Akhir-akhir ini isu poligami kembali muncul ke permukaan setelah seorang ustadz memperkenalkan istri ketiganya ke tengah publik. Hal ini menjadi objek pro-kontra di kalangan khalayak.
Selain itu, beberapa kajian tentang ayat al-Quran terkait isu poligami juga semakin banyak. Karena al-Quran sering kali dijadikan legitimasi karena memuat ayat tentang poligami di dalamnya.
Dari dulu hingga sekarang, kajian terkait ayat-ayat poligami memang selalu berulang. Hal ini mengingat fenomena poligami yang sering kali terjadi dan tak pernah habis.
Menanggapi fenomena poligami yang kembali ramai diperbicangkan ke tengah publik, salah satu ahli tafsir dari kalangan perempuan yang sekarang menjabat sebagai Ketua Prodi Ilmu al-Quran dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA. ikut bersuara.
Bu Lilik, sapaan akrabnya oleh mahasiswa Ilmu al-Quran dan Tafsir, mengatakan bahwa sebelum membaca ayat al-Quran tentang poligami, seorang seharusnya mengerti dahulu bagaimana cara al-Quran memberikan nasehat, bagaimana etika dan gaya bahasa yang digunakan.
“Yang harus diketahui oleh banyak orang, Gaya bahasa al-Quran itu selalu mengakhirkan etika utama yang dituju.” Ungkap Lilik kepada redaksi islamidotco.
Menurut Lilik, gaya bahasa al-Quran dalam memberikan nasehat sangatlah khas. Tidak hanya pada ayat poligami, banyak ayat-ayat lain yang menggunakan gaya bahasa demikian.
Lilik mencontohkan, dalam surat An-Nahl ayat 126 disebutkan bahwa jika kalian disiksa, maka balaslah sesuai dengan siksaan yang setara. Hal ini bukan berarti al-Quran memerintahkan untuk balas dendam. Justru al-Quran ingin menampakkan sifat manusiawinya. Siapapun orang yang disakiti pasti memiliki naluri untuk membalas. Dan al-Quran menyebutkan itu, tapi bukan itu inti dari perintahnya.
Tetapi bagi Lilik, ayat tersebut tidak bisa dipotong hanya sampai perintah membalas dengan balasan yang sama. Ayat tersebut harus dilanjutkan pada potongan ayat yang menyebutkan: “Tetapi jika kalian bersabar, maka sesungguhnya itu lah yang lebih baik.” Karena inti dari ayat tersebut adalah nasehat al-Quran untuk bersabar jika disakiti. Bukan pada anjuran membalas dendam. Ini adalah sisi kemanusiaan yang ditampakkan al-Qur’an.
Begitu juga dengan ayat tentang poligami, yakni An-Nisa ayat 3. Ayat ini, menurut Lilik, tidak bisa diambil sepotong, yakni hanya sampai “fankihuu ma thaba lakum minan nisa’i matsna wa tsulatsa wa ruba`.”
Memahami ayat ini harus dilanjutkan sampai “Wa in khiftum an laa ta’dilu fa waahidatan.” Karena poin inti nasehat al-Quran adalah terdapat pada akhir ayat ini. Al-Quran sebenarnya ingin memberikan nasehat agar seorang laki-laki hanya menikah dengan seorang wanita saja.
Sama seperti ayat tentang balas dendam di atas, Lilik menjelaskan bahwa potongan ayat tentang menikah dua sampai empat dalam an-Nisa di atas bukanlah anjuran untuk poligami. Melainkan hanya cara al-Quran untuk menggiring manusia Arab pada saat itu agar menikah dengan satu orang saja. Karena budaya Arab saat itu sangat lumrah jika ada seorang laki-laki yang memiliki istri banyak, bahkan bisa lebih dari 50.
Bagi Lilik, al-Quran datang untuk menghormati perempuan. Namun al-Quran memberikan nasehat yang sangat halus, dengan mengangkat terlebih dahulu naluri manusiawi seseorang, yakni beristri banyak, setelah itu membatasi dengan 4 orang istri saja. Baru kemudian disampaikan inti dari nasehatnya, yakni anjuran untuk beristri satu (monogami).
Hal ini diperlukan karena jika langsung dengan gaya bahasa to the point, justru akan sangat memberatkan orang-orang yang sudah terbiasa dengan budaya beristri banyak.
Dengan gaya bahasa al-Quran yang sangat halus tersebut, Lilik justru sangat menyayangkan ulah segelintir orang yang mendakwahkan Islam dengan cara-cara keras dan kasar.