Kenapa Kita Diperintahkan Shalat? Menemukan Makna Hidup dalam Shalat

Kenapa Kita Diperintahkan Shalat? Menemukan Makna Hidup dalam Shalat

Shalat akan membawa dampak yang baik jika shalat dimaknai sebagai kebutuhan bukan kewajiban semata.

Kenapa Kita Diperintahkan Shalat? Menemukan Makna Hidup dalam Shalat

Islam tak hanya sebagai agama dalam wujud keyakinan, wujudnya pun berbau pesan akhlak (al Islam huwa al akhlaak). Nilai akhlak itu kerap digambarkan dalam bentuk ubudiyyah (bentuk penghambaan) pada setiap kewajiban. Sebut misalnya shalat. Dalam tradisi fiqih, shalat dimaknai ibadah yang disertai gerakan dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Tapi jika diselami mengapa ada gerakan, bacaan atau doa di dalam setiap shalat, justru disitulah akan menemukan betapa Islam mengangungkan akhlak.

Misalnya Allah tegaskan pada QS al ‘Ankabut 45: Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Itu berarti dengan cara mendirikan shalat, ikhtiar seseorang untuk memperbaiki diri dan jauh dari perbuatan keji. Maka sholat tak ubahnya obat yang menyembuhkan penyakit. Pertanyaannya? bukankah juga banyak orang yang rajin shalat, berjamaah pula hingga jidatnya pun hitam, tapi  mulutnya tak terkontrol untuk mencaci dan memaki orang lain, egonya makin tinggi bahkan pikirannya ia gunakan menipu orang lain?

Kenyataan ini dijawab sendiri oleh Allah pada QS al-Ma’un 4-5, “Celakalah orang yang mendirikan sholat yaitu mereka yang lalai dalam shalatnya”. Bisa jadi seseorang sementara sujud dalam shalatnya, tapi ia tak menyadari Tuhan sujudnya itu justru yang membuat dia celaka, tak berarti apa apa di mata Allah. Mengapa bisa demikian? Imam al Maraghi dalam tafsirnya (Tafsiru al-Qur’an al Karim) mengungkapkan (aiy fa ‘adzaabun liman yuaddi al sholata bi jismihi wa lisaanihi min gairin an yakuuna lahaa atsarun fii nafsih, lianna qalbahu gaafilun ‘amma yaquuluhu al lisaan). Singkatnya orang yang mendirikan shalat tapi tak memberi dampak berarti bagi dirinya, ia shalat tapi hatinya lalai apa yang diucapkan dalam shalatnya.

Misalnya ia tegas mengucapkan Allahu Akbar dalam shalatnya, betapa Maha Besarnya Allah, tapi ia sering menganggap diri lebih hebat dari orang lain, merasa dirinya jago dan paling benar. Ia lupa dalam gerakan shalatnya ketika ia sujud, saat sujud kaki sebagai tempat paling rendah sejajar dengan tangan, lutut bahkan kepala. Kepala sebagai simbol harga diri dan kehormatan manusia lalu sejajar dengan kaki.

Itu sebabnya, orang yang baik shalatnya, dalam hidupnya ia tak akan membanggakan apapun dihadapan manusia, tak ada sekecil apapun kesombongan yang melekat dalam dirinya. Sebab kesombongan cara memperlihatkan diri sebagai orang yang lemah, Lihatlah Fir’aun ditenggelamkan Allah atas kesombongannya, kesombongan atas kekuasaannya,  kerajaannya, bahkan menganggap dirinya Tuhan. Apakah kekuasaan dan jabatannya bisa menolongnya? Jawabnya tidak.

Dalam shalat pun, sebelum mengakhirinya dengan menengok kekanan dan kekiri lalu mengucapkan salam yang berarti keselamatan. Pertanda shalat itu mengajarkan damai, keselamatan dan ketenangan. Maka shalat yang baik, ia tak akan membuat kebencian dengan sesamanya, ia tak akan membuat dan menganggap orang lain musuhnya, karena shalatnya membentuk ia menjadi orang yang menebar salam (keselamatan).

Di sisi lain shalat juga titik temu harapan dan kepasrahan. Di mana setiap manusia memiliki harapan dalam hidup, harapan itu hanya bisa ditebak tapi tak bisa dipastikan. Maka muncullah kepasrahan. Misalnya dalam shalat ihdinaa al shiraathal mustaqiim (tunjukilah kami ke jalan yang lurus), manusia bermohon kepada Allah untuk ditunjuki ke jalan yg benar dan lurus. Kenapa? bisa jadi, hidup kita sehari-hari terlalu dikuasai oleh nafsu, dikuasai oleh syetan jalannya kian tak jelas.

Dalam shalat pun manusia memasrahkan diri, bukankah doa iftitah kita baca inna shalaatii wa nusukii wa mahyaayaa wa mamaatii lillaahi rabbil aalamiin (ya Allah shalatku, pengabdian, hidup dan matiku, karena kita tidak tahu kapan meninggal, dan di lokasi mana dan dalam keadaan apa sehingga semuanya kepada Allah).

Karenanya, shalat akan membawa dampak yang baik jika shalat dimaknai sebagai kebutuhan bukan kewajiban semata. Sebab, jika sebatas kewajiban, maka ia hanya akan datang ke mesjid atau shalat di rumah yang penting kewajiban ditunaikan. Akan tetapi, jika shalat dijadikan kebutuhan, di situlah akan menghayati, memperbaiki dan memahami setiap gerakan shalat. Ingatlah ketika  sedih, menangis, berduka, ditimpa musibah, lalu berdoa dan datang kepada Allah pasti akan khusyu, sungguh-sungguh untuk berdoa, kenapa? Karena kita sedang butuh Allah, hendaknya shalat juga demikian.