Membaca Konflik Nabi Ibrahim dan “Ayahnya”, Azar

Membaca Konflik Nabi Ibrahim dan “Ayahnya”, Azar

Membaca Konflik Nabi Ibrahim dan “Ayahnya”, Azar

Sikap intoleran terhadap orang yang berbeda keyakinan seringkali menyulut timbulnya konflik antar agama. Hasil penelitian Setara Institute menunjukkan, sepanjang 2018 lalu terdapat 202 pelanggaran tindakan kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) di Indonesia. Pelanggaran KBB ini dipicu oleh menyebarnya paham-paham konservatif dan sikap tidak menghargai perbedaan keyakinan. (Hasil penelitian dapat dilihat di laman web Setara Institute, Setara Institut: Ada 202 Pelanggaran Kebebasan Beragama Selama 2018, diakses 31 Maret 2019).

Dalam konteks Indonesia, keragaman keyakinan adalah suatu hal yang niscaya, mengingat negara ini adalah negara plural yang menjamin hak kebebasan beragama setiap rakyatnya. Dalam lingkup yang lebih kecil, perbedaan keyakinan juga terjadi dalam internal keluarga yang notabene merupakan kelompok terkecil dalam hierarkis masyarakat Indonesia.

Dengan mendulang inspirasi dari kisah Nabi Ibrahim As dan “ayahnya”, tulisan ini akan mengulas bagaimana menyikapi perbedaan keyakinan dalam bingkai relasi anak dan orang tua. Tujuannya agar dapat dipetik pelajaran, sehingga kerahmatan Islam yang mewujud sebuah titik temu antara semangat dakwah dan toleransi itu dapat tersemai dengan baik sejak lapisan paling dasar dari sebuah masyarakat, yaitu keluarga.

Seperti diketahui, konon, Nabi Ibrahim adalah putra dari Azar, seorang penyembah berhala, bahkan ia adalah salah satu pembuat berhala. (Beberapa riwayat menyebut bahwa hubungan Ibrahim dengan Azar bukan sebagai ayah biologis, tetapi keponakan atau pengasuh).

Ibn katsir dalam kitabnya, Tafsir al- Qur’an al-Karim, menyebutkan bahwa “Azar” adalah nama sebuah berhala. Namun karena ayah Nabi Ibrahim As menyembah berhala bernama Azar itu, ia kemudian dipanggil dengan nama Azar tersebut. (Lihat Abu Al-Fida’ Ibnu Katsir, Tafsir Al- Qur’an Al-Karim, Jilid III, hlm 288).

Sebagai seorang nabi dan rasul, Nabi Ibrahim dituntut untuk menyampaikan misi kerasulannya, yaitu menyeru umat untuk masuk dalam agama yang dibawanya, tak terkecuali keluarganya sendiri. Di sinilah dilema itu muncul karena Nabi Ibrahim As. harus berhadapan dengan ayahnya yang berbeda keyakinan dengannya.

Melihat ayahnya menyembah berhala, Nabi Ibrahim As. juga tentu mempunyai tanggung jawab untuk mengajak ayahnya masuk ke dalam agama yang dibawanya itu. Nabi Ibrahim As. khawatir ketika ayahnya masih berada dalam keyakinan menyembah berhala akan dikenai azab dan siksa dari Allah Swt.. Nabi Ibrahim As. berkali-kali merayu ayahnya agar meninggalkan keyakinannya dan mengikuti agama yang dibawa Nabi Ibrahim As.. Peristiwa ini terekam jelas dalam firman Allah Swt dalam al-Qur’an Surah Maryam Ayat 45-47:

“Duhai ayahku tercinta! Aku sungguh khawatir engkau akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pengasih, sehingga engkau menjadi teman bagi setan (45). Dia (ayahnya) berkata: “apakah engkau benci kepada tuhan-tuhanku, wahai Ibrahim? Jika engkau tidak berhenti, pasti engkau akan kurajam dan tinggalkanlah aku untuk waktu yang lama (46). Dia (Nabi Ibrahim As.) berkata: “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memohonkan ampunan untukmu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Allah Swt sangat baik kepadaku (47)”. (QS. Maryam [19] : 45-47).

Namun demikian, Nabi Ibrahim As. tidak mendapatkan respon yang baik dari ayahnya. Ia malah memperoleh penolakan yang keras, bahkan ia diancam akan dirajam (dilempari dengan batu hingga mati). Akan tetapi, Nabi Ibrahim As. tetap mendoakan keselamatan untuk ayahnya dan memohonkan ampunan kepada Allah Swt.. Dalam ayat di atas, ketika Nabi Ibrahim As. diancam akan dirajam, dengan akhlaknya yang mulia, ia malah mendoakan ayahnya: “semoga keselamatan selalu terlimpahkan kepadamu. Aku akan memohonkan ampunan untukmu kepada Tuhanku”.

Menurut ar-Razi, setidaknya ada tiga alasan yang melatarbelakangi Nabi Ibrahim As. tetap berlaku lemah lembut kepada ayahnya. (Lihat Fakhruddin Ar- Razi, Mafatih Al-Ghaib; At-Tafsir Al-Kabir, Jilid 21, hlm. 545).

Pertama, kewajibannya sebagai anak untuk selalu berbuat baik dan berbakti kepada orang tuanya. Mengajak kepada Agama Islam merupakan tindakan berbakti paling agung kepada orang tua. Ketika ajakan kepada Islam itu disertai dengan menjaga tatakrama dan perilaku kasih sayang, serta disampaikan dengan lemah lembut, maka ia telah melakukan kebaikan di atas kebaikan, atau dalam bahasa ar- Razi, nur ‘ala nur.

Kedua, menunjukkan jalan kepada agama haruslah disampaikan dengan kata-kata yang lemah lembut dan penuh kasih sayang. Sebab mengajak dengan cara kekerasan akan menjadi penyebab orang yang diajak malah enggan dengan ajakan itu, alih-alih menerimanya. Dengan demikian, apa yang dilakukan Nabi Ibrahim As. itu sebenarnya adalah bentuk strategi dalam berdakwah.

Ketiga, posisi Nabi Ibrahim As. sebagai kekasih Allah Swt. menuntutnya untuk berperilaku baik walaupun kepada non-muslim terlebih kepada orang tuanya, sebagaimana diungkap dalam Hadis berikut:

Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw. bersabda: Allah Swt. berfirman kepada Nabi Ibrahim As.: engkau adalah kekasih-Ku. Berperilakulah dengan baik walaupun kepada orang-orang kafir, maka engkau akan masuk dalam kalangan orang-orang yang baik. Kata-kata-Ku dapat melampaui orang-orang yang baik akhlaknya. Aku akan memberi naungan kepadanya di bawah ‘arsy-Ku, Aku akan menempatkan ia dalam surga-Ku, dan Aku akan mendekatkan ia dalam perlindungan-Ku”.

Tiga poin yang telah disampaikan ar-Razi di atas menggambarkan betapa mulianya akhlak Nabi Ibrahim As. dalam menghadapi orang tuanya yang berbeda keyakinan dengannya. Ia telah menunaikan kewajibannya sebagai seorang rasul juga sebagai seorang anak secara proporsional: menyeru kepada Islam sekaligus menunaikan kewajibannya sebagai seorang anak untuk selalu berbakti dan bersikap lemah lembut kepada orang tuanya.

Sebagaimana telah maklum, berbakti kepada orang tua adalah norma yang sangat dijunjung tinggi dalam ajaran Islam. Hal itu bisa dirujuk dalam firman Allah Swt. dalam surah al-Isra’ ayat 23:

Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “Ah!”, dan janganlah engkau membentak keduanya dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.” (QS. Al-Isra’[74] : 23).

Berdasarkan ayat ini, Ibnu ‘Asyur dalam kitabnya, at-Tahrir Wa at-Tanwir, menyebut bahwa berbakti kepada orang tua merupakan pondasi kedua dalam ajaran Islam setelah kewajiban menghamba kepada Tuhan. Artinya setelah kita dituntut untuk menghamba kepada Sang Pencipta, kita diperintahkan untuk berbakti kepada kedua orang tua sebab merekalah yang menjadi perantara adanya kita di dunia. Itulah mengapa dalam ayat di atas perintah berbakti kepada orang tua disandingkan dengan perintah menghamba kepada Tuhan. (Lihat Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur, At-Tahrir Wa At-Tanwir, Jilid 15, hlm. 67 dan 68).

Dalam konteks berbakti kepada orang tua yang beda agama, batasannya juga jelas. Seorang anak dituntut patuh dan taat kepada orang tuanya, sekalipun non-muslim, selama orang tua itu tidak mengajak sang anak untuk mengikuti agamanya. Prinsip ini secara eksplisit dapat dibaca dalam firman Allah Swt. QS. Luqman ayat 14-15.

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada- Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu (14). Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepadaku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu lakukan (15)”. (QS. Luqman [31] : 14-15).

Ayat ini juga secara tegas melarang seorang anak untuk patuh kepada kedua orang tua apabila keduanya memerintah untuk menyekutukan Allah Swt. Kendati demikian, sebagai seorang anak, ia tetap diperintahkan untuk berlaku baik kepada orang tua di dunia sebagaimana dalam petikan ayat di atas,“pergaulilah mereka berdua dengan baik di dunia”.

Akhiran, strategi dakwah yang diteladankan oleh Nabi Ibrahim As. dalam menghadapi ayahnya yang berbeda keyakinan adalah sintesa antara semangat dakwah dan nilai-nilai toleransi beragama. Bahwa kewajiban berdakwah tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai kasih sayang, lemat lembut, dan seterusnya. Dakwah pun tidak bisa dijadikan legitimasi untuk menafikan kewajiban-kewajiban seseorang terhadap orang lain, lebih-lebih terhadap orang tua sendiri. Di sinilah Islam tampil dalam wajahnya yang sejati. Alih-alih sebagai agama yang egois, ia adalah agama yang humanis, agama yang mencintai manusia.