Dulu orang menyebutnya sebagai kabar burung, kini informasi yang belum jelas kebenarannya diistilahkan dengan hoax. Seiring perkembangan teknologi dan akses informasi yang kian maju, hoax makin berkembang. Tak jarang menimbulkan konflik yang besar. Masalahnya, informasi tersebar diterima masyarakat dengan persepsi yang berbeda-beda.
Satu sisi langsung membenarkan informasi tersebut, sisi lainnya sisi menyalahkan. Terlepas pro-kontra yang terjadi, dampak selanjutnya tidak lagi berurusan dengan kebenaran, akan tetapi pada hubungan dua kubu yang berpotensi konflik.
Kebenaran memiliki beberapa kriteria. Sederhananya, tidak ada kebenaran mutlak. Salah satunya adalah kebenaran menurut pragmatis berarti jika sesuatu memiliki bobot manfaat yang banyak maka itulah kebenaran. Ada pula teori kebenaran strukturalis, di mana kebenaran merupakan kebenaran yang ditunjukkan para penguasa. Dari teori kebenaran itu dapat dipahami bahwa tidak ada kebenaran mutlak.
Lalu bagaimana memahami informasi dengan bobot kebenaran yang cukup kuat?
Dalam tradisi keilmuan Islam sangat jeli memperhatikan persoalan kebenaran informasi. Tidak hanya bobot manfaat atau karena pengirimnya dari penguasa lantas informasi dianggap benar. Salah satunya adalah Ilmu Hadis.
Hadis-hadis Nabi yang terdengar di telinga kita bukan tanpa pengawalan yang ketat. Banyak sekali tahapan yang harus dijalani sehingga menghasilkan hadis yang berkualitas (Diterima). Di antara metodenya seperti ilmu rijal al-hadis, takhrij al-Hadis, dan sebagainya. Ilmu tersebut digunakan dalam tradisi keilmuan Islam dalam rangka menjaga kebenaran informasi yang diberikan oleh Nabi kepada Umat Islam.
Jika sebuah hadis diriwayatkan oleh banyak orang maka hadis tersebut memiliki bobot yang cukup kuat. Tetapi banyaknya yang meriwayatkan tidak menjadi patokan untuk menentukan kualitas hadis. Masih ada langkah lain seperti siapa saja yang meriwayatkan hadis tersebut? qualified atau tidak orang-orang yang meriwayatkan? Serta beberapa langkah dan masih masih banyak lagi. Baru hadis dapat disimpulkan apakah hadis itu bisa jadi lantasan hukum atau tidak. Bukan sekedar dijawab dengan pernyataan “ada dalilnya atau tidak”.
Informasi dan Hadis memang dua hal yang berbeda. Meski tidak bisa disamakan 100%, namun beberapa hal bisa menjadi acuan untuk kita. Kasus hoax tersebar begitu cepat tanpa bisa diidentifikasi darimana datangnya. Jika mengacu ilmu hadis, maka perlulah kita melakukan penelusuran terhadap siapa pembuat isu tersebut. Kedua menelusuri dari siapa-siapa yang mengabarkan informasi tersebut. Bukan sekedar broadchest dan share ke semua kontak yang ada.
Tak perlu 100% menggunakan ilmu hadis, cukup mengacu pada dua hal di atas memungkinkan menemukan jawaban atas hoax atau tidaknya sebuah informasi. Namun jika anda hanya melihat bahwa “barangkali ada yang membutuhkan” atau “semoga bermanfaat” lalu “Sebarkan!!!” maka dapat dipahami bahwa kebenaran yang diyakini bersifat pragmatis. []
Tanwirun Nadzir, mahasiswa Pasca sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Aktif di Forum Studi Sosial Keagamaan Piramida Circle.