Kalau kita pernah belajar filsafat komunikasi ada 3 pertanyaan paling elementer yang akan muncul. Pertama, what do i know? (Apa yang saya tahu). Berkomunikasi dengan apapun, baik itu dengan Tuhan, makhluk Tuhan, buku, aktivitas atau apapun yang ada di alam raya ini pertanyaan yang wajib muncul adalah what do i know? Apa yang saya tahu?
Pertanyaan yang kedua, what do you want to know? atau apa yang ingin Anda tahu? Dan pertanyaa-pertanyaan tadi ditutup dengan pertanyaan pamungkas yaitu, how do we know? atau bagaimana kita menjadi tahu. Nah, 3 pertanyaan ini menjadi sumber paling elementer sebelum kita masuk dalam meta komunikasi atau jantung komunikasi.
Sekarang anggap saja shalat adalah salah satu bentuk komunikasi seorang muslim dengan Tuhannya. Sudah barang tentu, jika kita menggunakan filsafat komunikasi sebagai alat tafsir dengan disertai pertanyaan-pertanyaan paling elementer tadi, dapat dipastikan bahwa shalat seharusnya dapat memperkuat relasi, dan memperkuat intelektualitas.
Sederhananya begini, setiap komunikasi hendaknya menambah, membuka, meretas jalan pola dzikir, pola fikir, pola sikap ke arah yang lebih baik. Jika tidak demikian maka ada yang salah dalam komunikasi kita atau dalam hal ini shalat kita.
Sekarang mari kita dialektikakan filsafat komunikasi dengan shalat. Rupa-rupanya shalat ini memiliki kekhususan, bagaimana tidak? Sebagaimana jamak diketahui, seluruh perintah agama diturunkan di bumi. Sementara untuk perintah shalat nabi langsung dipanggil ke langit, yang kemudian kita mengenalnya dengan peristiwa Isra’ Mi’raj.
Kalau kita menelaah lebih dalam lagi, ternyata di dalam shalat ini terhimpun rukun Islam. Syahadatain, sudah pasti dalam shalat kita mengucapkannya, selanjutnya adalah shalat itu sendiri. Kemudian puasa, dalam shalat kita harus menahan makan minum serta hawa nafsu. Zakat, arti zakat adalah suci di mana ketika kita shalat harus dalam keadaan suci baik lahir maupun batin. Kemudian yang terakhir adalah Haji, dalam haji ada bacaan talbiyah –labbaikallahumma labbaik– yang memiliki arti Ya Allah aku datang memenuhi panggilanmu. Sebagaimana dalam shalat sebenarnya kita sedang memenuhi panggilan Allah.
Luar biasa sekali shalat itu sebanarnya jika kita mampu mendialektikakan secara lebih dalam. Saking luar biasanya sampai-sampai ada pernyataan yang berbunyi “kalau anda memperbaiki shalat anda, maka sejatinya anda sedang memperbaiki seluruh hidup anda”. Sungguh luar biasa pernyataan ini, tapi bagaimana rasionalisasinya?
Rupa-rupanya begini, hidup kita ini sudah digambarkan seluruhnya dalam shalat. Mari kita mendialektikakannya dengan gerakan yang sifatnya universal dalam shalat. Pertama berdiri, jika kita membicarakan sudut matematis sikap berdiri dalam shalat membentuk sudut 1800.
Perhatikan dengan baik, saat berdiri kepala kita selalu ada di atas. Itu artinya Tuhan sedang memberi isyarat kepada kita bahwasannya dalam menjalani hidup harus memakai akal atau rasio; tidak boleh pakai dengkul. Dan rupa-rupanya kalau begitu hal ini sangat relevan dengan hadis nabi yang berbunyi “Ad dinu Huwa al-Aqlu wa man la dina lahu la aqla lahu”.
Arti dari hadis di atas: agama itu rasional, maka tidaklah beragama orang yang tidak menggunakan rasionya. Orang yang tidak menggunakan akal budinya, rasionalitasnya tidak wajib beragama. Shalat itu wajib, zakat itu wajib, syahadat itu wajib, puasa itu wajib, bahkan haji itu wajib bagi yang mampu melaksanakannya. Akan tetapi ada yang lebih wajib dalam berislam dari selain shalat, zakat, syahadat, puasa, dan haji yaitu berakal. Maka dari situ kita memahami bahwa berakal menjadi syarat paling elementer dalam menjalani perintah agama.
Dalam fikih sudah jamak kita ketahui bahwasannya selain Islam, syarat yang harus dipenuhi oleh seorang muslim dalam menjalankan ibadah, dan akad-akad yang lain haruslah berakal. Maka apabila seorang muslim itu akalnya sedang terganggu maka gugurlah sudah kewajibannya menjalankan perintah agama, dan muamalahnya tidak sah.
Kemudian kita beralih pada gerakan berikutnya yaitu rukuk. Sudut matematis dalam rukuk membentuk sudut dengan besaran 900. Dalam keadaan ini posisi kepala dan dada itu seimbang sejajar. Bisa dikatakan antara intelektualitas/rasio dan spiritualitas itu seimbang sejajar.
Lalu, apa hikmahnya? Hikmahnya adalah dalam menjalani hidup tidak cukup menggunakan akal/rasio saja. Kita juga harus menggunakan spiritualitas.
Mengapa begitu?
Rupa-rupanya, manusia itu hanya bisa berencana dan Tuhanlah yang menentukan. Perencanaan manusia itu diibaratkan intelektualitas. Oleh karena itu pasti kita pernah mengalami apa yang kita rencanakan gagal, sementara disisi yang lain ada hal-hal yang sma sekali tidak direncanakan malah membuahkan hasil. Artinya hidup ini pada satu sisi serba terencana di sisi lain serba penuh kejutan/keajaiban.
Yang selanjutnya kita akan mendialektikakan komunikasi Tuhan pada hambanya melalui gerakan sujud. Posisi sujud ini membentuk sudut matematis 450 pada posisi ini kepala tersungkur. Artinya pada posisi ini akal/rasio tunduk setunduk-tunduknya kepada Allah. Bahkan mohon maaf pada posisi ini pantat serta kemaluan letaknya lebih tinggi dari kepala. Ini menunjukkan kepatuhan totalitas seorang hamba kepada Tuhannya tanpa ada keangkuhan sama sekali.
Setelah kita lakukan dialektika komunikasi dengan shalat, ternyata kita mendapati dalam satu rakaat saja kita mendapati sudut matematis sebesar 3600 yang terdiri dari 1800 saat posisi berdiri, 900 saat posisi rukuk, 450x 2 atau 900 karena kita melakukan 2 kali sujud dalam satu rakaat. Artinya kehidupan seorang hamba adakalanya pakai rasio/intelektualitas, adakalanya intelektualitas dan spiritualitas harus seimbang; dan adakalanya sama sekali tidak memakai rasio melainkan dengan kepatuhan secara total.
Wallahu A’lam.