Membaca adalah memahami rangkaian makna, bukan sekedar mengeja bahan pustaka. Artinya, pandai membaca adalah proses yang terus dipelajari, jauh sesudah kita bisa menggabungkan suku kata yang berarti. Karenanya, pembaca jagoan adalah yang terus mengusahakan pengenalan lingkungan, bukan sekedar melafalkan tulisan.
Belajar membaca tidak sederhana. Dimulai dari bayi yang membaca emosi diri dan mengobservasi apa yang terjadi. Anak yang membedakan kanan dan kiri, mengeksplorasi bunyi dan pengalaman lain yang kadang tidak disadari, tapi sebenarnya bagian dari persiapan literasi dini. Berada di lingkungan yang kaya tulisan, seperti papan pengumuman atau koran di meja makan cukup untuk menunjukkan ke anak tentang pentingnya peraturan dan membuatnya mengenal pesan. Namun tidak ada yang lebih berkesan daripada orang dewasa dan teman sebaya yang meneladankan kegemaran bertukaran pikiran setelah menikmati bacaan. Karena dengan terlibat percakapan, anak belajar mendengarkan dan membuktikan kekuatan gagasan.
Cita-cita agar literasi bisa membumi di negeri ini terasa hanya sekedar janji. Selama ini proses pendidikan menumbuhkan kegemaran membaca dengan sangat terbatas, menghafal lagu tentang vokal dan konsonan, kadang kala ditakuti ujian masuk sekolah dasar. Saat anak belum menguasai mekanik membaca, semua pemangku kepentingan “bekerjasama” membuatnya cepat bisa menamatkan buku.
Guru PAUD khawatir dilabel tidak kompeten, orangtua ingin pamer anak pintar pada tetangga, toko buku bahkan tempat les membaca menyediakan sebanyak-banyaknya pilihan untuk anak usia dini. “Konspirasi” bertolakbelakang terjadi saat anak sudah “bisa” membaca. Tugas bacaan di buku pegangan makin tidak relevan, semangat orangtua membacakan cerita tidak lagi jadi prioritas, bahkan penerbit dan pengarang buku pun tidak tertarik berusaha karena anggaran membeli bacaan terkalahkan biaya jajan atau permainan.
Tidak heran hasil tes internasional menunjukkan walau anak Indonesia cukup mampu bersaing di pengukuran kemampuan dasar membaca usia dini, saat diukur beberapa tahun kemudian kita terus turun peringkat karena gagal memahami bacaan atau mengevaluasi informasi berkualitas. Tidak perlu tercengang, saat rasio antara warga dan perpustakaan kita cukup tinggi, pengunjung rutin bangunannya sering bisa dihitung jari. Dalam literasi kita seringkali mudah puas dengan pencapaian tujuan jangka pendek.
Sulit untuk bisa mengharapkan ada perubahan signifikan bila propaganda pemerintah 72 tahun setelah kemerdekaan masih sekedar kesuksesan pemberantasan buta huruf. Tantangan masyarakat masa kini dan masa depan sudah banyak disuarakan, di Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan, kami yakin satu hal yang perlu reformasi segera adalah melek literasi. Banyak keprihatinan betapa publik mudah terhasut, banyak kecemasan akan kemampuan generasi muda mengambil pilihan. Membaca bisa jadi kunci perubahan, karena motivasi utama pembaca adalah sikap ingin tahu, lawan utamanya adalah sikap sok tahu.
Dalam pendidikan kita, kemampuan mempertanyakan belum dibiasakan. Kadang sedih melihat banyaknya latihan menghafalkan buku sebagai dalih pembenaran tapi sedikitnya kesempatan mendiskusikannya untuk menggali kebenaran. Dalam pendidikan kita, kesukaan pada buku disepakati sebagai ciri orang berilmu. Kadang geli saat mendengar membaca jadi hobi, tapi perilaku yang ditampilkan menunjukkan hanya kosakatanya yang beragam, tanpa bukti keterbukaan pada kebhinekaan pandangan.
Pendidikan membaca bukan sekedar cerita yang penting buat masyarakat di atas kertas. Mari mulai mendidik untuk membaca buku dengan aktif, bukan sekedar aktif membaca buku. Kita perlu terus jatuh cinta pada bacaan, karena sesungguhnya kemerdekaan di setiap halamannya adalah kesempatan melakukan perubahan sepanjang hayat.
*) Najelaa Shihab; Pendidik.