posisi setuju. Dalam kasus terakhir, Cryptocurrency masih dikasih label Haram oleh Majelis Ulama Indonesia dan sebagian ormas Islam.
Akibatnya, krisis-krisis kemanusiaan sangat jarang mendapatkan perbincangan dalam geliat keagamaan yang mulai menguat akhir-akhir ini, termasuk persoalan kekerasan seksual. Dalam ekosistem digital kita yang mulai makin religius, isu kekerasan seksual tidak berbeda jauh dengan kondisi di ranah luring yang masih kurang sehat dan baik untuk narasi tersebut.
Hal ini menambah parah persoalan kekerasan seksual di tengah era digital hari ini. Digambarkan cukup jelas dalam film tersebut bagaimana kekerasan seksual, dalam hal ini eksploitasi tubuh, telah tidak hanya soal hasrat seksual saja.
Nah, narasi terkait eksploitasi tubuh di ruang digital dalam ajaran Islam masih tidak begitu tergambar jelas. Untuk itu, kita perlu melihat bingkai-bingkai lain dalam ajaran Islam untuk mendapatkan gambaran utuh persoalan tersebut, biar tidak terjebak pada klaim hukum belaka, yakni benar atau salah. Jadi, kita sebagai muslim bertanggungjawab untuk menghadirkan jaring pengaman bagi siapapun atas berbagai kejahatan digital.
Hal ini bisa kita mulai dengan tidak lagi menyerang para korban kekerasan seksual dengan memakai narasi-narasi agama. Selain itu, kita juga dapat menghadirkan perlindungan dan menguatkan jaring pengaman bagi siapapun korban kekerasan seksual. Jadi, mengecam seluruh aksi kekerasan seksual tidak boleh berhenti hanya pada sikap belaka. Namun, kita juga harus mulai menghadirkan ekosistem digital yang ramah dan aman bagi siapapun yang berani bicara, berbuat, dan melawannya.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin