Baru-baru ini, kekecewaan mahasiswa tentang proses perkuliahan atau belajar daring yang tidak optimal terlihat tersebar di banyak platform digital. Mereka mengeluhkan jumlah tugas perkuliahan daring yang ‘terlalu’ banyak namun minim―atau bahkan tidak ada―feedback dari pengajar. Di samping itu, masalah uang kuliah apakah harus dibayarkan/dikompensasi pun juga menjadi poin utama yang mereka garis-bawahi mengingat latar belakang ekonomi orang tua mereka yang bervariasi.
Namun disrupsi akibat pandemi ini membuka dua tabir kenyataan pendidikan: pertama, tidak semua elemen pendidikan (baik itu dari kalangan pengajar, mahasiswa dan platform manajerial) siap dengan revolusi pembelajaran daring. Kedua, betapa pendidikan kita sangat bertumpu pada proses formal dibanding proses non-formal.
Ketidaksiapan Revolusi Pembelajaran Daring
Masalah ini disebabkan oleh faktor sumber daya manusia dan faktor kondisi infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang bervariasi di berbagai daerah. Kesenjangan karakter generasi antara dosen dan mahasiswa bukan penentu utama mahir atau tidaknya seorang dosen/mahasiswa menggunakan teknologi.
Mahir atau tidaknya seseorang ditentukan oleh seberapa besar paparan teknologi yang bisa diakses olehnya. Tingkat paparan ini kerap bergantung―khususnya―pada daya beli seseorang terhadap teknologi. Oleh karena itu, variasi paparan yang dialami tiap-tiap individu menjelaskan kenapa ada fenomena ‘seorang dosen senior yang tidak gagap teknologi,’ ‘ada mahasiswa yang gagap teknologi,’ dan sebaliknya.
Lebih jauh, dampak adanya variasi kemampuan penggunaan teknologi juga turut diperbesar oleh disparitas kondisi infrastruktur TIK antara Indonesia bagian barat (khususnya area kota-kota urban) dan Indonesia bagian timur (area terdalam, terluar dan terpinggir). Oleh sebab itu, ada sebagian mahasiswa asal luar Jawa yang berkuliah di Jawa perlu berdarah-darah mengakses pendidikan berbasis daring. Dan kadang tidak sedikit juga di antara mereka yang perlu berbesar hati karena harus terisolasi dari pendidikan.
Namun masalah ini tidak berhenti sebatas pada persoalan gagap atau tidaknya SDM pendidikan kita, atau sebatas pada persoalan kesenjangan infrastruktur TIK. Di samping itu, di tataran mahasiswa, Balu Athereya dan Christalla Mouza dalam bukunya Thinking Skills for the Digital Generation (2017) melaporkan mereka yang tidak gagap teknologi belum tentu memiliki kemampuan yang memadai menggunakan teknologi untuk menunjang kebutuhan belajar mereka.
Di satu sisi, ketersediaan akses teknologi dan intensitas online usia remaja dan usia dewasa muda memang tinggi. Tapi di lain sisi, kemampuan manajemen pencarian informasi, yang meliputi proses pemetaan, seleksi, penjelajahan, formulasi, dan pengumpulan sumber, masih belum cukup memadai di sebagian kalangan mahasiswa.
Sehingga, meskipun mereka tidak gagap teknologi, tapi tidak sedikit diantara mereka yang: masih terbata-bata dalam mencari dan mengolah informasi; masih mudah terpecah konsentrasinya karena watak dinamis ruang digital; dan masih berpengaruhnya godaan copy-paste dalam mengerjakan tugas.
Beratnya Tumpuan pada Pendidikan Formal
Dengan terparalisisnya proses pendidikan kita karena pandemi, apakah mahasiswa-mahasiswa yang ‘dirumahkan’ benar-benar belajar?
Jika berkaca dari arus media sosial (sebagai platform diskursif utama anak muda), sebagian besar dari mereka mengeluhkan minimnya―atau bahkan tidak ada―ilmu yang dikucurkan oleh pengajar mereka semasa proses pembelajaran daring.
Keluhan itu menggambarkan satu hal, bahwa: sebagian mahasiswa masih bergantung pada proses pembelajaran formal. Ketergantungan terhadap pendidikan formal adalah pucuk gunung es dari kepercayaan tentang pendidikan sebagai saluran investasi. Hal ini kerap diikuti oleh semangat mencari ilmu untuk mendapatkan pekerjaan modern, bukan untuk membangun peradaban.
Di lain sisi, tidak dipungkiri juga bahwa ditengah situasi yang tidak menentu ini, kontrol terhadap keseimbangan hak dan kewajiban antara mahasiswa dan pengajar memang perlu diperkuat untuk memitigasi ketidak-seimbangan. Namun hal ini tidak berimbang dengan ketergantungan terhadap proses pembelajaran formal di tengah situasi pandemi yang ternyata memberikan jeda kemajuan intelektual.
Selain karena tidak dilatar-belakangi oleh rasa ingin tau, jeda ini juga dipengaruhi beberapa faktor, misalnya: tingginya distraksi lingkungan rumah terhadap proses pembelajaran daring, godaan ajakan main teman sekitar rumah, dan beban gunjingan dari orang sekitar rumah. Pun, kemampuan literasi informasi yang kurang memadai yang sebagaimana telah dibahas sebelumnya juga berperan besar atas terjadinya jeda ini.
Jika Bertumpu pada Proses Non-Formal
Konteks proses non-formal dalam tulisan ini tidak merujuk pada bimbel, les, ataupun pesantren. Sebaliknya, proses non-formal itu merujuk pada proses ketika seseorang mampu memenuhi kebutuhan intelektualnya dan minim ketergantungan terhadap faktor eksternal seperti sekolah ataupun pembelajaran satu arah lainnya.
Artinya, ia mumpuni dalam memetakan, menentukan dan mengolah topik yang disenanginya untuk memenuhi kebutuhannya dalam membangun pertanyaan, gagasan dan keunikannya yang jika dibicarakan dengan orang lain akan menghasilkan resonansi baru. Dengan demikian, tiap-tiap individu adalah penggerak peradaban, dan masing-masing dari mereka tidak kehilangan keunikannya masing-masing.
Kuliah pada dasarnya adalah ruang kultivasi peradaban. Karena pada satu sisi, kuliah adalah wadah untuk bertukar/menguji gagasan, mencari mentor yang konstruktif, berkawan dan dan berdinamika. Namun di lain sisi, hal-hal tersebut sering kali justru masih menjadi kemewahan di tengah iklim pendidikan negara berkembang yang sulit lepas dari arahan orientasi industri ataupun sub-ideologi tertentu. Pada akhirnya, tidak sulit untuk menemukan pemandangan proses pendidikan berbasis doktrin, satu arah dan menjunjung falasi ad auctoritatis.
Masalahnya, pemanfaatan kuliah sebagai wadah untuk mengasah diri juga menjadi tidak optimal karena adanya pengkerdilan rasa ingin tau di masa sekolahnya lalu yang terwarisi hingga ke jenjang kuliah. Semangat penjelajahan akhirnya sulit tumbuh, dan rawan tergantikan oleh semangat ‘belajar sebagai formalitas.’
Di tengah situasi pandemi, proses kuliah sebagai wahana mengasah diri dipaksa tereduksi menjadi proses yang sangat minimalis, dan di beberapa kesempatan kerap tergelincir sebatas menjadi ritual formal penyampaian pengetahuan satu arah yang minim insight. Implikasinya, kekecewaan dan disorientasi sering kali membuntuti sikap ketergantungan pada pola belajar formalistik.
Jika bertumpu pada proses non-formal, keluasan bentang waktu yang tersedia di masa pandemi ini adalah berkah untuk memperluas peta, menentukan dan mengolah apa yang dianggap penting bagi isu yang digemari lebih dalam. Namun ketelatenan ini sulit terwujud jika tanpa rasa ingin tau.
Dalam bingkai proses pendidikan formal, kebutuhan terhadap belajar terbangun lewat aturan yang mengikat; lewat konstruksi sosial tentang relasi pendidikan dan pendapatan kerja; lewat ilusi jumlah hormat yang akan didapat dari gelar yang disandang, bukan lewat rasa ingin tau. Resikonya, proses belajar rawan tergelincir menjadi proses yang membohongi diri sendiri karena karakter dan keunikan tiap-tiap individu terseragamkan.
Dalam bingkai proses non-formal, rasa ingin tau adalah modal utama. Kedisiplinan dalam menelaah akan terbentuk dengan sendirinya karena didesak oleh rasa haus yang menggrogoti. Kondisi ini akan memberikan ritme. Orang pada akhirnya akan dirundung konsistensi dalam belajar karena merasa butuh untuk tetap aktual; untuk mengobati ketakutan akan pengambilan prejudis yang tergesa-gesa; untuk memastikan bahwa ia benar-benar memahami kemana dan bagaimana dunia ini bergerak. Belajar akhirnya menjadi proses yang tulus dan tidak mengingkari keunikan diri.
Adanya internet tentu memberikan angin kebebasan informasi yang luar biasa. Sekarang, siapapun bisa mengakses apapun (buku, kuliah umum/serial, jurnal, komentar, artikel dan laporan) kapanpun, di mana pun dan sebagian besarnya gratis. Peran rasa ingin tau di tengah keluangan waktu pandemi adalah memotori bagaimana sumber daya internet dimanfaatkan menjadi ritme yang konsisten, terukur dan terarah bagi kebutuhan belajar seseorang.
Kor awal opera La Traviata milik Giuseppe Verdi bilang, “giocammo da flora. E giocando quell’ora volar.” Kami bermain di taman bunga, dan dengan bermain, waktu berlalu. Ada banyak laporan tentang seberapa banyak kita menghabiskan waktu di media sosial. Tapi entah apakah ada laporan tentang seberapa lama kita menggunakan internet untuk belajar. Belajar butuh waktu luang. Namun kenyataannya, waktu luang tidak membutuhkan belajar, dan sering kali berakhir pada hiburan.