Isu Islamofobia di Indonesia sedang ramai dibicarakan pasca deklarasi melawan Islamofobia oleh Gerakan Nasional Anti Islamofobia (GNAI) yang dihelat pada Jum’at 15 Juli 2022 lalu. Banyak publik menilai bahwa deklarasi tersebut sarat akan unsur politis, yang mana isu keagamaan dimainkan untuk kepentingan politik praktis.
Penilaian tersebut bukan tanpa alasan. Anggapan Islamofobia ada di Indonesia, bahkan pemerintah dianggap membiarkannya berkembang, sangat kontras dengan keadaan umat Islam di Indonesia. Lalu, atas dasar apa anggapan tersebut muncul?
Islamofobia merupakan ketakutan atau kecurigaan tanpa dasar yang berlebihan kepada Islam, yang kemudian dapat menjurus kepada kebencian, diskriminasi, hingga kekerasan kepada orang muslim. Dalam skala global, tidak dapat disangkal bahwa memang Islamofobia masih eksis, meskipun angkanya telah jauh berkurang dibandingkan pada awal abad ke-21, khususnya pasca tragedi Serangan 9/11 di Amerika pada 2001 silam.
Namun, dalam skala Nasional, secara khusus di Indonesia, umat Islam terbukti masih bisa beribadah dengan leluasa, mengekspresikan keberagamaannya di ruang publik, dan berbagai kemudahan lainnya, yang mana hal tersebut sangat mencerminkan bahwa Islamofobia tidak ada di Indonesia. Mungkin beberapa contoh sebelumnya tidak akan memuaskan mereka. Oleh karena itu, kiranya perlu membahas beberapa poin tuntunan yang mereka ajukan sebagai langkah memerangi Islamofobia di Indonesia.
Pertama, poin kedua dalam tuntutan “agar pemerintah tidak menjadikan Islam dan umat Islam sebagai masalah atau lawan tetapi potensi dan mitra bagi pengembangan bangsa dan negara.” Pertanyaannya, sejak kapan pemerintah saat ini menjadikan Islam sebagai lawan? Padahal, pemerintah selalu melibatkan umat Islam dalam menyusun strategi maupun kebijakan, khususnya berkolaborasi dengan ormas Islam seperti Muhammadiyah dan NU. Tentu pertanyaan menarik selanjutnya adalah, umat Islam mana yang dimaksud oleh GNAI?
Kedua, tuntutan poin ketiga yang berbunyi “menuntut untuk menghentikan stigma radikal, intoleran dan anti kebhinekaan yang ditujukan pada umat Islam.” Kita semua harus jujur bahwa radikal dan intoleran bisa terjadi kepada siapapun, termasuk sebagian kecil muslim yang masih sering melakukan tindakan intoleran dan diskriminatif kepada saudara se-bangsa yang berbeda keyakinan. Sebagai contoh, di beberapa daerah kerap terjadi penolakan pendirian rumah ibadah selain masjid.
Sebut saja kasus yang terjadi di Cilegon, Banten. Umat Kristiani di Cilegon masih harus menempuh perjalanan berpuluh-puluh kilometer untuk dapat beribadah. Mereka harus menuju ke Serang, Banten, untuk dapat menemukan gereja, karena tidak ada satupun gereja di Cilegon. Keinginan ribuan umat Kristiani untuk mendirikan Gereja selalu terhalang oleh penolakan warga setempat yang notabene beragama Islam.
Demikian halnya dengan stigma radikal dan anti-kebihnekaan. Masih segar di ingatan saat beberapa waktu lalu, berlangsung konvoi motor yang bertujuan untuk mempromosikan ideologi khilafah. Jika hal-hal semacam itu terjadi, maka pemerintah tentu tidak akan berdiam diri. Seharusnya GNAI tidak menutup mata dari beberapa contoh tersebut. Atau, memang sengaja menutup mata hanya untuk memojokkan pemerintah dan ingin meraup simpati umat Islam?
Ketiga, tuntutan poin keempat yang berbunyi “menuntut agar jangan mengarahkan moderasi beragama pada makna sekularisasi, liberalisasi atau pengambangan nilai (plotisma).” Dari definisinya sendiri moderasi beragama sebenarnya sudah berada di tengah kutub-kutub ekstrem dalam beragama, dan tentunya berseberangan dengan liberalisme maupun radikalisme.
Memang, dalam memahami gagasan moderasi beragama diperlukan sikap beragama yang inklusif, bukan eksklusif. Namun, Inklusif dalam konsep moderasi beragama bukan berarti liberalisme. Dengan sikap inklusif, kita akan lebih mudah mencerna gagasan-gagasan segar sebagai hasil pemahaman yang baru atas ajaran agama. Sehingga, ajaran agama akan senantiasa relevan li kulli zaman wa makan.
Karena ketiga poin yang disebutkan di atas telah terbantahkan, maka poin pertama dan terakhir dalam tuntutan, yakni menuntut untuk menjadikan tanggal 15 Maret sebagai hari peringatan anti-Islamofobia (poin pertama) dan menerbitkan UU anti-Islamofobia (poin kelima), tidak perlu dibahas.
Hal lain yang tidak disebutkan dalam poin tuntutan, yang terkait dengan bentuk Islamofobia di Indonesia menurut GNAI, adalah kriminalisasi ulama dan aktivis Islam. Tentu kita sepakat bahwa siapapun yang melakukan tindakan kriminal secara hukum layak mendapatkan hukuman. Jika isu kriminalisasi ulama ini mengacu pada peristiwa ditahannya Habib Rizieq Shihab (HRS) dan Habib Bahar bin Smith, maka isu tersebut tentu bukan bagian dari kriminalisasi.
Dalam KBBI, yang dimaksud dengan kriminalisasi adalah proses yang memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat.
Sebagaimana diketahui, pada 2021, HRS dituntut 6 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), namun akhirnya hanya dijatuhi vonis 4 tahun penjara oleh Majelis Hakim PN Jakarta Timur pada Juni 2021. Ada tiga kasus yang diperkarakan, yaitu dua kasus kerumunan dan pelanggatan protokol Covid-19 di Petamburan dan Bogor, serta satu kasus penyampaian kabar bohong kasus swab Covid-19 di RS UMMI, Bogor. Pada November 2021, Mahkamah Agung (MA) memotong masa hukumannya menjadi hanya 2 tahun penjara, sebelum akhirnya dibebaskan secara bersyarat pada 20 Juli 2022.
Jika mereka mengatakan hukuman tersebut merupakan tindakan kriminalisasi ulama, maka hal itu salah besar. Sebut saja kasus pelanggaran protokol, yang dihukum tidak hanya HRS. Proses hukumnya pun jelas, bahkan diberikan keringanan hukuman. Seharusnya mereka tahu bahwa HRS pun manusia, berpotensi salah. Dan jika beliau melanggar hukum, ikuti prosedur yang berlaku, bukan malah menuduh pemerintah melakukan kriminalisasi ulama.
Siapapun yang melanggar hukum, jika jelas-jelas salah, maka ia harus dihukum. Tak peduli itu habaib, ulama, kiai, maupun presiden sekalipun. Nabi bahkan pernah menjelaskan, jika Fatimah, putrinya tercinta, Rasul sendiri yang akan menghukumnya.
لو أن فاطمة بنت محمد سرقت لقطعت يدها
Jika seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, maka aku (Nabi Muhammad) sendiri yang akan memotong tangannya.
Jika GNAI ingin melawan stigma radikal dan intoleran, seharusnya bukan dengan menyerang balik menggunakan stigma Islamofobia, melainkan dengan memperluas cakrawala. Karena, bukan malah mencairkan suasana, namun justru memperlihatkan wajah kalian yang sebenarnya. (AN)