Menghina makhluk Tuhan, sama seperti menghina penciptanya (Gus Dur).
Saya masih fair ketika ada orang atau siapa itu yang mengkritik orang lain tentang pemikiran atau pemahamannya, boleh-boleh saja. Tapi kalau sudah menghina secara fisik yang sifatnya given kodrati itu sama sekali sudah menghina Tuhan sebagai penciptanya.
Puncaknya beragama itu adalah Suluk atau Ihsan yang sering kita pahami sebagai nilai dan moral tentang perilaku hidup, dalam bahasa Islamnya adalah Akhlak. Sebagaimana tugas Muhammad diutus untuk menyempurnakan akhlak.
Dalam segi bahasa secara logis Khalqan dan Khuluqan itu dari kata yang sama yaitu Khalaqa, dari kata Khalaqa juga muncul kata Khaliq dan Makhluq. Pada dasarnya bentuk fisik manusia itu adalah Khalqan, namun dimensi moralnya adalah Khuluqan (akhlak).
Dari lafal Khalaqa ada istilah sinonim kata yang sama namun dalam pemaknaan dan pemakaiannya berbeda dalam bahasa Arab yaitu kata Ja’ala, ini sudah jadi perdebatan klasik kalangan ulama Ahli Bahasa. Saya tidak ingin terlalu banyak membahas lafal Ja’ala, saya akan membahas secara substantif lafal Khalaqa.
Khalaqa mempunyai makna menciptakan “sebuah kata kerja” bentuk fi’il madli. Khalaqa bermakna membuat atau menciptakan melalui proses yang tidak dapat diganggu gugat dalam arti ini adalah hak prerogatif Allah. Misal, rupa Ustadz Abdul Shomad lebih ganteng dari pada Hamish Daud Willie, itu sudah menjadi hak prerogatif Allah tidak bisa diganggu gugat.
Berbeda dengan kata Ja’ala yang maknanya “membuat” dengan ada proses campur tangan manusia seperti Dedi Mulyadi menciptakan/membuat patung Sribaduga di Jawa Barat itu makna lafal Ja’ala ada penyertaan pekerjaan-pekerjaan makhluk yang turut dilibatkan. Alhasil menghina makhluk sama halnya menghina penciptanya.
Hari ini umat Islam disibukkan dengan pro-kontra masalah yang menurut saya tidak terlalu prinsipil dan tak terlalu subtantif, yaitu masalah Jilbab, Hijab, Tiung, Kerudung apa lah itu namanya. Perdebatan klasik pula yang muncul di lini masa ini, banyak ulama yang ikhtilaf masalah aurat dan batas-batasnya. Ada Ulama mengatakan yang bukan aurat wanita itu hanya mata dan telapak tangan, ada juga yang mengatakan wajah dan telapak tangan, ada pula yang mengatakan yang penting memakai pakaian terhormat saja.
Wah itu sangat banyak sekali perbedaan penafsiran. Bagi saya sah-sah saja mau pakai tafsir yang mana, semuanya bermuara pada sumber yang sama kok.
Perempuan seperti Teh Rina Nose, saya sangat mengagumi pencarian atau ikhtiar beliau tentang mencari kebenaran dan perbedaan pandangan. Jadi ada sebuah proses mencari keyakinan dengan ilmu pengetahuan, dan ini dibenarkan kok dalam Islam, sah-sah saja. Jelas sekali, Uutul ‘Ilma Darajaaat (Yang mempunyai ilmu dinaikkan derajatnya).
Yang saya sayangkan sosok figur Ustadz Abdul Shomad yang sering kali saya share video-videonya di berbagai medsos saya, hari ini saya kurang sreg sama pernyataan beliau tentang Rina Nose. Harusnya sebagai Ulama dan juga publik figur tak usah mencela atau mencaci (Istihja’) terhadap orang lain, apalagi menghina fisik yang sifatnya kodrati pemberian Tuhan. Ulama atau penceramah (Mubaligh) harus mampu mencerahkan bukan mengolok-olok, mengajak bukan mengejek, menyejukkan bukan memojokkan, menyampaikan Rahmah bukan amarah, tegas ada porsinya keras juga ada batasnya.
Menghina dengan mengatakan “Rina Nose berhidung pesek, dan artis jelek” itu sangat menyakitkan dan menyayat hati. Meskipun secara pribadi Rina Nose merespon statement Ustadz Abdul Shomad dengan segala kerendahan hatinya, Rina Nose mengatakan; “Saya tidak sampai hati mengatakan hal buruk kepada orang lain”, bisa jadi yang mulia di sisi Allah itu adalah Rina Nose daripada Ustadz Abdul Shomad.
https://www.instagram.com/p/Bbo5wVdjdXe/?taken-by=rinanose16
Saya agaknya lebih bermanfaat berkomentar ini daripada berkomentar masalah Setya Novanto, lagi-lagi ini problem bagi masyarakat pecandu agama tanpa didasari akhlak. Teringat sebuah syair klasik karya seorang ulama yang sering dihafal para santri di pondok pesantren, dan dikutip Buya Hamka dalam buku Tasawuf Modern:
Laa Ta’jabanna Minal Khathiibi Khuthbatan # Hattaa Yaruuma Fie al-Fa’aali Badiilan
Inna al-Kalaama Lafii Fu’aadi Wa Innamaa # Ja’ala al-Lisaanu ‘Ala Fu’aadi Daliilan
Jangan terperdaya oleh seorang Ahli Pidato (Retoris) lantaran orasinya (Retorikanya), sebelum kelihatan bukti pada perbuatannya.
Karena perkataan itu sumbernya ialah hati, lidah (lisan) hanya dijadikan sebagai tanda dari hati.
Dalam Syair ini Ulama menggunakan kata Ja’ala al-Lisan, jadi ada proses perbuatan atau pekerjaan manusia dari lisannya, dan lisan adalah cerminan hati. Saya tidak bisa mengatakan hati yang menghina Rina Nose itu dia busuk, tapi tanyakan saja pada diri masing-masing.
Wallahu A’lamu Bil Showab.