Pandangan Prabowo yang meyakini si vis pacem para bellum adalah wajar. Makna kata itu adalah Jika kau mendambakan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi perang. Prabowo tumbuh dalam angkatan bersenjata yang mengedepankan pandangan perang semesta. Dalam perang seperti itu, yang bertarung adalah negara lawan negara. Semua lawan semua. Bellum omnium contra omnes, dalam bahasa Hobbes.
Perang semacam itu bisa berhenti apabila semua angkatan perang setiap negara memiliki kekuatan yang setara. Atau setidaknya tidak berbeda jauh. Karena, dengan begitu setiap negara akan saling berhitung kekuatan dan pada akhirnya memilih gencatan senjata ketika menyadari kerusakan bisa sama besarnya bagi mereka jika perang terjadi. Ini terjadi selama perang dingin. Ketika dua blok tercipta, tidak ada lagi perang terbuka.
Maka, menambah kekuatan perang bagi sebuah negara menjadi penting untuk dua hal: menjaga dari ancaman dan berkontribusi terhadap langgengnya perdamaian.
Yang luput dari Prabowo, adalah tidak memperhitungkan faktor-faktor penyebab perang. Kenyataannya, hampir setiap perang terjadi karena faktor ekonomi, hasrat kuasa dan keyakinan (agama, ideologi, dll). Sementara, penyetaraan angkatan perang hanya mampu meredam hasrat kuasa. Itulah mengapa di masa perang dingin terjadi perang proxy sebagai penyaluran negara-negara untuk dapat tetap mencapai kepentingan ekonomi dan ideologinya tanpa perang terbuka.
Oleh karena itu, menciptakan perdamaian tidak pernah cukup dengan menyiapkan perang yang bagi Prabowo praktiknya adalah menguatkan angkatan perang. Sebaliknya, harus dengan menguatkan ekonomi dan meyakini ideologi perdamaian yang bisa dicapai melalui kerja sama ekonomi dan kerja sama antar negara.
Untuk melakukannya Indonesia harus mengesampingkan kecurigaan pada negara lain sekaligus tetap waspada. Tapi, ini susah. Karena, curiga dan waspada sangat tipis bedanya. Mengencangkan jargon anti nekolim pada negara Barat adalah sikap curiga. Membuat peraturan yang tidak memberi jalan mulus eksploitasi berlebihan sumber daya ekonomi dalam negeri oleh negara lain, seperti menetapkan quota barrier, tariff barrier, dan industrial policy yang jelas, adalah kewaspadaan.
Sementara, yang lebih banyak dilakukan tokoh politik kita adalah lantang teriak anti nekolim, tapi memberi jalan mulus kepada negara lain mengeksploitasi sumber daya ekonomi dalam negeri demi kompensasi pribadi dan golongannya serta alasan lainnya. Dari debat-debat yang sudah berlangsung, Prabowo dan Jokowi punya kecenderungan sama.
Jadi, bisa dikatakan, keyakinan Prabowo pada si vis pacem para bellum semata mengindikasikan dirinya belum beranjak dari jati dirinya sebagai tentara. Barangkali ia memang sengaja menegaskannya untuk menarik suara bekas-bekas TNI atau keluarga TNI. Karena debat pilpres memang lebih lekat fungsinya sebagai panggung kampanye ketimbang adu gagasa.