Hamas dan Fatah menyadari tantangan Palestina ke depan akan sangat kompleks. Ketika negara-negara Arab mulai membuka diri kepada Israel, Palestina menanti suksesi pemimpin baru dalam waktu dekat.
Normalisasi negara-negara Arab dengan Israel berdampak bagi stabilitas internal para pendukung Palestina. Abraham Accord yang diinisiasi oleh Amerika Serikat (AS) memediasi negara-negara Teluk, yang akhirnya UEA dan Bahrain menerima tawaran AS. Hingga akhirnya kedua negara tersebut membuka hubungan diplomatiknya dengan Israel.
Implikasi yang ditimbulkan akibat normalisasi Arab-Israel yakni perlunya strategi dan perlunya pemimpin baru Palestina yang mampu mengawal perjuangan negara tersebut atas ketidakadilan Israel. Situasi yang terkendali semakin menyudutkan posisi Palestina. Maka, Palestina mau tidak mau harus memiliki amunisi baru untuk melawan segala tindakan dan keputusan Israel.
Kabar mengejutkan berawal dari pernyataan Dubes AS untuk Israel David M Friedman pada 17 September lalu, secara mengejutkan ia melontarkan isu bahwa Pemerintah AS tengah menimbang untuk mengusung salah seorang tokoh Palestina, Mohammed Dahlan, sebagai pemimpin baru Palestina menggantikan Presiden Palestina Mahmoud Abbas.
Lalu siapakah yang bakal menjadi kandidat terkuat menjadi pemimpin baru Palestina di tengah normalisasi Arab-Israel yang semakin gencar? Apakah rekonsiliasi Hamas dan Fatah akan berjalan mulus? Atau akan terjadi perpecahan internal didalam dua kubu tersebut?
Rekonsiliasi Hamas-Fatah
Fatah dan Hamas telah bersepakat untuk menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu enam bulan ke depan. Kesepakatan ini menjadi bagian dari penguatan internal Palestina yang selama ini terpecah. Penguatan di kalangan internal Palestina ini juga semakin dibutuhkan pasca normalisasi hubungan dua negara Arab, Uni Emirat Arab dan Bahrain, dengan Israel.
Kedua pihak telah menemukan kesepakatan, bahwa pemilu akan dilaksanakan secara bertahap, mulai dari pemilu legislatif, pemilihan presiden Otoritas Palestina, dan terakhir pemilihan Dewan Pusat Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).
Kesepakatan kedua faksi tersebut tentang pelaksanaan pemilu di Palestina disampaikan oleh Jibril Rajub, pejabat senior Fatah, Kamis (24/9/2020). Pembicaraan secara intensif antara Pemimpin Fatah Mahmoud Abbas dan Kepala Politik Hamas Ismail Haniyeh juga telah berlangsung selama beberapa hari di Istanbul, Turki.
Ini artinya Hamas dan Fatah akan mendiskusikan dan berdialog tentang bagaimana suksesi kepemimpinan Palestina. Sebelumnya, Hamas dan Fatah memang sulit bersatu. Berbagai upaya rekonsiliasi, termasuk perjanjian pertukaran tahanan pada tahun 2012. Kemudian pemerintahan koalisi yang berumur dua tahun gagal menutup keretakan hubungan kedua kelompok tersebut. Saat ini, dengan adanya normalisasi hubungan diplomatik Uni Emirat Arab dan Bahrain dengan Israel serta menyusul kemungkinan beberapa negara Arab lain yang semula mendukung Palestina, rekonsiliasi Hamas dan Fatah menjadi kebutuhan mendesak dan perlu dilakukan.
Mengenai calon pemimpin Palestina yang akan datang, Hamas dan Fatah belum memastikan akan mengusung siapa. Fatah sendiri belum memastikan, apakah Mahmoud Abbas yang sejak tahun 2005 memimpin Palestina, akan kembali bertarung kembali pada pemilihan umum mendatang.
Berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan oleh Pusat Kebijakan dan Penelitian Palestina yang dilakukan awal tahun ini, Ismail Haniyeh memiliki peluang untuk memimpin Palestina jika ia memutuskan ikut dalam pencalonan.
Menuju Pemimpin Baru Palestina
Fatah dan Hamas semakin menyadari bahwa tantangan Palestina saat ini dan ke depan sangat kompleks. Tantangan yang kentara di depan mata, yakni semakin banyaknya negara Arab memilih membuka hubungan resmi dengan Israel tanpa harus menunggu selesainya isu Palestina. Negara-negara seperti UEA, Bahrain, dan kemungkinan Sudan juga akan menyusul. Isu suksesi kepemimpinan Palestina untuk mencetak pemimpin baru yang lebih akomodatif terhadap skenario AS-Israel adalah upaya meng-counter proses normalisasi negara-negara Arab-Israel.
Bagi kubu Mahmoud Abbas, ada dua skenario yang dimainkan untuk menjegal kemungkinan Dahlan bisa tampil sebagai pemimpin baru Palestina. Skenario pertama, yakni dengan melakukan rekonsiliasi dengan Hamas serta kemudian menggelar pemilu parlemen dan presiden. Skenario ini paling ideal, karena selain mewujudkan rekonsiliasi Hamas-Fatah yang pecah sejak 2007, juga bisa menghidupkan kembali proses demokrasi Palestina dengan cara menggelar pemilu.
Selanjutnya, jika skenario tersebut berjalan tanpa ada hambatan, maka akan lahir pemimpin baru Palestina melalui jalur demokrasi yang dipastikan akan mendapat dukungan masyarakat internasional secara luas dan bakal mencegah keinginan AS-Israel memaksakan skenario mereka dalam proses suksesi kekuasan di Palestina.
Jika skenario ini berhasil, Abbas disinyalir telah menyiapkan tokoh-tokoh kuat faksi Fatah untuk berkontestasi dalam pemilu presiden mendatang. Tokoh-tokoh yang bakal diajukan dianataranya yakni, Jibril Rajoub, Ketua Intelijen Palestina Majid Farah; mantan Menlu Palestina yang juga saudara sepupu Yasser Arafat, Nasser al-Qudwah; dan juru runding senior Palestina, Saeb Erekat. Adapun Jibril Rajoub dikenal sebagai musuh bebuyutan politik Dahlan. Dari kubu Hamas, yang akan berlaga dalam pemilu presiden adalah Ismail Haniyeh.
Sedangkan skenario kedua, yakni upaya rekonsiliasi Hamas-Fatah gagal dan tidak bisa menggelar pemilu parlemen dan presiden. Sebab pemilu harus melibatkan semua rakyat Palestina yang kini sebagian besar dari mereka berada dibawah faksi Fatah dan Hamas. Jika hal itu yang bakal terjadi, maka Hamas dan Fatah direkomendasikan memilih solusi kompromi dengan mendukung bersama Abbas tetap sebagai presiden Palestina untuk mencegah upaya AS-Israel memaksakan Dahlan menggantikan Abbas.
Abbas sendiri ditengarai telah membangun barikade di lingkaran Fatah dan PLO untuk mencegah Dahlan dan loyalisnya yang dibantu AS, Israel, dan UEA menyusup ke faksi Fatah maupun PLO. Abbas yang saat ini menjabat ketua Fatah dan PLO diberitakan telah menyiapkan pemimpin kolektif untuk mengambil alih kekuasaan sementara di faksi Fatah dan PLO, jika terjadi kemungkinan terburuk pada diri Abbas. Pemimpin kolektif itu di dalamnya terdapat Jibril Rojoub, Saeb Erekat, Majid Farah, Nasser al-Qudwah, dan Mohammad Shtayyeh yang kini menjabat sebagai Perdana Menteri Palestina.
Ke depan, dinamika isu suksesi pemimpin baru Palestina dipastikan akan terus bergulir seiring dengan dinamika realitas baru yang terjadi di Timur Tengah setelah terjalinnya hubungan resmi Israel dengan UEA dan Bahrain. Siapakah pengganti Mahmoud Abbas? Lalu, bagaimana strategi dan upaya Palestina dalam membela hak-haknya atas Israel? Kita tunggu saja! [rf]