Menakar Klaim “Habib” atas Pangeran Diponegoro dan Tokoh Sejarah Lainnya

Menakar Klaim “Habib” atas Pangeran Diponegoro dan Tokoh Sejarah Lainnya

Katanya, Pangeran Diponegoro yang asli adalah seorang habib. Sedangkan Pangeran Diponegoro yang ditangkap terus diasingkan ke Makassar itu bukan yang asli. Hanya orang tertentu saja yang mengetahui bahwa Pangeran Diponegoro yang asli berada di mana.

Menakar Klaim “Habib” atas Pangeran Diponegoro dan Tokoh Sejarah Lainnya
Foto: Koleksi Rijks Museum, Lukisan Penangkapan Diponegoro (The Arrest of Diepo Negoro by Lieutenant-General Baron De Kock, Nicolaas Pieneman, c. 1830 – c. 1835)

Pangeran Diponegoro, sang tokoh utama Perang Jawa 1825-1830, bukan habib. Ia adalah putra Sultan Hamengkubuwono III dari garwa ampeyan (selir) bernama Bendara Raden Ayu Mangkorowati. Catatan sahih ini tercantum di dalam Serat Raja Putra, sebuah buku resmi yang mencatat semua istri, anak-anak, hingga menantu Sultan Hamengkubuwana I – IX (Mandoyokusumo 1988, 21).

Buku tersebut menjadi panduan untuk memastikan kebenaran jika ada yang mengatakan bahwa si A adalah menantu Sultan HB I, menantu Sultan HB II, menantu Sultan HB III. Akan ketahuan apakah itu benar atau salah. Kalau ada tercatat, maka itu benar. Kalau tidak ada tercatat, maka itu salah. Segampang itu.

Sekira lima belas tahun lalu, saya telah pernah mendengar klaim yang menyebut bahwa Pangeran Diponegoro adalah seorang habib bermarga Bafaqih. Waktu itu kehadiran media sosial belum sederas hari ini. Saya juga belum mengetahui sejarah Pangeran Diponegoro selain bahwa ia pernah berperang melawan penjajah. Khas pengetahuan masa kanak.

Enam tahun kemudian, untuk kali kedua, saya mendengar dan mendapat kiriman tautan dari sebuah blog dan foto yang berisi klaim kehabiban Pangeran Diponegoro lagi. Hanya saja, di kali kedua itu, marganya bukan Bafaqih, tapi Bin Yahya.

Sekira setahunan lalu, saya kembali mendapatkan kiriman tautan berita berisi klaim kehabiban yang sama. Setelah mengecek tautan itu, ternyata sang Pangeran tidak bermarga Bin Yahya maupun Bafaqih, melainkan Baabud. Baru sekira tiga pekan lalu, saya malah mendapati artikel berformat PDF yang cukup panjang dan berisi klaim atas kehabiban Pangeran Diponegoro. Bedanya, di kali yang entah keberapa itu Pangeran Diponegoro disebut bukan bermarga Bin Yahya, Baabud, dan Bafaqih, melainkan Alaydrus. Saya dan sejumlah teman telah menyimpan artikel PDF tanpa nama penulis itu (bisa diunduh di sini)

“Jadi, Diponegoro itu bukan habib, ya?”, “silsilah Diponegoro yang benar itu berarti orang kraton, ya?”, “Loh, kemarin itu ada tokoh ulama terkenal yang bilang bahwa Diponegoro itu kakeknya..”, begitu kata para komentator via inbox di akun Facebook saya. 

Mereka menanggapi status Facebook saya beberapa waktu lalu yang berisi uraian serta kritik saya tentang klaim kehabiban Pangeran Diponegoro. Beberapa kawan malah ada yang mengirimkan jepretan layar (screen shot) atas komentar sejumlah akun Facebook yang menyebut bahwa Pangeran Diponegoro adalah seorang habib bermarga Assegaf dan Bin Yahya.

Klaim Kesejarahan Spekulatif 

Sampai sejauh ini, Pangeran Diponegoro adalah tokoh yang paling banyak diklaim sebagai seorang habib dari berbagai marga. “Lucu, mengklaim tapi kok ngasih marganya nggak kompak”, kata sedulur saya, Rino. 

Sedangkan sedulur saya yang lain, Roni, yang dikenal sebagai penelusur jejak-jejak Pangeran Diponegoro sejak lama, malah mengatakan bahwa baiknya para pengklaim kehabiban Pangeran Diponegoro ini dikumpulkan menjadi satu di sebuah ruangan. Boleh terbuka, boleh tertutup. Lalu mereka diminta untuk bermusyawarah dan memutuskan berdasarkan data valid bahwa “sebenarnya Pangeran Diponegoro itu habib dari marga apa?”

Selain Pangeran Diponegoro, makam-makam yang dikaitkan dengan identitas “guru spiritual Pangeran Diponegoro” juga cukup laris diklaim dan dimunculkan. Padahal, sebelumnya masyarakat menyebut bahwa makam tersebut adalah pepunden atau leluhur cikal-bakal wilayah mereka. 

Dari sisi ekonomi, klaim dan pemunculan makam-makam baru atas nama ”guru spiritual Pangeran Diponegoro” ini mungkin cukup menjanjikan. Begitu pula dari sisi spiritual. Jelas klaim itu dapat mendongkrak kharisma dan nama baik juru klaim.

Di antara banyak klaim kehabiban Pangeran Diponegoro itu, ada pula klaim lain. Di antaranya adalah klaim bahwa makam asli Pangeran Diponegoro bukan di Makassar, akan tetapi di Jawa. 

Ada lagi yang menyebut bahwa sosok Pangeran Diponegoro itu ada dua belas orang. Katanya, Pangeran Diponegoro yang asli adalah seorang habib. Sedangkan Pangeran Diponegoro yang ditangkap terus diasingkan ke Makassar itu bukan yang asli. Hanya orang tertentu saja yang mengetahui bahwa Pangeran Diponegoro yang asli berada di mana.

Lucunya, ketika para pengklaim itu ditanya dasar klaimnya apa, jawabannya malah seringkali berbunyi seperti ini: “belum saatnya dibuka…!”. Sebuah jawaban yang sama pernah saya dapatkan langsung dari seseorang yang menyebut bahwa salah-satu tokoh sejarah Kerajaan Mataram Islam adalah seorang habib dari marga tertentu. 

Argumen “belum saatnya dibuka” ini amat lucu. Sejarah dan makamnya telah diklaim, namun, mengapa disebut belum saatnya dibuka? Bila boleh menganalogikan, sikap itu seperti seorang lelaki yang telah menghamili pacarnya. Lalu ketika orangtua si pacar meminta pertanggungjawaban agar anaknya segera dinikahi, si lelaki malah mengatakan: “belum saatnya..!”

Irisan Kultur Supranatural

Di luar itu, memang, sejauh ini kami sering menemukan sejarah dan makam-makam pendahulu peradaban nusantara yang diklaim sebagai habib bermarga tertentu. Seperti telah dijelaskan di atas, anehnya klaim kehabiban itu sering tidak seragam. 

Sering pula kami mendapat bahan diskusi dari para pegiat sejarah di luar Jawa perihal kecenderungan banyak kalangan untuk menyematkan gelar ”Syekh”, ”Sayyid”, dan ”Orang Kraton” untuk makam-makam yang awalnya tidak memiliki identitas.

Apakah para pengklaim kehabiban Pangeran Diponegoro dan klaim-klaim sejarah serta makam tokoh tertentu itu hanya dari kalangan habaib atau kaum Baalwi saja? 

Tidak! Sebab ada banyak pula kalangan non-Baalwi yang mengklaim sejarah dan makam tokoh tertentu sebagai ”habib, syekh, sayyid, dan orang kraton”. 

Rata-rata mereka memiliki latar belakang kultur supranatural. Jika tidak, mereka berlatar-belakang kultur spiritualitas yang beririsan dengan kultur supranatural. Tidak sedikit pula di antara mereka yang merupakan tokoh penting di kalangan organisasi rohani (tarekat) tertentu.

Belakangan, sekira 10 tahun ini, muncul klaim lain tentang sejarah Pangeran Diponegoro sebagai seorang jihadis yang bekerjasama dengan tentara Turki. Klaim ini meruang-publik seiring massifikasi wacana bahwa kerajaan Islam di nusantara, khususnya Kerajaan Demak, adalah “negara bawahan” khilafah Turki Ustmani. 

Klaim ini sebenarnya telah diwacanakan di dalam ilmu sejarah sejak sekira 20 tahun lalu. Baru pada 2020 lalu ia mencuat luas di media sosial bersama dengan massifikasi publikasi film dokumenter Jejak Khilafah di Nusantara (JKDN).

Kalangan para pengklaim khilafah turkiyah dapat disebut kalangan kedua. Mereka berbeda kultur dengan kalangan pertama, yaitu para pengklaim kehabiban Pangeran Diponegoro dan para pengklaim sejarah serta tokoh nusantara lainnya. 

Kalangan pertama berasal dari kultur spiritualitas dan supranaturalitas. Sedangkan kalangan kedua berasal dari kultur keislaman berbasis gerakan dakwah populer, gerakan hijrah, dan berlatar-belakang kultur Ikhwanul Muslimin ala Hasan Al-Banna dan Hizbut Tahrir. Melalui ceramah para ustadz populer mereka di YouTube, gerakan ini berupaya untuk menarasikan sejarah Islam di Nusantara dalam perspektif “jihadis dan islamis”.

Asumsi “Jangan Percaya Londo!”

Sepemahaman pembacaan saya bersama rekan-rekan pegiat sejarah dan kebudayaan, para pengklaim kalangan pertama, meski berasal dari kelompok berbeda, namun, dipertemukan oleh satu kesamaan: bahwa dasar dari klaim itu adalah sumber sejarah “yang belum saatnya dibuka”, sumber sejarah invalid, serta seringkali hanya hasil penerawangan gaib. 

Jika si pengklaim adalah seorang tokoh, maka massa atau pengikut sang tokoh ini secara massif akan mewacanakan bahwa tokoh yang bersangkutan memiliki dasar atau sumber literasi yang sahih. Meski demikian, tidak sekalipun “kesahihan” data sang tokoh dibuka ke ruang publik. Padahal klaimnya telah meluas didengar dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.

Lebih unik lagi, ketika klaim yang telah meluas di YouTube dan berbagai platform media sosial itu dibantah, massa tokoh ini merasa bahwa tokoh mereka telah diperlakukan secara tidak beradab. 

Padahal, kritik atau bantahan terhadap sang tokoh yang disampaikan melalui media sosial itu adalah perlakuan yang adil dan seimbang untuknya. Klaimnya telah meluas. Sehingga harus dibantah secara meluas pula. 

Apa yang disuarakan oleh Kelompok A di YouTube, maka jangan marah dan merasa terganggu ketika Kelompok B membantahnya di YouTube. Bukankah itu adil?

Untuk menutup, saya akan sedikit bercerita tentang Peter Carey, peneliti sejarah Pangeran Diponegoro selama sekira 40 tahun lebih. Peter Carey berkebangsaan Inggris. Hasil karya ilmiahnya sudah diterbitkan dalam bentuk buku berbahasa Inggris pada tahun 2007. 

Pada 2012, karya itu telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebanyak 3 jilid. Hingga hari ini buku itu telah dicetak ulang. Edisi bajakan buku itu juga gampang ditemukan di pasar online.

Setiap kali ada pencetakan ulang, Peter Carey selalu memperbaiki buku terjemahan itu. Ada banyak koreksi yang ia terima. Terutama dari para kolega, keturunan Pangeran Diponegoro, dan juga dari masyarakat luas. Baik koreksi terjemahan, updating data sahih terbaru, hingga jika ditemukan typo atau keselipan satu-dua huruf. Pada 2024 ini kabarnya buku itu akan dicetak-terbitkan lagi dengan berbagai revisi berdasarkan temuan-temuan data terbaru.

Saya membaca buku-buku Peter Carey. Ada beberapa kritik dari saya yang saya sampaikan langsung melalui tulisan kepadanya. Ada yang ia bantah. Ada pula yang ia terima dengan berbagai catatan ketat. 

Teman saya yang ahli bahasa Inggris juga pernah menyampaikan koreksi atas penerjemahan satu-dua kata di bukunya. Peter Carey menerima koreksi dari teman saya itu. Ia lantas menghubungi penerbit bukunya untuk memasukkan koreksi terjemahan yang dikirim oleh teman saya itu.

Lalu tiba-tiba para pengklaim kehabiban dan klaim sejarah Pangeran Diponegoro mengatakan: “jangan percaya sejarah yang dibuat wong londo..!!”, 

“awas, londo ki urik…, sejarah awake dewe dimanipulasi…!”, 

“ada pemalsuan dan pembelokan sejarah leluhur nusantara yang ditulis oleh londo…”, dan banyak ucapan-ucapan lain semisalnya. 

Anehnya, mereka justru melempem ketika ditanya: “jika ada contoh sejarah kita yang dimanipulasi oleh wong londo.. bisa coba disebutkan?”, “ada contoh sejarah yang dibelokkan?”, “adakah data baik berupa manuskrip atau setidaknya cerita lisan valid yang menunjukkan Diponegoro itu ada 12 orang?”

Asumsi untuk tidak percaya wong londo ini bagian yang sangat bermasalah. Saya kira boleh saja berkata atau meyakini bahwa Pangeran Diponegoro itu adalah seorang habib. Silakan pula menarasikan bahwa sejarah tokoh nusantara lainnya yang asli bukan seperti yang tercatat di dalam buku-buku sejarah selama ini. Tapi, selama ini klaim atau keyakinan itu hanya meruap bersama angin belaka. Mengapa? Karena para pengklaim tidak mempublikasikan karya ilmiah tandingan bagi “sejarah versi londo” itu.

Jangankan karya ilmiah tandingan, lhawong karya yang cuma manaqib (ingat, manaqib bukan sejarah), namun telah diumumkan di media sosial seperti YouTube atau Facebook saja justru bertentangan dengan sejarah bangsa-negara. 

Lebih aneh lagi ternyata manaqib itu tidak sama sekali merujuk pada data primer berupa manuskrip atau naskah babad maupun serat yang menjadi data primer dalam penulisan sejarah sang tokoh. Padahal sang tokoh seringnya disebut sebagai orang penting di isntitusi kerajaan tertentu.

Apakah mendatangkan tandingan berupa karya ilmiah atau ”hal yang sepadan dengan karya ilmiah” itu harus? 

Mari mendengarkan perintah al-Quran di dalam Surat al-Baqarah ayat 23: wa in kuntum di raibin mimma nazzalna ‘ala abdina fa’tu bisuratin min mitslihi wad’u syuhadaakum min dunillah in kuntum shadiqin (apabila engkau semua ragu dengan apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami, maka buatlah satu surat yang semisal dengannya, ajaklah para penolongmu selain Allah bila engkau semua memang termasuk golongan yang benar..).

Ayat ini kurang lebih bercerita tentang orang-orang yang meragukan wahyu Al-Quran kepada Nabi Muhammad SAW. Lalu Allah SWT menantang mereka untuk membuat satu surat saja sebagai tandingan atas satu surat di dalam Al-Quran. 

Apa hubungan ayat ini dengan keharusan membuat karya ilmiah tandingan? 

Saya mengambil pelajaran dari ayat tersebut. Spirit atau ruh ayat ini terlampau benderang. Jika seseorang atau satu golongan meragukan kebenaran sesuatu yang telah tersurat, maka hendaklah ia membantah kebenaran sesuatu yang telah tersurat itu dengan mendatangkan sesuatu yang tersurat sebagai tandingan. Jika tidak, maka nihil.

Mari menjaga dan menyelamatkan sejarah dan kebudayaan kita!

Wallahu a’lam.