Suatu kisah di pinggir pantai berjalan seorang ibu Yahudi sambil menggandeng anak perempuannya. Di tengah asyiknya menyisir pantai, gelombang ombak yang besar menarik anak perempuannya ke tengah laut hingga dia tak mampu diselamatkan. Tenggelam. Si ibu histeris, dan mendongak ke langit sembari berdoa pada Tuhan:
“Tuhan, anak perempuan yang telah ditelan ombak ini adalah satu-satunya keturunanku. Aku sangat menyayanginya, Tuhanku. Kembalikanlah dia, dan aku berjanji akan rajin beribadah kepada-Mu sejak saat itu.”
Tuhan mendengar doanya. Seketika ombak berhamburan ke pantai dan mengembalikan anak perempuannya hidup-hidup. Si Ibu pun kembali mendongak ke langit untuk kedua kalinya:
“Tuhan, mana topinya? Kenapa tak Kau kembalikan sekalian?!”
Apa hikmah yang dapat diambil dari kisah di atas? Kepada Tuhan, kita diperkenankan untuk kikir dalam meminta-minta! Dalam Islam pun sama; jangan eman-eman jika sedang memanjatkan doa. Berdoalah sering-sering, kalau bisa sekalian yang banyak dan detail.
Di dalam shalat pun kita diperbolehkan berdoa, bahkan dalam urusan dunia. Seperti Anda berdoa: Ya Allah, berilah Pak Jokowi rejeki tubuh yang gemuk (tapi kudu berbahasa Arab, ya). Dan praktis tidak membatalkan shalat (lihat: Kitab Al-Majmu’). Imam Ahmad ibn Hanbal, pendiri Madzhab Hanbali, bahkan mengaku: tidaklah aku shalat sejak 40 tahun ini kecuali mendoakan Imam Syafi’i.
Jadi ketika Tifatul Sembiring mendoakan Jokowi agar badan ringkihnya digemukkan sedikit oleh Allah pada sidang tahunan MPR, sebenarnya tidak ada yang salah. Tifatul tahu betul bahwa Jokowi begitu kurus karena mengurus lebih dari 200 juta jiwa penduduk Indonesia itu menyita banyak waktu istirahatnya. Karena “tekad beliau dalam membangun bangsa dan negara ini tetap membaja…. setiap hari pasti capai dan lelah, limpahilah beliau dengan kesehatan dan kekuatan dalam menjalankan tugasnya“.
Segenap tumpah darah netijen Indonesia mem-bully si pendoa. Sidang tahunan MPR, menurut mereka, adalah acara kenegaraan yang seharusnya menjadi ajang serius, formal, dan protokoler. Bukan tempat untuk membuat candaan guyon tidak berkelas, bahkan parahnya di dalam doa.
Jika berdoa urusan dunia di dalam shalat saja tidak masalah, padahal di hadapan dia adalah Allah Yang Maha Pencipta, apa yang menjadi keberatan berdoa urusan dunia di sebuah sidang manusia? Di depan Tifatul Sembiring adalah manusia-manusia fana, yang banyak dosa dan kesalahan. Jika mengingat dosa Anda, lihatlah Yesus. Dia harus “capai-capai” turun ke dunia dalam bentuk manusia untuk menebus dosa kalian semua!
Kepada mereka yang tidak bisa guyon ini, ada baiknya diceritakan kisah Mbah Bisri Mustofa (ayahanda Gus Mus) saat meminta berkah Mbah Hamid Pasuruan. Di ruang tamu, Mbah Bisri mengutarakan hajatnya:
“Nda, kamu kan tahu sendiri kalau aku ini seorang muballigh.”
“Hmm…”
“Lha, kebetulan aku ini nDak punya mobil,” tambah Mbah Bisri, “jika terus-terusan kesana-kemari naik bus, bisa jatuh wibawaku.”
“Terus, maksudmu gimana, Nda?” tagih Mbah Hamid.
“Gini, karena Sampeyan itu lebih dekat pada Allah, tolonglah Sampeyan mintakan satu mobil saja untukku.”
Mbah Hamid tersenyum, dan mengajak seluruh tamu untuk menegadahkan tangan:
“Ala niyyati Kiai Bisri Mustofa, alfaaaaaatihah!”
Seluruh tamu berdoa, mengamini titah Mbah Hamid. Begitu si peminta doa rampung membaca Al-Fatihah, beliau langsung menyerobot Mbah Hamid:
“Merek mobilnya apa, Nda?”
Biar elegan mem-bully Tifatul, sebenarnya bukan karena dia berdoa “semoga Jokowi gemuk” di sidang tahunan MPR. Tapi karena dia berkelit dengan cara yang ketus, seperti jawabannya pada Pastor Gilbert, membuatnya lebih terjerumus dalam bulan-bulanan.
Harapan saya adalah kritik ciamik seperti ini: dalam sidang tahunan MPR, apakah umat non-muslim diperbolehkan untuk memimpin doa, jadi biar Tifatul yang menyesuaikan?