Berita seorang anak yatim yang dihukum menyiram dirinya dengan oli bekas mengetuk hati kita: Apakah hukuman itu layak diberikan, walaupun si anak yatim dianggap nakal?
Anak yatim banyak polah memang sudah tidak menjadi rahasia umum. Banyak faktor yang menyebabkannya, diantaranya: Pertama, Mereka kehilangan figur bapak. Dalam budaya masyarakat paternalistik, bapak merupakan pengayom, pengarah, dan panutan. Dus, jika anak yatim terkesan banyak polah maka hal itu bukan ciri kepribadian yang intrinsik, tetapi disebabkan faktor ekstrinsik berupa budaya patriarkhi.
Kedua, rendahnya partisipasi masyarakat dalam penciptaan lingkungan ramah anak. Di era seperti sekarang, jangankan anak yatim; anak-anak yang masih lengkap orangtuanya juga mengalami banyak gangguan sosial. Kalau anak yang memiliki orang tua saja liar maka bagaimana dengan anak yang tidak memiliki siapa-siapa?
Semestinya, bukan dunia anak yang dipersoalkan tetapi justru masalahnya terdapat pada dunia orang dewasa. Kini hampir tidak ada ruang lagi yang layak untuk usia anak. Semua kebiasaan dan kesenangan orang dewasa tak bisa dibendung untuk digandrungi anak-anak. Oleh sebab itu para orang dewasa perlu giat menciptakan ruang yang layak untuk tumbuh kembang anak, untuk menimalisir proplem anak.
Bukankah anak terlahir dengan membawa bakat yang fitri (baik dan mulia)? Orang tualah yang menyebabkan anak berubah sikap karena karakter anak adalah belajar memperhatikan, mengenal, dan meniru kebiasaan segala rupa di sekitar lingkungannya.
Kita sebagai orang dewasa dituntut arif dan bijak menyikapi perkembangan anak, utamanya anak yatim. Mereka adalah penerus kita di masa yang akan datang. Salah langkah kita memperlakukan mereka, khawatirnya kita tidak memiliki pewaris yang cakap untuk kelangsungan hidup di kemudian hari. “Semestinya takut orang-orang yang meninggalkan generasi di belakangnya lemah;” demikian Allah Swt mengingatkan kita di dalam QS. An-Nisa ayat 9.
Terutama didalam menyikapi anak yatim, perhatian al-Quran sudah ada sejak turunnya surat-surat Makiyyah (yang turun di Mekkah). Jauh-jauh hari sebelum ada perintah sholat, umat Islam sudah ditekankan untuk memperhatikan anak yatim. Lihat Surat ad-Dhuha ayat 6 dan 9; Surat al-Maun ayat 1 dan 2; dan Surat al-An’am 152.
Perhatian lebih al-Quran kepada anak yatim juga diperlihatkan lebih intensif saat diturunkan di kota Madinah. Dalam surat-surat madaniyah kewajiban melindungi anak yatim terdapat pada Surat al-Baqarah ayat 220, surat an-Nisa ayat 2 dan 6.
Syekh Mahmud Syaltut dalam karyanya, Min Taujihat al-Islam, merekomendasikan supaya anak yatim terpelihara dan terdidik secara baik: Pertama, jadilah kita sebagai paman dan om-omnya (al-a’mam) anak yatim. Bukan ayah tiri bagi anak-anak yatim. Kedua, jadilah kita sebagai pembimbing (al-awshiya’) anak yatim jika tidak sanggup menjadi om-om buat mereka.
Melalui cara ini, insya Allah, dapat meminimalisir kasus anak yatim yang terlantar, yang tak terkontrol, dan yang tak terbimbing.