Peluncuran acara Gerakan Nasional Wakaf Uang (GMWU) pada Senin (25/1/2021) lalu seharusnya bukan hanya untuk menggelorakan masyarakat untuk berwakaf, malainkan juga memaksimalkan pengelolaan harta wakaf di Indonesia.
Seperti diketahui, acara GMWU dihelat dalam rangka peresmian Brand Ekonomi Syariah ini disiarkan secara daring dari Istana Negara, Jakarta. Acara ini dihadiri tokoh-tokoh penting Indonesia, meliputi Presiden Joko Widodo, Wapres Ma’ruf Amin, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan lain sebagainya.
Ibadah wakaf dalam Islam memang memiliki posisi penting. Maslahatnya amat besar, serta dijanjikan sebagai salah satu amal yang tak habis pahalanya, kendati yang melakukannya sudah meninggal.
Dalil mengenai kontinuitas pahala wakaf bersandar pada sabda Nabi Muhammad SAW, bahwa: “Ketika anak Adam mati, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah [wakaf], ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya,” (H.R. Muslim).
Secara mendasar, terdapat perbedaan antara wakaf dan sedekah, salah satunya adanya nazir atau pengelola harta yang diwakafkan (maukuf). Langgengnya pengelolaan harta inilah yang menentukan aliran pahala bagi pewakaf.
Misalnya, seseorang yang mewakafkan bangunan untuk panti asuhan atau sumur untuk sumber air bersama. Pahala wakaf tersebut akan terus mengalir selagi dua harta tadi dikelola dengan baik: bangunan tersebut terus dimanfaatkan atau sumur tadi dijadikan sumber air bersama. Pahalanya akan terputus jika bangunan itu roboh atau sumurnya ditimbun tanah.
Pada praktiknya, ibadah wakaf di Indonesia memperoleh perhatian khusus dari pemerintah. Aturan terbaru yang mengatur wakaf di Indonesia adalah UU No. 41 Tahun 2004, yang diteruskan dengan PP No. 42 Th. 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Th. 2004.
Bagaimanapun juga, ketika harta sudah diwakafkan, harta itu bukan lagi milik pribadi, melainkan jadi milik sosial. Karena itu, pengelolaannya harus diperhatikan dengan serius untuk kemaslahatan masyarakat.
Mengenai pengelolaan harta wakaf, Firman Muntaqo menuliskan beberapa masalah wakaf di Indonesia di Jurnal Al-Ahkam. Di sini, saya menambahkan beberapa solusi atas masalah yang dijabarkan Firman tersebut.
Pertama, kurangnya sosialisasi wakaf. Kurangnya sosialisasi ini juga berkaitan dengan pernyataan Presiden Jokowi dan Sri Mulyani bahwa literasi syariah di Indonesia hanya berkisar 16,2 persen.
Jika dikaitkan dengan ibadah wakaf, maka terdapat pengetahuan syariah yang harus diketahui oleh pihak-pihak yang melakukan wakaf, misalnya syarat-syarat wakaf, rukun, jenis, serta aturan dalam perundang-undangannya.
Masalah yang kerap terjadi di lapangan, misalnya berkaitan dengan ikrar dan saksi wakaf, serta legalitas harta yang diwakafkan. Sebagai contoh, pada tanah wakaf yang belum disertifikasi kadang kala masih bisa digugat oleh keluarga atau ahli waris.
Oleh karena itu, selain pentingnya saksi saat ikrar wakaf, kalau perlu, dibuatkan berita acara sebagai pengingat atas wakaf tersebut. Kemudian, harta yang diwakafkan perlu diajukan sertifikasinya untuk mencegah gugatan dari pihak-pihak tertentu.
Kedua, kurangnya komitmen nazir dan pengelolaan wakaf yang belum terstruktur rapi. Lewat sambutannya, Presiden Jokowi juga menyinggung mengenai lemahnya tata kelola wakaf di Indonesia.
Jokowi menyebutkan bahwa potensi aset wakaf per tahun tercatat bahkan mencapai Rp2 ribu triliun, sedangkan potensi wakaf uang menembus angka Rp188 triliun. Namun di lapangan, tidak jarang ditemukan harta wakaf yang tidak dikelola secara profesional, atau bahkan terlantar.
Ada kalanya, pengelolaan harta wakaf bergantung pada zakat, sedekah, atau hibah dari masyarakat. Lebih miris lagi, ada nazir yang menyalahgunakan harta wakaf, atau tidak menjaga wakaf tersebut.
Lemahnya pengelolaan nazir individu bisa disiasati dengan pendirian nazir lembaga. Lembaga itu dapat bertujuan untuk melatih para calon nazir, hingga lembaga yang secara profesional melakukan pengelolaan harta wakaf.
Sejak 2007, sudah didirikan institusi Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang melatih nazir untuk mengelola harta wakaf serta mengatur manajemennya. Namun, berdasarkan penelitian Vembrina Ferini dan Evony Silvino Violita dari Universitas Indonesia, banyak nazir yang tak patuh atau melanggar tata kelola dari BWI, namun nazir itu tak dikeluarkan atau dicabut izinnya.
Terakhir, untuk menaikkan partisipasi masyarakat dalam berwakaf, perlu adanya inovasi dalam penyampaian literasi syariah. Inovasi ini dapat berupa penyampaian informasi yang interaktif, terutama menggunakan internet, aplikasi daring, hingga media sosial.
Hingga kini, generasi milenial adalah jumlah pewakaf dominan di Indonesia. Imam T. Saptono, ketua BWI menyatakan bahwa kalangan milenial (usia 24-35 tahun) mendominasi profil donatur sebesar 48 persen. Perolehan tersebut jauh lebih besar jika dibandingkan Generasi X (35 persen) dan Baby Boomer, serta Pre-Boomer (11 persen).
Melihat ketertarikan generasi milenial pada ibadah sosial ini, badan wakaf perlu memudahkan fasilitas berwakaf, misalnya melalui platform aplikasi digital hingga menggunakan uang elektronik.