Membandingkan Narasi “Pertobatan” Umar Patek dan Abu Bakar Baasyir

Membandingkan Narasi “Pertobatan” Umar Patek dan Abu Bakar Baasyir

Abu Bakar Baasyir dan Umar Patek pernah (atau masih) menjadi representasi dari tokoh Islam radikal di Indonesia. Nama besar keduanya tidak hanya bersirkulasi dalam konteks nasional saja, namun juga mendunia.

Membandingkan Narasi “Pertobatan” Umar Patek dan Abu Bakar Baasyir

Dalam dua tahun terakhir, dua terpidana kasus terorisme keluar dari rumah tahanan. Pertama adalah Abu Bakar Baasyir pada Januari 2021, kedua adalah Umar Patek pada Desember 2022. Baasyir divonis 15 tahun penjara karena terbukti memfasilitasi latihan teroris di Aceh. Sedangkan Umar Patek merupakan narapidana kasus bom bali I pada tahun 2002 dan divonis 20 tahun penjara.

Baasyir dan Umar Patek memiliki kesamaan. Keduanya pernah menjadi the most wanted people pemerintahan AS. Bahkan, seperti yang diberitakan Harian Kompas pada 8 Oktober 2005, pemerintah AS menjanjikan imbalan 1 juta dollar AS bagi siapa pun yang bisa memberi informasi keberadaan Umar Patek. Ia akhirnya ditangkap di Palestina pada tahun 2011 dan diekstradisi ke Indonesia pada 2012.

Per 7 Desember, Umar Patek sudah bisa menghirup udara bebas setelah mendapatkan program Kebebasan Bersyarat (PB) dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Ia kemudian berstatus bebas bersyarat dengan kewajiban mengikuti program bimbingan di Badan Pemasyarakatan (Bapas) Surabaya hingga April 2030.

Ada momen menarik ketika Selasa lalu (13/12), Umar Patek meminta maaf ke publik atas peristiwa Bom Bali I sembari menderai air mata. Dalam pernyataannya, ia menyesali perbuatannya dalam tragedi yang menewaskan ratusan orang tersebut. Tidak hanya meminta maaf, Umar Patek mengecam keras segala bentuk perilaku intoleran. Ia mengajak orang-orang yang radikal untuk bertobat dan kembali kepada NKRI.

Pola ini mirip dengan pernyataan Baasyir pasca keluar dari penjara tahun lalu. Agustus 2022 lalu, Baasyir mengakui bahwa Pancasila adalah dasar negara. Ia menjelaskan bahwa alasan ulama bersepakat soal ideologi Pancasila adalah karena Pancasila didasarkan pada tauhid, ketuhanan yang maha esa.

Secara tersurat, pernyataan Baasyir tersebut menunjukkan “pertobatan” dari radikalisme menuju nasionalisme. Namun, apakah memang benar demikian? Apakah Baasyir benar-benar meninggalkan dunia yang “membesarkan” namanya itu? Menurut saya tidak sesederhana itu.

Di bulan yang sama ketika Baasyir mengakui eksistensi Pancasila, Pondok Pesantren al-Mukmin Ngruki sedang mengadakan reuni akbar sekaligus memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia. Momen itu menandai pertama kalinya Sang Saka Merah Putih berkibar di area kompeks Pondok Ngruki.

Dalam satu rangkaian acara yang nampak nasionalis itu, Baasyir menyampaikan sambutannya. Sambutan itu yang membuat saya mengernyitkan dahi jika mendengar pengakuan Baasyir tentang Pancasila. Saya menemukan satu poin menarik terkait sambutan Ba’asyir. Beliau masih tegas membenturkan hukum buatan manusia dan hukum yang diturunkan Allah.

Ba’asyir, misalnya, mengatakan bahwa jika negara masih menggunakan hukum buatan manusia, yang saya yakin merujuk pada sistem demokrasi, maka moral masyarakatnya tidak akan pernah membaik. Sebaliknya, jika sebuah negara sudah mengimplementasikan hukum-hukum sesuai dengan syariat Allah, maka moral rakyatnya pasti akan terpuji. Melalui orasi beliau di podium reuni, saya menangkap pesan bahwa Ba’asyir nampak tetap berjuang untuk menegakkan syariat Islam di negeri ini. Ia memisahkan antara asas negara dan sistem pemerintahan. Artinya, ia tetap sepakat bahwa Pancasila menjadi landasan filosofis negara, namun sistem pemerintahannya harus diganti dengan yang diturunkan Allah, yang saya yakin merujuk pada sistem khilafah.

Gestur semacam ini bisa jadi muncul dalam diri Umar Patek pasca kebebasannya. Dalam bahasa lain, mungkin saja Umar Patek masih belum sepenuhnya meninggalkan ideologi Islam keras yang sudah lama dipahaminya. Namun ini hanya asumsi liar yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Mungkin Umar Patek memang benar-benar bertobat dan kembali kepada pangkuan NKRI.

Jika dilihat dari reputasinya dalam dunia terorisme, tentu Abu Bakar Baasyir memiliki pamor yang lebih besar daripada Umar Patek. Namun, Umar Patek tetap tidak bisa dianggap remeh. Ia merupakan guru dari Noordin M. Top, aktor teror besar di Indonesia di awal 2000-an dan masterplan di balik tragedi bom Bali 2002 dan 2005.

Berdasarkan dua narasi “pertobatan” tersebut, pernyataan Umar Patek terlihat lebih tegas dengan menyebut secara implisit larangan untuk berbuat teror. Seperti yang dikutip oleh CNN Indonesia, ia berjanji untuk membantu meredam paham-paham radikalisme, terorisme kepada napi teroris di lembaga pemasyarakatan. Ia menegaskan bahwa akan membantu pemerintah dalam penanggulangan dan menyadarkan orang-orang ataupun memberi pemahaman bahaya terorisme dan radikalisme dan menjadi duta perdamaian.

Meski narasi “pertobatan” keduanya berbeda, program deradikalisasi BNPT nampak cukup berhasil. Abu Bakar Baasyir dan Umar Patek pernah (atau masih) menjadi representasi dari tokoh Islam radikal di Indonesia. Nama besar keduanya tidak hanya bersirkulasi dalam konteks nasional saja, namun juga mendunia. Reputasi Umar Patek yang megah dalam dunia terorisme tersebut membuatnya disegani oleh berbagai kalangan di lingkungannya.

Saya yakin Umar Patek merupakan figur yang memahami Islam dengan baik. Ia hanya perlu mengkontekstualisasi pehamahamannya ke dalam realitas budaya Nusantara dan meninggalkan mindset tekstualis. Sebagai sosok yang mempunyai exposure cukup besar, insyafnya Umar Patek diharapkan bisa mempengaruhi para “mujahid” untuk menghentikan teror, dan memulai mencintai Indonesia.