Terdapat beberapa hal penting yang dapat kita petik dari wawancara Remotivi dengan Savic Alieha, direktur NU Online, terkait fenomena media Islam radikal di internet. Pertama, mengapa media Islam radikal di internet tampak kuat dan besar adalah karena mereka berbasis di kota dan cukup melek teknologi. Sehingga mereka lebih dulu eksis di internet daripada kelompok moderat. Padahal secara jumlah mereka tidak banyak. Namun, karena lebih awal muncul dan menguasai teknologi, mereka seolah-oleh sangat besar dan mempunyai gerakan masif.
Kedua, media Islam radikal gemar bermain di isu-isu kontroversial. Jika diperhatikan, mereka cukup getol menggarap isu seputar LGBT, pemimpin non-muslim, Syiah, valentine, ucapan selamat natal dan sejenisnya. Tujuannya, menyentuh sisi sensitif pembaca, baik yang pro maupun kontra, dan kemudian mendulang klik. Jumlah pembaca mereka bisa naik sangat signifikan jika mengangkat tema-tema itu. Apalagi jika mereka menggunakan judul yang vulgar, agresif dan provokatif.
Ketiga, media Islam radikal kerap mengusung semangat mengimpor konflik. Cara berpikir mereka seolah-olah Islam sedang dikepung, dimusuhi, dibusukkan dari dalam. Hal tersebut membuat mereka selalu reaksioner dan ofensif terhadap kelompok lain. Sekadar contoh, beberapa media Islam radikal memiliki kanal khusus untuk berita-berita Timur Tengah. Sejumlah berita tentang konflik yang terjadi di sana mereka beritakan dengan porsi cukup besar. Seakan ingin memantik perhatian dan empati muslim di Indonesia.
Tak jarang mereka memosikan Amerika dan Israel sebagai musuh besar yang juga harus dimusuhi umat Islam di Indonesia. Masalah yang timbul, muslim di Indonesia yang “tak ada urusan” dengan mereka yang di Timur Tengah juga ikut memusuhi “lawan-lawan Islam”, hadir kebencian buta, bahkan terhadap non-muslim.
Poin-poin yang disampaikan Savic Alieha tentu meresahkan kita. Di tengah negara yang majemuk dan menjunjung tinggi kebhinekaan, media-media Islam radikal terus menerus merongrong. Bahkan, menurut Savic, militasi mereka dalam mengelola media Islam radikal tidak didasari motif ekonomi, tapi ideologi. Jika karena motif ekonomi, mereka bisa berhenti mengelola media jika ada tawaran pekerjaan yang lebih besar gajinya, namun jika berbasis ideologi, seumpama bahan bakar bakar, ia menjadi bahan bakar yang nyaris tak bisa habis.
Lantas apa yang mesti dilakukan untuk membendung arus media Islam radikal yang kian deras? Sebgaimana dikatakan Savic Alieha, kelompok moderat juga harus turun gelanggang masuk dunia digital. Mereka mesti membangun banyak portal atau situsweb dengan pesan-pesan yang lebih ramah. Namun, selain dalam jumlah yang banyak, media Islam moderat juga harus dikelola dengan baik dan konsisten. Mulai dalam hal memilih konten, merancang tampilan laman hingga penyerbarluasan konten.
Sebagai tambahan, selain fokus ke dunia siber, kelompok moderat sebetulnya perlu sedikit menengok ranah offline. Terdapat kelompok yang hingga saat ini begitu tekun merawat pembaca offline, dengan “senjata” buletin Jumat. Buletin terbitan mereka nyaris bisa didapati di masjid-masjid besar sejumlah kota besar di Indonesia. Setiap masjid mendapat buletin dalam eksemplar yang tak sedikit. Sayangnya, buletin Jumat itu diterbitkan oleh organisasi yang anti Pancasila.
Tidak ada yang salah dengan penyebarluasan gagasan. Hanya saja, kelompok Islam moderat perlu memberi perimbangan di wilayah ini, sebagai langkah “jemput bola”.[]
Zakky Zulhazmi adalah penulis dan peneliti. Tinggal di Yogyakarta.